Part 16

9.7K 517 33
                                    

Menikah dengan Ken membuat Naya menyadari arti sebuah waktu. Ketika kita dihadapkan dengan orang-orang yang kita senangi, rasanya detik jam akan bergerak sekian kali lebih cepat—tak terasa. Lalu kita akan mengeluh, Mengapa cepat sekali usai. Sementara ketika berhadapan dengan orang-orang yang tidak kita sukai, waktu seperti tidak bergerak.

Perjanjian untuk menikahi Ken selama satu tahun mulai terasa tidak masuk akal. Setahun terdengar cepat untuk sebuah umur pernikahan—Hanya ketika masih dalam sebuah kerangka rencana. Setelah kemudian menjalaninya, seminggu bahkan terasa sudah seperti sewindu.

Perlahan Naya menyadari, kejiwaannya mulai terganggu. Dirinya dan Ken masih saja bersandiwara dihadapan Ed. Berpura-pura nyatanya terasa menguras tenaga. Naya mulai lelah dengan permainannya sendiri. Ia harus memasang wajah bahagia dan memadamkan ekspresi muaknya setiap kali berhadapan dengan Ken. Ketika pada mulanya ia selalu beranggapan semuanya hanyalah persoalan waktu. Ia berharap seiring waktu berjalan dirinya pun akan terbiasa. Kenyataannya, seiring waktu berlalu justru rasa muak Naya terhadap Ken semakin bertambah, bertumpuk-tumpuk hingga menebal.

Jangankan seorang istri, sepertinya Ken bahkan tak menganggap Naya seorang manusia. Ketika pernikahan palsu tersebut membuat mereka terpaksa berbagi kamar, Naya harus merasakan dinginnya lantai marmer disaat Ken justru berbaring di ranjang raksasanya dengan nyaman. Naya bahkan tidak dibiarkan menggunakan sofa kamar yang juga tidak pernah terlihat diduduki Ken. Berlaku pula untuk perlengkapan tidur utama seperti selimut beserta bantal dan guling. Hingga suatu saat Naya memboyong sendiri barang-barang itu dari kamarnya dan Ken membentak. "Jangan pernah membawa barang-barang kotormu ke dalam kamar ini!"

Tidak heran Naya selalu merasakan sekujur tubuhnya pegal-pegal.

"Bangun!" Ken menyepak bagian kaki Naya. Selama pernikahan mereka, baru pagi ini Naya terbangun belakangan dari Ken. Laki-laki itu terlihat berang seolah Naya bermalas-malasan setiap hari.

Naya setengah bangun, menekan dahinya yang terasa berdenyut. Rasa pusing melanda kepalanya. Telapak tangannya pun terasa panas ketika menyentuh dahinya—diabaikannya itu semua. Segera ia merapikan tempat tidur Ken, menyiapkan pakaian laki-laki itu untuk ke kantor, hingga ikut turun ke dapur menyiapkan sarapan.

Ed bisa langsung menyadari kondisi Naya yang sedang tidak sehat. "Kau sedang tidak sehat anakku?"

Sembari menyantap sarapan Ken mengibaskan tangannya. "Dia baik-baik saja." ujar laki-laki itu yang kemudian di amini Naya.

Beringsut dari tempat duduknya Ed pun menempelkan telapak tangannya di dahi gadis itu. "Bagaimana bisa kau tidak memperhatikan istrimu yang sakit?" Lelaki paruh baya itu menatap nyalang kepada Ken.

"Dia hanya sedikit lelah. Jangan dilebih-lebihkan."

Kemarahan itu menjadi besar tatkala perawat pribadi Ed memeriksa keadaan Naya lalu menunjukkan digit angka termometer dari suhu telinganya.

Ed melempar termometer itu kearah Ken yang masih santai menyantap, tepat mengenai pelipisnya. "Apa menurutmu ia baik-baik saja?!"

Ken membuang nafas, mencoba menahan emosi. Ia memungut termometer itu. "Aku tidak tahu demamnya akan setinggi ini." Ken mendekat kepada mereka. Tangan besarnya menangkup wajah mungil Naya. "Maafkan aku, Aku akan membawakan obat dan pulang lebih cepat." Tapi Naya tahu tatapan Ken bukan tatapan orang yang merasa bersalah—dikatakan marah lebih tepat.

"Tidak perlu membawakan apapun. Kau hanya perlu pulang lebih cepat." Ken mengangguk atas ucapan ayahnya. Lalu mengecup sekilas kening Naya sebagai bumbu sandiwara sebelum berangkat ke kantor.

Dan hari itu ia benar-benar pulang kerumah lebih cepat.

"kau senang?" Naya mengernyit tak mengerti. Detik itu sifat binatang Ken kembali. Ia meraih leher Naya, memberi cukup tekanan disana dan menggiring perempuan itu mundur hingga terduduk di ranjang.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi gadis itu.

"Kau membuatku meminta maaf pagi ini."

Rupanya hal itu yang membuat Ken marah. Naya bahkan tak memintanya mengatakan demikian, haruskah ia pula yg menanggung kekesalan lelaki itu. Ia merasa terlalu lelah meladeni Ken yang sudah siap berdebat panjang.

"Maafkan aku." ujar Naya dengan Nafas berat, suaranya terdengar seperti orang kelelahan. Ken sendiri sempat merasakan panas di lehernya. Tak sadar Ken menjulurkan lagi tangannya, kali ini mendarat lembut di dahi Naya.

Merasa asing dengan sikap Ken, Naya mencondongkan tubuhnya kebelakang dengan bertumpu kepada kedua tangannya.

"Kau boleh tidur diranjang malam ini."

Tapi Naya menggeleng keras, menolak kemurahan hati Ken.

Baginya lebih baik ia tidur dilantai yang keras sekalipun, ketimbang berbagi ranjang dengan Ken. Tentunya Ken tidak pernah ingin mendengar penolakan. Sehingga sejak malam itu mereka tidur bersama. Meskipun kesehatan Naya tak lama pulih kembali. Ken tetap menahannya tidur di ranjang.

Naya pun mulai berfikir berbagi ranjang tidur dengan Ken tidak seburuk dugaannya. Ia bisa mengambil tempat terjauh. Tubuhnya juga tidak lagi sakit-sakit setiap terjaga dipagi hari. Tapi Ken justru kesal dengan sikap Naya yang jelas-jelas menjauh, memunggunginya seakan dia terkena penyakit menular.

Selain terkesan memberi jarak, Naya juga menggunakan pakaian tebal bahkan didalam kamar sekalipun. Mereka sudah suami istri. Ken seperti melupakan bahwa mereka menjalankan pernikahan sandiwara. Ia pun kesal melihat Naya yang terkesan begitu menyelimuti dirinya. Seakan bagi gadis itu, dirinya masih orang asing.

Para gadis selalu ingin mengenakan pakaian Ken selepas pagi, tanpa dititahkan. Ketika Ken membawanya ke kondo untuk cinta semalam yang menyenangkan lalu bangun lebih terlambat keesokannya, kemudian tada.., mereka sudah berbusana dengan kemeja kerja milik Ken yang semalam bergeletak di lantai. Dan Ken tak keberatan. Mereka tampak kian menarik dibalut pakaian miliknya. Itu membuat pagi Ken lebih bergairah. Barangkali terkurung di dalam kamar yang sama bersama gadis yang notabene adalah istri sahnya secara hukum, membuat Ken senewen. Bukan hanya tidak bisa menyentuhnya, melihatnya saja bisa dibilang tidak. Apa yang bisa dilihat dari perempuan yang menyelimuti diri bagaikan mumi bergerak.

Perempuan sombong.

Ken meyumpahi punggung dihadapannya. Ia teringat bagaimana wanita itu berbusana ketika menyambangi rumah mantan pacarnya, dan lihatlah perbedaannya begitu berbusana dihadapan Ken. Ingatan itu tiba-tiba memicu emosi, Ken berjalan kearah walk in closetnya. Tak lama keluar darisana melemparkan sebuah kemeja panjang, memaksa Naya untuk berganti yang membuat perempuan itu menangis karena pukulan dan ancaman.

Ken bisa saja menggantikan pakaian itu dengan tangannya sendiri. Tapi harga dirinya menolak. Ia jauh lebih senang ketika Naya sendiri yang melakukannya.

Dan Ken menyesali ide buruk itu. Berganti dari pakaian mumi menjadi sebuah kemeja panjang ternyata tak memuaskan. Sebab ketika akhirnya Naya keluar dari kamar mandi dalam kamar mereka, mengenakan kemejanya yang jatuh hanya beberapa senti dari lututnya—tampak menggoda meski matanya sembab. Ken kini berharap Naya tak mengenakan apa-apa.

Laki-laki itu sadar ia harus menguasai diri. Keinginannya seolah selalu ingin minta naik kelas. Ia bisa prediksi akan berakhir bagaimana bila terus menerus  dituruti.

Selama berbagi ranjang, Ken tak pernah menawarkan berbagi selimut. Tapi Pakaian tebal yang selama ini Naya kenakan bisa menghalaunya dari dingin, membuatnya tak perlu mengigil.

Ketika pandangan Ken memperhatikan Naya yang tengah menggosok sepasang kakinya, berupaya menghangatkan diri. Gerakan tak berarti itu menyebalkannya berhasil membangunkan sesuatu dibalik celana Ken.

"Brengsek!!" Laki-laki itu menyingkap selimutnya. Umpatannya membuat Naya melonjak.

Ia mengeluarkan handphonenya, menyebut nama seorang. Kylie, seorang bintang sekaligus mantan model majalah dewasa. Detik itu juga Ken mengajaknya keluar.

Yah, hanya Kylie yang mampu menyelamatkan Ken dari keadaan gawat darurat malam itu.

KANAYAWhere stories live. Discover now