:: TIGA PULUH SEMBILAN

8.1K 566 190
                                    

Cowok yang sudah mengganti pakaiannya itu, kini menggenakan kaus berwana abu-abu dan celana jeans selutut.

Ia sekarang berdiri di depan sebuah pintu yang terdapat gantungan bertuliskan 'Fearless' berwarna hitam.

Tangannya mendorong pintu yang ternyata tidak dikunci oleh pemiliknya dengan segala bertimbangan sebelumnya.

Farel menghela napas sebelum masuk dan berjalan ke arah cowok yang duduk di balkon.

"Gue minta maaf," ucap Farel dengan tangan yang bertumpu pada besi balkon untuk menyangga tubuhnya.

Raffa yang duduk dengan satu kaki  terangkat di atas kursi dan kedua tangan yang menyangga kakinya, memperhatikan punggung Farel di depannya.

Ia tidak tahu dengan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Raffa memejamkan matanya untuk beberapa saat.

Detik berikutnya ia berdiri di sebelah Farel, melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan saudaranya itu.

Kepalanya menoleh ke kanan memperhatikan Farel yang masih asik menatap lurus ke depan, "Gue mau lo sembuh dari penyakit lo."

Farel mengangkat sudut bibirnya, membuat senyum miring tercetak di wajahnya.

"Semua penyakit dan kesehatan itu ada di tangan Tuhan. Kita nggak bisa maksa, Tuhan buat selalu kasih kesehatan buat kita."

"Gue tau," Raffa mengembuskan napas lelah, "gue cuman nggak mau kehilangan lo. Kayak gue kehilangan Kak Arga."

Farel menepuk pundak Raffa dua kali, "Tuhan, tau mana yang terbaik buat kita," ucapnya dengan senyum yang masih terlihat di wajah Farel.

Raffa benar-benar tidak mengerti dengan Farel. Cowok itu berhasil menyembunyikan semuanya dengan rapi, Farel bahkan mampu menyimpan penyakitnya dari orang di sekitarnya terutama keluarganya.

"Gue heran sama lo."

Farel mengernyit, "Maksud, lo?"

"Ya, kenapa lo bisa terlihat baik-baik aja. Justru lo nggak terlihat kayak orang yang lagi sakit, gue juga nggak pernah liat lo kesakitan. Ya, kecuali pas lo dipukul sama Ayah."

Farel membuang pandangannya, mendongak memperhatikan langit malam yang kali ini terlihat mendung.

"Sebenarnya pernah, cuman lo, kan nggak peka," ucap Farel dengan kekehannya.

"Si anjirr." Raffa memutar bola matanya, "Kapan?"

"Waktu lo masuk kamar gue mau pinjem penggaris dua waktu itu."

Ingatan Raffa berusaha memutar kejadian yang Farel maksud, ia memang masuk ke dalam kamar Farel.

Cowok itu mendengar rintihan dari dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar Farel dan saat ditanya,  Farel mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Cowok itu juga mengusir Raffa untuk segera keluar dari kamarnya. Akan tetapi, saat Raffa hendak keluar dirinya tanpa sengaja memperhatikan beberapa lembar tissue dengan bercak darah di atas nakas juga botol kecil berisi obat.

Belum sempat Raffa melihat obat itu Farel sudah mendorongnya untuk keluar.

***


"Dimana?"

"Rooftop," ucap seorang cowok. Dahinya mengernyit saat telefon dimatikan sepihak.

"Dih, dasar, nggak sopan." Gerutu cowok itu, mengembalikan ponselnya ke saku celana.

Cowok itu. Raffa. Duduk di pinggiran rooftop, matanya menatap kakinya yang berayun perlahan ke depan dan belakang.

[TBS 1] : Everything [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang