Dokter bukanlah seorang malaikat. Pekerjaannya adalah menyembuhkan, bukan melindungi.

Sebuah bayangan meneduhinya, membuat Naya mendongak. Ken sudah berdiri dihadapannya. Laki-laki itu tersenyum mengerikan.

"K-kau.. kau benar-benar melakukan ini? Kau benar-benar...," Naya menelan ludah. Berusaha keras mengabaikan rasa sakit didadanya. "Mengapa kau tega sekali?"

"Aku sudah mengatakannya kepadamu. Kau punya dua pilihan. Ini yang kau inginkan bukan?"

Dengan satu tarikan nafas panjang, Naya menegaskan. "Aku akan mengadukanmu pada ayah." Mungkin itu adalah ancaman pertama yang keluar dari mulutnya. Namun bukannya takut, bibir Ken justru tertarik membentuk senyuman tipis. "Silahkan saja." Tantangnya. "Apa menurutmu dia akan mengusirku pergi? Bahkan bila dirinya tahu, dia hanya akan menyerahkan dirinya, Nay. Dia akan menuruti segala keinginanku untuk menebus perasaan bersalahnya. Kau yang paling tahu hal tersebut bukan? Mengadukanku hanya akan membuatnya lebih tersiksa batin." Laki-laki itu menoleh ke kiri dan kanan sekedar memastikan koridor rumah sakit kosong lalu membungkuk untuk menyeterakan tingginya dengan Naya yang tengah duduk.

Di telinga Naya, Ken berbisik pelan sekali. "Aku kemari untuk berduka. Dia sungguh beruntung berhasil selamat dari semua ini. Kupastikan hal ini tidak akan terulang di lain waktu." Dengan itu Ken menarik dirinya dan berlalu darisana. Ia tidak bisa berhenti tersenyum semenjak meninggalkan Naya yang menangis tersedu-sedu.

Ada dua nama berjasa dibalik rencana kotor Ken, dr.Eric Brown dan Julius. Ken langsung menyambangi sebuah tempat sesuai petunjuk dr.Brown begitu keluar dari rumah sakit. Selama ini mereka selalu bertemu di pub. Sekarang masih terlalu siang untuk menunggu pub buka.

GPS yang mengidentifikasi Ken menampilkan bahwa ia sudah sampai di titik tujuan. Ken sampai di lingkungan yang jauh dari kawasan kota. Persis ketika mobilnya berhenti, dr.Brown keluar dari sebuah garasi rumah tua. Ia memanggil Ken masuk lewat garasi.

Tidak seperti suasana diluar rumah yang terlihat sepi, keadaan di dalam terlihat sibuk dengan aktifitas. Orang-orang dengan masker dan baju yang menutupi seluruh bagian kulit mereka tampak berlalu lalang.

"ini jam istirahat para pekerja." dr.Brown menjelaskan melihat kebingungan di wajah Ken.

Rumah itu bahkan memiliki konstruksi underground—tingkat dua kebawah. Sementara dari luar sendiri terlihat seperti bangunan lantai dua yang normal. Ken tidak bisa menahan diri untuk tak memindai ruangan-ruangan kaca yang dilewatinya. Ruangan-ruangan itu dibatasi sekat. Hampir seluruh ruangan  memiliki tabung-tabung silinder dan alat-alat yang mungkin hanya dapat ditemui di laboraturium kelas dunia.

dr. Brown mengarahkan Ken ke suatu ruangan, tipikal ruang kerja di kantoran. Begitu kontras dengan ruang-ruang yang Ken lihat sebelumnya. Ia mengeluarkan sebuah wine dari kulkas disudut ruang kemudian menuangkannya di gelas Ken yang kosong.

"Bagaimana dengan rencana kemarin? Berhasil?"

".....Belum. tapi aku tahu ini akan berhasil." Pikiran Ken kelihatannya tidak disana. Ia masih tercengang mengenai rumah underground ini dengan tetek bengeknya. Ken tahu dr.Brown tidak terlibat dengan ekstaksi maupun hal lain berbau narkotika. Ada hal jauh lebih hebat dibandingkan narkotika, yang masih belum ia pahami. Dan dr.Brown seperti bisa menelanjangi fikiran Ken. Ia mendengus dan tersenyum. "Kau pernah bertanya-tanya bagaimana seorang dokter sanggup berinvestasi dalam EltCorp. Inilah jawabanku. Aku menciptakan racun sekaligus penawarnya. Bukan racun pembunuh seperti yang kau minta terakhir kali. Ini hal yang berbeda."

Gelar dokter untuk nama Eric Brown hanyalah sekedar gelar. Ia bukan dokter sesungguhnya, sebab dirinya tidak pernah menggangap menyelamatkan orang lain menjadi bagian dari tugasnya. Eric Brown mendalami bidang medis hanya untuk meraup keuntungan bagi dirinya sendiri. Memilih menjalankan bisnis kotornya ketimbang mengobati manusia tak berguna.

KANAYAWhere stories live. Discover now