:: EMPAT PULUH ENAM

5.7K 471 109
                                    

Vote dulu, kuyy

Happy reading, ❤

*

*

*


Farel berdecak keras, kakinya sedari tadi ia gerakan. Farel berusaha untuk tetap tenang namun, usahanya seakan sia-sia. Tetap saja ia panik.

Cowok itu mengusap kasar wajahnya, kedua sikunya kini bertumpu di paha. Farel memejamkan matanya, jari-jari tangannya yang ia tautkan kemudian ia dekatkan dengan bibir.

Cowok bermata biru itu tidak hentinya membaca beberapa deret doa untuk keselamatan seseorang di dalam, berharap gadis itu akan baik-baik saja.

Farel menghela napas panjang, ia tidak tahan jika disuruh duduk menunggu seperti sekarang.

Cowok itu memilih berdiri dari kursi panjang yang ia duduki, yang dilakukannya sekarang adalah berjalan mondar-mandir di depan ruang ICU.

Sesekali ia menolehkan kepalanya pada pintu putih di sampingnya.

Farel menghentikan acara mondar-mandirnya ketika ponselnya bergetar, ia merogoh benda pipih dari saku celana.

Dahinya mengernyit saat melihat nama seseorang yang menelfon dirinya, sesaat setelahnya kernyitan di dahi Farel menghilang.

Ia menggeser layar ponselnya lantas mendekatkan benda pipih itu ke telinga.

“Halo,”

“Halo, Rel. Lo di mana? Kenapa jam segini belum pulang?”

Farel memejamkan matanya lalu membukanya kembali bersamaan dengan satu helaan napas yang terdengar.

“Rumah sakit.” Singkat Farel.

Seseorang di seberang membulatkan matanya, kaget. “Hah? Rumah sakit, ngapain?”

Belum sempat Farel menjawab, seseorang yang menelfonnya kembali berucap. Namun, kali ini bukan suara Raffa yang terdengar, melainkan suara bariton.

Ya, itu suara Darren-ayahnya.

“Farel, kamu di rumah sakit mana? Kamu nggak pa-pa, kan?” suara dari seberang telefon terdengar cemas.

“Farel, nggak pa-pa, Yah,” ujar Farel kalem.

“Kalo, kamu nggak pa-pa ngapain kamu di rumah sakit? Kamu, nggak lagi bohongin Ayah, kan?”

Farel memutar bola matanya, “Farel nggak bohong, Yah. Nanti Farel jelasin.”

“Udah dulu, ya, Yah. Assalamuallaikum.” Farel mematikan panggilan sepihak, tidak sopan memang, tetapi memang dasarnya Farel seperti itu.

Farel mengembalikan benda pipih tersebut ke saku celana jeans-nya, ia kembali melirikkan matanya ke arah pintu.

Namun, hasilnya tetap sama, tidak ada tanda-tanda dokter akan ke luar.

Sudah hampir dua puluh menit Farel menunggu, cowok itu memilih kembali duduk pada kursi panjang yang disediakan di sana. Sampai tiba-tiba punggungnya terasa nyeri.

Farel meringgis, satu tangannya memegangi punggung, sementara matanya sudah terpejam rapat.

Wajah Farel kembali terasa nyeri ketika ia meringgis menahan sakit pada punggungnya. Perut cowok itu juga mulai terasa mual sekarang.

[TBS 1] : Everything [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang