Bab 11 - Berbeda

59.8K 4.1K 58
                                    

"Kesengsaraan hidup itu untuk dihadapi bukan untuk diratapi"

- Satria Geraldi

**

Satria baru akan melangkah pulang saat Dinda menahannya dengan alasan memintanya menemani Beca makan, karena katanya gadis lebah yang tumben diam disampingnya ini belum makan sejak pagi. Dan disinilah ia, berjalan beriringan layaknya putri solo menuju restoran cepat saji yang kebetulan dekat dengan rumah sakit.

"Lo jalan bisa cepetan dikit ga? Lambat" Beca masih terdiam, langkahnya justru semakin lambat dan kepalanya menunduk dalam. Satria menghentikan langkahnya dan menatap bingung sikap aneh Beca. Merasa diperhatikan, Beca akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap mata Satria. "Kok berhenti?" Satria makin mengkerutkan alisnya dalam, ini cewek sawanan apa gimana? Tumben waras

"Lo kenapa dah? Ga biasanya gini" wajah Beca terlihat bingung dan matanya mengerjap-ngerjap, setengah mati Satria menahan untuk tidak menjawil pipi gemas Beca. Kepala Satria menggeleng pelan, mengusir pikiran aneh yang sayangnya tak kunjung hilang itu. Seakan ada gejolak aneh dalam dada saat dilihatnya pipi Beca merona, entah apa yang dipikirkan gadis dihadapannya ini.

"Lo ganteng" hanya sebentar, catat hanya sebentar gelenyar aneh tadi Satria rasakan sebelum ambyar karena perkataan Beca barusan. Cengiran tengil Beca kembali terbit, membuat Satria mendengus pelan lalu kembali melangkah meninggalkan Beca yang terkekeh.

"Satrinahh.. Jangan tinggalin inces dong" Satria makin mempercepat langkahnya saat Beca makin gencar menggodanya. Saat sampai di restoran cepat saji pun Beca masih belum berhenti menggoda, bagi Beca menggoda Satria adalah hiburan tersendiri baginya.

Tapi ucapan Beca yang mengatakan Satria ganteng bukanlah omong kosong belaka, karena Satria memang terlihat mempesona tanpa kacamata. Mungkin Satria lupa memakai benda pusaka yang sedikit menyamarkan ketampanannya, juga rambutnya yang biasa belah tengah kini terlihat berantakan. Bisa dibayangkan kan bagaimana jantung Beca tidak berdegup lebih cepat jika tampilan Satria se hot itu?

Dan seperti biasa, saat makanan sudah tersaji apik di depan, Satria diam memakan makanannya dalam tenang. Satria juga kebetulan belum makan, akhirnya ia memilih membeli burger berbeda dengan Beca yang memesan ayam dua potong juga porsi nasi double. Beca tak merasa malu sama sekali dengan porsi makannya itu, peduli setan gue laper

Keheningan itu masih berlangsung sampai Satria selesai memakan burgernya dan menenggak tandas minuman bersoda itu. Lain halnya dengan Beca yang masih khusyuk menggerogoti tulang ayam, Satria menahan geli karena wajah Beca terlihat tak rela makanannya habis.

"Lo selaper ini begayaan ga makan dari pagi" Beca mengangkat kepalanya sebentar, lalu kembali acuh memilih memakan potongan ayam yang tersisa. Dengan penuh kesabaran, Satria menunggu, matanya yang terus menatap wajah memerah Beca yang mungkin karena kepedasan itu. Tak perlu ditampik lagi, Beca memang cantik. Wajahnya tak mudah membuat orang bosan, justru nyaman-nyaman saja jika terus dilihat. Karena itu Satria tak heran Beca dikagumi hampir seluruh kaum adam di sekolahnya bahkan juga sampai ke sekolah tetangga.  Namun, bagi Satria cantik saja tidaklah cukup untuk membuatnya terpesona. Mungkin karena itulah Satria tak tertarik pada Beca, mungkin belum. Bukan belum peak, ga akan.

Tak butuh waktu lama Beca menghabiskan sisa potongan ayamnya, lalu ia beranjak dan menuju tempat cuci tangan yang berada diujung restoran.

"Udah?" Beca mengangguk antusias saat sekembalinya mencuci tangan, lalu menyengir lebar dan bukannya melangkah pergi malah kembali duduk. Satria yang hendak beranjak, urung dan menatap penuh tanya pada Beca.

"Yaelah bang. Duduk dulu napah. Belum turun ini.. Nanti keluar lagi gimana" terdengar dengusan malas dari Satria namun tetap saja Satria mengikuti dan duduk kembali. Tatapan tengil Beca kini berubah intens, " ngghh.. omongan lo tentang bisa lihat gimana dan kapan orang meninggal lewat tatapan mata itu cuman becandaan doang kan sat?" tubuh Satria menegang, tak menyangka Beca kembali menyinggung soal itu. Satria pikir hari itu selesai dan Beca tak memusingkan hal yang ia anggap becandaan itu. Konyol, Satria sedikit merasa miris karena sekali ia mau mulai mempercayakan orang tentang kelebihannya ini justru berujung dianggap bercanda tak bermutu.

