Bab 9 - Perubahan?

55.5K 4.2K 44
                                    

"Sederhana, misterius, cupu, juga mulut cabe. Definisi singkat tentang pesonamu yang membuatku jatuh"

- Rebeca Anjani

**

Motor Satria berhenti di halaman rumah serba putih yang ia yakini rumah Dinda itu. Suasananya sepi, gelap, seperti tak berpenghuni. Dengan langkah pelan Satria masuk ke dalam, ada rasa ragu antara menunggu pihak berwajib atau langsung mendobrak pintu rumah.

Dan tiba-tiba terdengar samar teriakan di dalam, membuat bulu kuduk Satria meremang. Itu suara Beca, meraung kesakitan sekaligus meneriaki Dinda. Anehnya hanya suara Beca yang terdengar, Dinda dimana? Apa Dinda.. Satria mengenyah pikiran aneh itu dan bersiap mendobrak pintu sebelum mengecek apakah pintu dikunci apa tidak, dan sudah jelas pintu dikunci, mana mungkin penjahat tak mengunci pintunya saat melakukan kejahatan? Dan hati Satria kembali merasakan pedih saat membayangkan orang tua Dinda lah penjahatnya disini.

Hanya butuh beberapa kali dobrakan, pintu rumah berhasil rubuh. Satria bergerak cepat mencari sumber suara Beca yang sepertinya menyadari kehadiran Satria, Beca terus menerus berteriak memilukan memanggil namanya.

Satria memejamkan mata sejenak melihat pemandangan di hadapannya kini, Dinda dengan luka lebam di sekujur tubuhnya tapi anehnya Dinda masih bisa duduk dengan tatapan kosong, tak ada isakan, erangan bahkan air matapun tak ada. Berbeda dengan Beca yang terikat di kursi pojok ruangan, tak ada luka sedikitpun tapi Beca berteriak histeris menyuruh yang Satria tebak Ayah Dinda itu berhenti memukuli anaknya. Tatapan tajam Satria beralih pada Ayah Dinda yang masih syok dengan kehadiran Satria yang tiba-tiba.

"SIAPA KAU!"

"Mohon maaf om, saya bertindak tak sopan langsung masuk rumah tanpa assalamualaikum. Jadi, ekhem.. assalamualaikum" Satria nampak tak gentar, matanya masih menatap lurus-lurus tepat di mata Ayah Dinda, untuk pertama kalinya Satria tak merasa bersalah melihat kematian seseorang. Ayah Dinda meninggal seorang diri karena kebiasaannya mabuk-mabuk'an, meninggal di jalanan tertabrak mobil dan tak ada satupun keluarga yang merasa sedih akan kematiannya kecuali.. Dinda.

"Pergi kamu! Bawa pacar kamu itu, jangan ikut campur urusan saya dan anak saya!" Satria melangkah maju, tak ada kilatan takut sedikitpun. Gerakan perlahannya yang melepas kacamata berlensa tebal itu membuat Beca terdiam, Satria sungguh terlihat makin mempesona. Namun hati Beca semakin takut saat Ayah Dinda itu kalap dan melayangkan balok kayu yang ia pakai sejak tadi untuk menganiaya Dinda pada Satria, tapi dengan cepat Satria tahan dan gerakan gesit Satria berhasil mengambil alih balok kayu itu dan membuangnya asal lalu kembali memandang ayah Dinda datar, kacamata Satria ikut terlempar entah kemana. Aura gelap Satria semakin terasa saat senyum miring khasnya tercetak jelas di wajah tegas Satria, dan Beca berani bersumpah bahwa Satria kini lebih mirip seperti malaikat pencabut nyawa.

"Anak om itu manusia, bukan hewan. Hukum selayaknya seperti manusia atau lebih tepatnya hukuman ayah pada anaknya"

PLAAKK

Tamparan Ayah Dinda dengan penuh emosi itu membuat Satria tertawa, tawa menyeramkan mirip psikopat gila. Dan Beca benar-benar merinding sekarang,

"BOCAH! TAU APA KAMU! APAPUN YANG SAYA LAKUKAN ITU PANTAS, MENGHUKUM ANAK YANG TIDAK TAU DIRI MEMPERMALUKAN KELUARGA" teriakan Ayah Dinda menggema, Satria menghela nafas berat. Melirik Dinda yang masih terdiam di tempat dengan pandangan kosong.

Dinda sudah terbiasa diperlakukan oleh ayahnya layaknya binatang, ibunya bekerja menjadi TKW di Hongkong. Dinda tak ingin ibunya khawatir, maka dari itu walaupun terus dianiaya Dinda akan tetap diam tak mengatakan ini pada ibunya. Juga pada siapapun, termasuk Beca. Inilah salah satu alasan Dinda melarang keras Beca ke rumahnya, karena Dinda tak ingin Beca melihat Ayahnya yang bisa saja kalap itu. Merasa diperhatikan Satria, Dinda membalas tatapan Satria nanar. Dan memaksa seulas senyum walaupun ujung bibirnya terasa teramat sakit bekas tamparan Ayahnya tadi,

"Ayah bener sat. Lo pulang aja, ajak Beca. Gue gapapa" suara yang nyaris seperti rintihan itu dibalas teriak tak terima dari Beca, Beca kembali berusaha melepas ikatannya itu walau tentu sia-sia. Melihat itu, Satria menghampiri Beca dan melepas ikatannya dengan tenang. Wajahnya masih datar, tak ada kilatan emosi maupun sedih.

Saat Beca hendak berlari menghampiri Dinda, Satria menahannya. Dan menggeleng kepala pelan, Beca hendak protes namun ucapan Satria membuat Beca membeku, "jangan membuat Ayah Dinda semakin marah. Orang mabuk lebih bahaya dari orang gila, gue bukan takut. Tapi gue menghargai Dinda. Dia gamau gue nyakitin ayahnya" Hati Satria merasa iba luar biasa pada Dinda, Satria hampir menerjang Ayah Dinda tadi tapi gelengan pelan dari Dinda berhasil membuat Satria melemah. Rasa sayang Dinda terlalu kuat untuk Ayahnya, jadi walaupun Ayahnya akan terus menerus menganiayanya Dinda terima. Toh Dinda memang bersalah sekarang, apalagi jika bukan karena kehamilannya? Itulah yang dipikirkan Dinda.

Saat terdengar suara sirine polisi, Ayah Dinda mulai panik dan Dinda nampak bingung juga ikut ketakutan. Satria menghampiri Dinda dan membantu gadis itu berdiri perlahan,

"Sat, jangan masukin bokap ke penjara. Dia ga salah, gue yang salah.." Beca mengambil alih tubuh Dinda dan mencoba menggiring Dinda berjalan dengan langkah tertatih, Satria mundur beberapa langkah dan menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku.

"Tugas Ayah itu melindungi, anak salah itu diingatkan, dihukum dengan wajar. Bukan malah menyiksa" setelah itu Satria berjalan keluar, tak mempedulikan tangisan Dinda yang mulai pecah. Beca menenangkan dengan beribu kalimat penyemangat, dan juga membenarkan ucapan Satria.

Saat sudah didepan, mata Satria menatap lurus-lurus pada ayah Dinda yang sudah dibekuk polisi itu. Dinda yang digiring Beca, dihampiri beberapa perawat untuk masuk dalam ambulan. Sebelum Beca ikut masuk, ia menyempatkan untuk menghampiri Satria yang sedang menjelaskan kejadian pada polisi.

"Sat.." Satria berhenti berbicara dan mengernyit bingung pada Beca yang belum berangkat menuju rumah sakit mengantar Dinda, "kacamata lo. Emm btw, makasih" Beca memberikan kacamata Satria dan segera berlari masuk dalam ambulan.

Berbeda dengan Satria yang harus ikut ke kantor polisi sebagai saksi. Helaan nafas Satria tak bisa ia cegah, hari ini akan menjadi hari yang panjang.

**

Tepat pukul 10 malam Satria baru sampai rumah. Tubuhnya serasa rontok, sungguh melelahkan. Harus berbicara panjang lebar menjelaskan pada polisi, belum lagi tekanan batin karena sekelibat bayangan memilukan dimana-mana. Punggungnya lega sekali saat menyentuh kasur empuknya itu, namun sebelum matanya terpejam sempurna suara ponsel membuyarkannya. Membuat Satria mendecak kesal, tapi entah kenapa rasa kesalnya meluap begitu saja saat dilihatnya Beca mengirim pesan yang mungkin dibilang dalam taraf waras tak seperti biasanya,

Lebah : Dinda uda gapapa, kondisinya stabil sekarang. Cuman sering nanyain bokapnya aja gitu, khawatir doi. Oh ya sat, sekali lagi makasih ya dan sorry udah ngrepotin.

Satria : sama-sama.

Balasan singkat tanpa embel-embel tanda seru seperti biasa yang Satria lakukan itu membuat Beca tersenyum.

Rasa kantuk Satria tiba-tiba hilang begitu saja saat mengingat kembali kejadian tadi, kilasan kematian Dinda. Satria tak terlalu memikirkannya tadi karena suasana kacau, bayangan itu. Sungguh berbeda dengan bayangan yang Satria lihat sebelumnya, Dinda tak akan meninggal dalam waktu dekat. Lebih tepatnya meninggal saat hari tua bersama anak dan suaminya yang wajahnya memburam tentu saja.

Alis Satria mengkerut samar, bingung akan apa yang terjadi. Kenapa yang bisa dibilang takdir itu berubah? Bukankah itu hal mutlak yang sudah digariskan Tuhan? Satria menghela nafas panjang, dan kembali memposisikan tubuhnya berbaring di kasur.

"Gue bakal tanya besok ke paman" Satria bergumam pelan sebelum akhirnya ia sepenuhnya masuk ke dalam mimpi.

🍁🍁🍁

Jangan lupa tinggalkan jejak ❤❤

MIRACLE [Completed]Where stories live. Discover now