:: DUA PULUH EMPAT

6.6K 573 87
                                    

Wanita anggun itu sedari tadi memperhatikan putranya yang hanya menatap kosong pada kursi yang sering digunakan Farel.

Renata berdeham, memecah lamunan Raffa dan membuat cowok itu mengalihkan pandangannya dari kursi yang sedari tadi ditatapnya.

“Kasian nasinya cuman didiemin dari tadi,” kata Renata melirikkan matanya.

Raffa hanya tersenyum kecut.

“Kenapa nggak dimakan?” tanya Renata memandang putranya.

“Farel belum makan, Bun,” ucap Raffa memandang makan malamnya.
“Raffa, nunggu Farel.”

Pria dengan kumis tipis yang duduk di depan Raffa mendengus pelan. “Kamu nggak usah ngurusin anak bandel kayak dia,” ujarnya datar.

Raffa mendongak, dahinya membuat kerutan, menatap pria itu.

“Ayah, kenapa, sih? Farel salah apa sampai buat Ayah nggak suka sama dia?” tanya Raffa tak kalah datar.

“Dia anak yang nggak berguna, dia pembangkang, bandel,” kalimat Darren terdengar sangat dingin sekarang.

“Kamu jangan sampai jadi kayak dia.” Lanjutnya.

Raffa benar-benar sudah tidak mengerti dengan jalan pemikiran ayahnya itu.

“Apa semua gara-gara Kak Arga? Ayah jadi, benci sama Farel karena Kak Arga meninggal? Seandainya Raffa penyebab kecelakaan itu apa Ayah juga akan benci sama Raffa?” kalimat Raffa terdengar bergetar.

Pria itu mempererat genggaman pada sendok di tangannya, “Jaga bicara kamu!” sentak Darren.

“Ayah nggak pernah mau tahu tentang Farel, itu yang ngebuat Farel jadi, pembangkang kayak sekarang.”

“Apa, Ayah pernah ngerasain apa yang dirasain Farel waktu Ayah marahin dia? Waktu, Ayah ngebandingin kita berdua?” kata Raffa, yang kedengarannya berusaha memantapkan suaranya.

Darren hanya diam begitu juga Renata yang kini menundukkan kepalanya mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan putranya itu.

“Farel juga anak Ayah, dia juga butuh dukungan dari Ayah sama Bunda, butuh kasih sayang kedua orang tuanya tapi, apa yang Farel dapetin?” Raffa tersenyum miring.

“Bahkan Farel nggak pernah ngerasain kebahagiaan kayak dulu lagi itu yang ngebuat Farel jadi, pembangkang, dia butuh perhatian dari Ayah sama Bunda.”

“Ayah udah kasih kalian perhatian, Ayah marah sama Farel karena Ayah nggak mau dia jadi, anak yang nggak bener!” ucap Darren tajam.

“Itu yang namanya perhatian, Yah?” napas Raffa sudah memburu, “Sebenarnya Farel anak Ayah sama Bunda bukan, sih?”

Darren berdiri dari kursi yang didudukinya membuat gebrakan keras di meja makan dan berhasil membuat Renata mendongakkan kepalanya kaget, sedangkan cowok di depannya menatap dingin ke arah Darren.

“Kamu berani sekarang? Kamu mau jadi, kayak anak itu? Kalian emang sama-sama nggak tau sopan santun! Diajarin apa lagi kamu sama dia?!” ucap Darren keras.

Raffa hanya tersenyum miring, “Banyak yang Farel ajarin ke Raffa,” mata Raffa masih menyorotkan rasa kecewa yang begitu besar.

“Farel ajarin Raffa buat jadi anak yang kuat, jadi, anak yang mandiri. Meskipun, kita nggak pernah dianggap jadi, bagian dari keluarga kita lagi. Kita emang sama, Yah tapi,  Farel terlalu berani buat ngelakuin apa aja, sedangkan Raffa,”

Cowok itu terdiam beberapa saat seraya menghela napas, “Raffa terlalu takut bahkan buat ngomong apa yang sebenarnya.”

Kedua mata Darren menatap tajam putranya tanpa mengucapkan kata apa pun.

[TBS 1] : Everything [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang