31. Terlahir untuk Pergi

Mulai dari awal
                                    

"Jangan ikut campur. Kamu gak tahu apa-apa," balasku lelah.

"Kalo elo cuma berniat balas dendam aja sama dia, elo berhasil. Udah cukup kan buat elo? Kalau begitu ceraikan dia, biar dia bisa bahagia sama gue."

Seketika aku bertambah kesal. Siapa dia? Berani-beraninya memintaku untuk menceraikan Zoya.

"Gue tau siapa elo dari dulu. Gue ngebiarin elo juga karena gue tau Zoya cinta sama elo dari dulu. Tapi dengan begonya elo mikir dia gila terus ninggalin dia yang sekarang lagi hamil anak elo gitu aja? Otak elo di mana? Perlu gue bantu cariin?"

Apa?! Hamil? Istriku hamil?!
Aku langsung teringat pesan beberapa menit yang lalu; 'I miss you, Papa.'

Tapi di sisi lain hatiku berkata untuk tidak mempercayainya. Mengingat sebelum aku pergi, Zoya jelas-jelas menggunakan obat kontrasepsi, hal itulah yang membuatku kecewa besar kepadanya dan memutuskan untuk pergi.

"Hahaha, bercandaan kamu itu gak lucu sama sekali! Anak siapa emang? Gak mungkin itu anak saya," timpalku.

Baru saja otakku ini akan membuat pemikiran aneh. Siapa tahu Zoya berhubungan dengan Defian selama aku pergi, bukan? Namun ucapan pria ini membuatku tersadar, telah bertindak bodoh.

"Heh, gambreng! Elo pikir gue bercanda? Ya anak elo lah! Anak siapa lagi emangnya? Elo yang main kuda-kudaan sama dia, masa giliran bunting dikasih ke gue?"

"Maaf saya tak percaya dengan ucapan anda," ucapku singkat namun berbeda dengan apa yang kurasakan di hatiku. Aku bimbang.

"Istri elo hampir mirip mayat hidup. Kalo elo masih keras kepala, jangan salahin gue kalo pas balik nanti elo beneran ketemu mayatnya."

Setelah itu panggilan diputuskan secara sepihak. Sebagian hatiku ingin aku pulang, melihat seseorang yang kurindukan. Sebagian egoku bersikukuh ingin tetap di sini, memberikan pelajaran kepada wanita yang tak punya hati itu.

>>>>>

Pada akhirnya egoku yang menang, sekalipun aku sangat ingin bertemu dengan istriku.

Tetap berada di ruangan kantor yang selama sebulan lebih ini menjadi markasku. Aku bangga karena dalam kondisi seperti sekarang aku justru memiliki ide untuk meluncurkan proyek baru.

Hingga aku yang hampir saja marah karena ada orang yang tanpa permisi masuk ke dalam ruanganku, namun aku terkejut bukan main saat melihat ayah mertuaku telah berdiri di hadapanku.

"A-ah Papa, ada apa jauh-jauh kemari?"

Akan tetapi yang kudapatkan justru sebuah tinju mendarat tepat di wajahku.

"Jangan bertingkah seolah saya bodoh! Apa yang kau lakukan di sini sedangkan istrimu sedang mengandung benihmu?!"

Aku terperangah mendengar ucapan ayah mertuaku. Jadi Zoya benar-benar hamil?

"Kenapa? Jangan bilang kau tak tahu jika putriku sedang mengandung?! Astaga ... kesalahan besar saya menyerahkan Zoya kepada kamu! Seharusnya Defian saja yang menikahi Zoya."

Seketika aku langsung emosi, "Maksud Papa apa?"

"Ceraikan Zoya sekarang juga!" tuntut ayah mertuaku dengan mats yang memerah karena emosi.

Aku berusaha menahan emosiku walaupun tak sepenuhnya berhasil. "Zoya istri saya. Janin yang dikandungnya juga calon anak saya. Saya mencintai Zoya. Jadi saya gak punya alasan untuk melepaskan dia!"

Sebuah tinju kembali mendarat di wajahku. "Mencintai Zoya kamu bilang?! Kalau kau mencintai putriku tak mungkin membiarkannya menyiksa diri sendiri selama ini. Dia bahkan rela melindungi kamu agar kami tak mengetahui masalah kalian, tapi kamu ... bersembunyi seperti pengecut!"

Kali ini aku menunduk, melihat sebuah foto yang diberada di ponsel ayah mertuaku. "Lihat, seperti itu keadaan putriku yang katanya kau cintai itu. Seperti itu dia merayakan hari pernikahan kalian. Seperti itu kegiatannya sehari-hari, merenung seperti mayat hidup. Apa kamu berniat membuat Putri saya kembali gila?! Setelah usaha keras kami, usaha keras Defian membuat Zoya kembali normal dan kamu ingin menghancurkannya?! Apa yang kamu sebut cinta itu bahkan tak pernah sebanding dengan apa yang dimiliki Defian."

Aku terduduk lemas setelah melihat foto-foto seorang wanita yang sejujurnya sangat kurindukan itu tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Aku merasa dadaku sakitnya seperti ditinju berkali-kali lipat dari apa yang kurasakan pada wajahku.

Papa Diyas pun terduduk lemas di kursi di depanku. Setelah kami sama-sama dapat lebih mengendalikan diri, Papa Diyas akhirnya menceritakan banyak hal yang tak pernah kuketahui selama ini. Kebenaran dan kenyataan yang membuatku malu, membuatku merasa menjadi orang yang paling tidak berguna. Membuatku iri kepada sosok pria bernama Defian Brooke yang mencintai istriku melebihi dirinya sendiri.

"Saya tak mengerti apa yang sebenarnya membuat kamu membenci Putri saya, tetapi seperti apa yang sudah saya ceritakan, putri saya tak memerlukan bantuanmu untuk disiksa, dia sudah tersiksa selama ini. Kami pun hanya bisa memberikan kebahagiaan semu sejak terakhir kali melihatnya ceria. Saya hanya ingin bilang sama kamu, tolong bahagiakan Putri saya jika kamu benar-benar mencintainya, atau lepaskan ia jika kamu tak mencintainya."

>>>>>

Benar, apa yang dikatakan Papa Diyas saat itu. Seharusnya aku bersyukur telah dicintai seseorang seperti Zoya. Rasa cinta yang pasti tanpa maksud lain. Aku seharusnya bersyukur mendapatkan cintanya begitu mudah, bahkan mungkin sebelum aku jatuh cinta kepadanya.

Tidak seperti pria ini, mencintai istriku dalam diam hingga akhir ajalnya. Mengorbankan apapun bahkan nyawa demi kebahagiaan orang yang dicintai.

Aku meninggalkan pemakaman ini dengan rasa tak menentu. Kuarahkan mobilku kembali ke rumah sakit yang selama dua bulan ini terasa seperti rumah bagiku.

Tiga letusan senapan api yang kudengar pada hari itu, memang salah satunya melukai istriku. Hingga kondisinya kritis sampai sekarang, entah kapan ia akan membuka matanya.

Satu tembakan lain mengenai jantung Defian saat ia berusaha menumbangkan Ramon dengan pistol di tangannya. Ia datang tepat waktu sebelum pria itu kembali menghujani istriku dengan tembakan tambahan di punggungnya.

Tembakan terakhir mengenai jantung Ramon sendiri saat Defian dengan usaha terakhir yang ia punya berupaya untuk menghentikan kegilaan yang terjadi. Begitulah menurut saksi mata di parkiran kantorku.

Aku memandangi wajah istriku yang pucat, tak terasa air mataku menetes begitu saja melihatnya tertidur dengan damai. Aku rindu bagaimana ia menatapku dengan kedua matanya yang indah. Aku rindu tingkah konyolnya, canda tawanya.

Mataku beralih pada lehernya, di mana terdapat sebuah kalung pemberian Defian di saat-saat terakhirnya. "Tolong jaga Zoya dan berikan ini kepadanya. Aku kalah, aku tak bisa membahagiakan dia lebih lama lagi. Hanya kau yang mampu melakukannya."

Mengingat ucapan pria itu membuat tangisku semakin menjadi. "Andai Tuhan masih ingin berbaik hati kepadaku, andai ucapanmu benar. Maka berikanlah aku kesempatan untuk membuatnya bahagia."

*****

Lah ali nulis sambil nangis masa? Wkwkwk

Buat fans nya Defian aku minta maaf, buat hatersnya Agam silahkan bersenang hati, buat pendukungnya Zoya boleh lah bikin party. 😂😂😂

Peace out!
Ali

08 November 2017
1501 Words

All Eyez (#MOG 2) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang