Keduanya memilih duduk di kursi yang tepat berada di samping jendela kafe. Menampilkan lalu lalang orang yang sibuk dengan kegiatannya di sore hari.

"Kau mau pesan apa?" tanya Jennie saat seorang pelayan menghampiri mereka berdua.

"Aku ingin hot chocolate saja," jawab Lalisa.

"Dua hot chocolate," ucap Jennie pada pelayan tersebut.

Keduanya saling diam setelah sang pelayan pergi, terpaku pada pikiran masing-masing. Jennie mengalihkan pandangannya ke luar jendela kafe. Sedangkan Lalisa menunduk ke arah meja, menopang dagu dengan salah satu tangannya.

Tidak ada yang memulai percakapan, sampai sang pelayan kembali dengan membawa dua cangkir hot chocolate yang masih mengepul panas. Lalisa menyeruput sedikit hot chocolate-nya. Sementara Jennie membiarkannya menjadi lebih dingin terlebih dahulu.

"Lisa, apa kau mempunyai seorang pria? Ehm, maksudku apa kau mempunyai namjachingu?" Jennie membuka pembicaraan.

Lalisa mengangkat kedua alisnya, lalu menyimpan cangkir berisi hot chocolate di hadapannya. "Ehm, sebenarnya ... Aku sudah menikah, eonni," cicit Lalisa.

Jennie melotot mendengar penuturan Lalisa, kemudian kedua alisnya mencuram. "Jinjja? Kau benar-benar sudah menikah?"

Lalisa mengangguk mantap diiringi senyuman kecil di bibirnya. "Iya, aku sudah menikah," ulangnya.

"Aigo, di usia semuda ini kau sudah menikah. Aku terkalahkan olehmu." Jennie terkekeh geli.

Lalisa tersenyum kikuk. "Memangnya eonni tidak punya pacar, atau ehm teman spesial?" tanyanya hati-hati.

Jennie tersenyum, kemudian menyesap hot chocolate-nya. "Ah, sebenarnya aku punya teman spesial. Hanya saja, dia sedikit menjauh akhir-akhir ini," tuturnya sedikit lesu.

Lalisa berdeham. "M-memangnya kenapa?"

"Entahlah, dia hanya bilang kepadaku untuk tidak memikirkannya, membujukku agar melupakannya, dia bilang agar aku tidak boleh terus bergantung padanya. Kurasa dia menyembunyikan sesuatu dariku, yang jika aku mengetahuinya aku akan marah." Jennie menyesap kembali hot chocolate-nya yang sudah dingin.

"Sepertinya aku bercerita terlalu banyak padamu, mianhae," ujarnya sambil tersenyum. Senyuman yang terkesan dipaksakan.

Lalisa meraih jemari Jennie yang tergeletak di atas meja dan menggenggamnya. "Tidak apa eonni, aku tahu kau hanya butuh seseorang untuk mendengarkanmu."

Jennie tersenyum tulus. "Terima kasih, Lalisa. Aku beruntung bisa berkenalan denganmu, kau teman yang sangat baik meskipun kita baru bertemu."

Lalisa tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya, lalu melepaskan genggaman tangannya pada Jennie dan menyesap hot chocolate-nya yang tinggal sedikit. "Aku juga senang bisa berkenalan denganmu eonni, kita akan menjadi sahabat yang baik."

Jennie mengangguk. "Ngomong-ngomong, aku ingin tahu siapa suamimu. Sepertinya dia tampan, cocok denganmu yang sangat cantik."

Lalisa seketika terbayang dengan wajah Sehun, lalu menggeleng mengenyahkan Sehun dari pikirannya. "Lain waktu akan aku perkenalkan eonni padanya. Kalau teman spesial eonni, siapa namanya?"

Jennie tersenyum kikuk, terlihat semburat merah yang muncul di pipinya. "Namanya Se-argh...."

Jennie tiba-tiba berteriak, tangannya mencengkram kuat bagian panggulnya. Lalisa gelagapan melihat Jennie yang terlihat begitu kesakitan.

"Eonni, k-kau tidak apa-apa?" Lalisa pindah dari posisinya duduk menjadi di samping Jennie.

"S-sakit ... appo Lisa," erang Jennie.

Lalisa menggigit bibir bawahnya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. "Aku akan membawamu ke rumah sakit eonni, tunggulah sebentar di sini."

Lalisa berlari ke arah kasir, membayar minuman miliknya dan juga Jennie. Setelahnya ia membopong Jennie menuju ke mobil, dibantu oleh pelayan kafe tersebut.

Lalisa berada di balik kemudi, kemudian menjalankan mobil milik Jennie dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Di sampingnya, Jennie masih mencengkram kuat panggulnya dan mengerang kesakitan.

Lalisa menambah kecepatan mobilnya, ia menggigit bibirnya dan mencengkram stir mobil dengan kuat. Keadaan Jennie membuatnya begitu panik.

Rumah Sakit Seoul sudah terlihat, Lalisa mulai menstabilkan laju mobilnya kemudian memarkirkannya. Lalisa lalu membantu Jennie untuk berjalan setelah seorang perawat membantunya dengan membawa sebuah kursi roda.

Lalisa disuruh untuk diam dan menanti di ruang tunggu, wajahnya masih terlihat panik. Lalisa kemudian memutuskan untuk menghubungi Sehun, memberitahukan bahwa ia akan pulang lebih larut.

Setelah memberi tahu Sehun, Lalisa terduduk di kursi. Menunggu dengan cemas keadaan Jennie, meskipun ia baru bertemu dengan Jennie, tapi Lalisa merasa Jennie merupakan teman baiknya.

Lalisa menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Dilihatnya lewat sudut mata seseorang dengan setelan jas dokter dan sebuah stetoskop yang menggantung di lehernya sedang berjalan terburu-buru ke arahnya.

Mengetahui siapa yang datang, Lalisa segera berdiri dan menyapa orang tersebut.

"Kai!?"

Orang tersebut-Kai berhenti sejenak dan menolehkan kepalanya ke arah Lalisa, "Lisa? Sedang apa kau di sini?"

"A-anu, itu temanku tadi sakit, jadi aku membawanya kemari," jawab Lalisa.

Kai mengernyitkan dahinya. "Ah, baiklah. Maaf, aku harus menjalankan tugasku terlebih dahulu. Nanti aku akan mengajakmu bicara," ujar Kai terburu-buru lalu langsung masuk ke dalam ruangan tempat Jennie berada.

Lalisa mengangguk dan kembali duduk setelah Kai masuk. "Kai terlihat sangat khawatir," gumam Lalisa pelan.

***

SeLisa [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora