:: DUA PULUH SEMBILAN

6.7K 515 83
                                    

Farel melajukan motornya cepat, menembus dinginnya udara malam yang berhasil menyusup ke dalam jaketnya.

Napasnya masih memburu, semua kejadian beberapa menit yang lalu masih berputar seperti karset rusak di kepalanya.

Yang dirasakannya sekarang hanya kecewa dan marah.

Bukan hanya marah kepada Darren, tetapi juga marah pada dirinya sendiri.

Pikirannya benar-benar kacau malam ini.

Setelah lima belas menit berkutat dengan keheningan malam, ia membelokkan motornya ke kiri menuju sebuah apartemen.

Setelah memarkirkan motornya, ia melangkahkan kakinya cepat memasuki sebuah lift di apartemen tersebut masih dengan perasaan yang benar-benar campur aduk.

Beruntung hanya ada Farel sendirian di dalam lift mungkin jika ada orang lain, mereka akan enggan untuk masuk karena melihat wajah Farel yang menakutkan ketika sedang marah.

Tak lebih dari satu menit pintu lift terbuka, Farel langsung keluar dan melangkah ke salah satu kamar.

Tangannya merogoh sebuah kunci dari saku celanannya, memutar knop pintu dan masuk ke dalam.

Cowok berambut cokelat itu memang punya sebuah apartemen yang dibelinya beberapa bulan lalu dengan tabungannya sendiri dan tidak ada yang tahu itu kecuali Bagas dan Andre.

Itu pun Farel mengancam keduanya supaya tidak ada yang mengatakan semua ini kepada orang lain termasuk keluarganya.

Farel jarang ke apartemen miliknya,  hanya sesekali dia datang ke sini untuk menenangkan pikiran.

Setelah mengunci pintu kembali, ia langsung membanting badannya ke atas ranjang dengan posisi tengkurap.

Rasanya hari ini benar-benar melelahkan.

Detik berikutnya ia menggulingkan badannya ke kiri sekarang ia tidur dengan posisi terlentang.

Manik mata birunya menatap langit-langit ruangan itu.

“Sampah,” gumamnya sambil menutup wajah menggunakan lengan kanannya.

***

Darren duduk pada sofa yang ada di dalam kamarnya. Ada sedikit penyesalan di hatinya.

Perasaannya kacau sekarang, jujur ia sangat khawatir pada orang yang beberapa menit lalu masih ada di rumah ini, cowok yang tadi ia bentak bahkan ia tampar beberapa kali, tetapi tidak lagi untuk sekarang.

Detik berikutnya ia bangkit, mengambil sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas.

Jari-jarinya bergerak memencet deretan nomor lalu mendekatkan ponselnya di telinga. Akan tetapi,  hasilnya nihil.

Seseorang yang sedari tadi ditelfonnya tidak menjawab sama sekali.

Pria itu mengacak rambutnya dan mendengus. Ia berjalan ke arah jendela, menatap ke luar.

Memikirkan kemana anak itu pergi di malam yang selarut ini.

Bukankan terlalu jahat untuk mengusir darah dagingnya dari rumah? Apa, ia mau kejadian sepuluh tahun yang lalu terulang lagi?

Seharusnya tadi Darren bisa mengontrol emosinya sehingga ia tidak perlu khawatir dan tidak perlu memikirkan putranya itu.

***


Raffa memegang pegangan tangga, kakinya baru saja menapak anak tangga pertama.

Akan tetapi, ia menghentikan langkahnya lantas ia menoleh ke kanan.

[TBS 1] : Everything [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang