Prolog

180K 6.7K 83
                                    

Suasana duka menyelimuti keluarga Geraldi sore itu.

Bima Geraldi baru saja dimakamkan, dan tinggalah beberapa keluarga yang berbincang ringan di ruang tamu.

Satria, sang cucu satu-satunya. Pewaris keluarga Geraldi masa depan, terduduk lemas di pojok kamarnya. Dirinya sangat terpukul akan kematian kakeknya itu,

"Bima Geraldi, Pemilik Geraldi Corp. dikabarkan telah berpulang, dikarenakan serangan jantung. Jasadnya sudah dimakamkan sore ini, banyak pengusaha--"

Dengan kasar Satria mematikan TV yang terus menerus mengabarkan kematian kakeknya.

"BOHOOONG!! BOHOONG" remaja yang baru berusia 15 tahun itu terus berteriak histeris dengan menutup kedua telinganya.

Para pelayan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar untuk menenangkan, tapi sang tuan muda masih tak peduli. Ia terus berteriak dengan tangis memilukan,

Kelebihannya, yang Satria katakan sebagai kutukan seumur hidupnya.
Melihat kematian hanya dengan tatapan mata, bukan hanya bagaimana terjadinya, tanggal serta waktu juga tertera begitu jelas. Kelebihan ini, entah harus Satria syukuri atau justru ratapi. Kelebihan yang ia dapatkan pasca kecelakaan besar yang merenggut kedua orang tuanya setahun yang lalu.

Hanya dirinyalah yang selamat dari kecelakaan itu, Satria terus merutuk. Harusnya dia tak usah selamat sekalian jika saat bangun bukan hanya kehilangan kedua orang tuanya, kelebihan itu juga yang mungkin akan menyiksanya seumur hidup.

Satria sempat melihat bagaimana kakeknya meninggal setahun lalu, saat mendapatkan bayangan itu Satria pikir hanya halusinasi, trauma akibat kecelakaan pikirnya.

Tapi ternyata, bukan hanya halusinasi. Satria menyesal karena tak bisa menyelamatkan kakeknya, bukan karena serangan jantung. Bukan..

Itulah alasan Satria berteriak histeris memgatakan bohong sejak tadi,

Kakeknya dibunuh, yaa dibunuh. Dengan memberikan obat, memanipulasi agar terlihat seperti serangan jantung.

Dan yang paling membuat Satria frustasi adalah, mungkin benar ia mampu melihat bagaimana dan kapan. Tapi hanya wajah yang akan meninggal lah yang terlihat dipenglihatannya, seseorang yang terlibat hanya samar-samar.

Satria mengusap wajahnya yang memerah dengan kasar, bayangan kakeknya yang sekarat terus terlintas dikepalanya.

"Ini salah gue.. Harusnya kakek bisa selamat. Salah gue.." para pelayan menyerah, memilih pergi dan membiarkan Satria yang masih terisak namun tak sehisteris tadi.

"Bukan salahmu. Itu sudah takdir, kamu hanya manusia biasa. Gak akan bisa mengubah takdir" Tubuh satria mematung, matanya yang memburam karena air mata menatap pamannya, Dion.

Satria mengernyit bingung, karena biasanya Satria akan mendapat sekelibat bayangan memilukan akan kematian, namun saat menatap Dion semuanya kosong.

"Kelebihanmu, paman juga memilikinya.." Dion tersenyum maklum dengan keterkejutan Satria, Dion melangkah perlahan menuju tepian tempat tidur Satria dan duduk dengan tenang,

"Kelebihan yang muncul karena kejadian dasyat yang hampir membuat kehilangan nyawa," Dion kembali bersuara, Satria masih bungkam. Menunggu pamannya menjelaskan lebih dalam lagi,

"Yang jelas, hidupmu udah gak sama lagi mulai sekarang. Ingat baik-baik, kita hanya mampu melihat. Kita bukan superhero yang bisa menyelamatkan banyak nyawa, takdir tak akan pernah bisa di rubah. Semua itu hanya kehendak Tuhan.."

"Tapi paman, kakek.."

"Paman tau, karena itu paman kemari. Kita akan bersama-sama memecahkan semua ini,"

"Gimana paman bisa tau aku memiliki kemampuan ini?" Dion kembali tersenyum hangat, tangannya terulur mengusap ujung kepala keponakannya itu dengan sayang.

"Kamu sejak pagi berteriak akan kebohongan, bagaimana mungkin paman tidak tau?" Satria diam, membenarkan apa yang diucapkan pamannya itu.

"Saat SMA nanti, hindari kepopuleran. Kalau kamu tak ingin terus dihadapkan kematian" Dion bangkit, hendak berbalik meninggalkan Satria. Namun saat mencapai pintu, langkah Dion terhenti,

"Itu hanya saran paman saja, sebagai senior. Welcome to the hell world satria.."

**

Satria membasuh wajahnya berkali-kali, menghapus ingatan masa kelamnya saat pertama kali mendapat kutukan ini.

Sudah 2 tahun Satria berusaha sekuat tenaga menyembunyikan diri. Menyembunyikan fakta bahwa ia adalah pewaris geraldi, menipu semua orang dengan tampilan nerdnya.

"Setahun lagi sat." Satria menatap tajam wajahnya di cermin. Setidaknya ia bisa sedikit bersyukur, karena selain pamannya yang tak bisa ia lihat kematiannya, dirinya juga tak bisa melihat kematiannya sendiri.

Mungkin Satria akan gila karena setiap hari membayangkan bagaimana ia meninggal,

Baiklah, hanya tinggal setahun lagi Satria tak perlu lagi bersembunyi. Tentang kuliah pun rasanya tak perlu, ia akan menjadi pewaris. Maka, dengan bimbingan pribadi dari professor sudah cukup baginya untuk memegang perusahaan. Kuliah bisa kapan saja, Satria ingin istirahat dulu dari tatapan sialannya itu.

Tapi, seperti biasa. Takdir berkata lain, Satria yang lega nerakanya akan berakhir, tak akan menyangka bahwa ada sesuatu yang menanti, yang akan memporak porakndakan kehidupannya.

Sesuatu yang besar, sangat besar. Yang biasa orang sebut sebagai Cinta

🍁🍁🍁

Karena ide terus mengalir, jadi ga sabar buat mencurahkan disini. Wkakak.

Cerita keduaku, masih teenfiction sih. Tapi aku kasih fantasy juga, Haduh zaya panas dingin ini toloong, takut aja gitu 😂😂

Jadi gimana? Lanjut gak nih?

MIRACLE [Completed]Where stories live. Discover now