"Ya terus lo pikir apa kalo bukan becanda?" Beca nampak menimang-nimang, lalu akhirnya mengangkat bahu acuh. Membuat Satria bernafas lega, Beca tak curiga.

"Gue cuman penasaran aja gitu, kalik aja ada kan yang emang punya beneran kelebihan itu, wow banget sih kayak manusia super. Tapi ya serem"

"Serem?" Satria sekuat tenaga menahan nada getar dalam suaranya, takut bahwa Beca mengetahui. Memang waktu itu Satria berniat memberitahu Beca, itu karena kepepet. Tapi sekarang, rasanya Satria tak siap.

"Ya serem. Ga kebayang hidupnya segelap apa, kemana-mana terus ngelihat hal yang ga diinginkan" dan itulah yang dirasakan Satria selama ini, ingin rasanya Satria berbicara lantang bahwa dirinyalah yang masuk dalam dunia segelap itu dan dia masih bisa berdiri tegak sampai detik ini.

"Kalo lo diberi kelebihan itu, apa yang bakal lo lakuin?" Satria iseng saja mengatakan itu, karena sepertinya Beca tertarik dengan dunianya ini.

"Apa ya, emm.. Bakal meringatin orang yang pernah gue lihat mungkin? Ya membantu aja gitu"

"Lo mau merubah takdir Tuhan?" cukup lama Beca terdiam, Satria juga diam menanti jawaban dari gadis yang sedang berpikir keras itu.

"Tuhan ga akan ngasih kita kelebihan tanpa sebab, coba lo pikir deh. Kenapa bisa dia beri kelebihan itu? Untuk apa? Apa cuman buat keren-kerenan doang? Ga mungkin kan. Ya bisa aja kan itu jadi alasan buat meringankan beban orang lain, ya kelebihannya di manfaatkan gitu. Untuk membantu orang lain"

"Tapi itu bakal merubah takdir Tuhan. Mungkin kelebihan yang -Ia berikan cuman untuk bukti tentang kekuasaannya, lagian kalau kita ikut campur urusan kematian orang lain. Kematian kita sendiri bagaimana? Apa gak dipikirin juga?" Beca terhenyak, mengerjap-ngerjap lalu mengangguk maklum.

"I see. Jadi, menurut lo urusan mereka ya jadi urusan mereka. Kita ga boleh ikut campur, lebih baik ngurusin urusan kita sendiri. Waw, mencintai diri sendiri yang luar biasa ya" kini Satria lah yang membeku, Satria tau kalimat terakhir Beca adalah kalimat sarkastik. Hanya sebentar Satria terdiam, lalu tersenyum miring,

"Ini bukan tentang dunia sosial yang bisa mengorbankan kepentingan sendiri untuk orang lain. Ini tentang hal segelap kematian, yang dimana kita akan mempertanggung jawabkan kehidupan sendiri dan gak akan ada seseorang yang mau membantu. Karena ini hanya Tuhan dan diri kita sendirilah yang terlibat dalam urusan di akhirat kelak" seluruh tubuh Beca merinding begitu saja, entahlah Satria tanpa kacamatanya itu membuat tatapan tajamnya terlihat lebih menyeramkan. Aura gelap yang begitu terasa, mungkin Beca terlalu paranoid tapi hawa dingin aneh ini benar-benar nyata.

"Lo kenapa ga pake kacamata? Masih bisa lihat kan?" Satria lebih rileks, lalu memutar bola mata malas. "Gue minus bukan buta, ya jelas masih bisa lihat" mendengar itu, Beca meringis lalu terkekeh. Suasana kelam itu kembali hangat, Beca tak lagi merasa takut akan tatapan tajam Satria.

"Kalo lo kenal dan deket sama orang yang punya kelebihan itu, lo gimana?" Beca mengernyit bingung. Kelebihan itu sudah pasti mustahil dan tak akan ada yang memilikinya pikir Beca. Berbeda dengan Satria yang sedikit cemas akan raut bingung Beca,

"Ga bakal gue deketin lagi"

"Kenapa?"

"Dunia sekelam itu, ga bakal cocok sama gue. Gue orangnya ga tegaan, jadi yah gitu lebih baik menghindar" Satria diam, benar. Dunia sekelam itu tak akan cocok bagi dunia hangat penuh keceriaan milik Beca. Satria semakin yakin, Beca dan dirinya memang tak akan pernah cocok, dunia mereka berbeda.

Tapi ada satu hal yang terlupakan dari benak Satria, bahwa yang berbeda tak sepenuhnya tak cocok. Bagaimana jika itu bisa saling melengkapi?

🍁🍁🍁

I'm back....
Semoga suka dan jangan lupa tinggalkan jejak ❤❤

MIRACLE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang