24. Apa Salah Zoya

3.8K 322 27
                                    

Vote dan commentnya jangan lupa ya, hehehe.

Happy reading! 😘

*****

"Tanpa bicara, mereka yang semula dekat akan menjauh.
Tanpa mendengar, mereka akan semakin tak peduli."

- Gauri Adoria Zoya -

*****

Kata orang, ujian berat awal akan dirasakan dalam tahun pertama sebuah pernikahan. Sepertinya memang benar, karena sejak pertengkaran kecil itu, entah mengapa aku merasa jika kami saling menjaga jarak. Kami tinggal dalam satu atap tapi seperti bukan suami istri. Bahkan saat kami berhubungan intim pun, rasanya sudah hambar. Hanya seperti kewajibanku melayaninya sebagai seorang istri. Hal ini terus berlanjut hingga memasuki lima bulan usia pernikahan kami.

Bukan aku tidak mau atau berusaha memperbaiki, tapi suamiku sendirilah yang menghindari niat baikku. Aku tak mengerti kenapa dan mungkin dia tak menyadari baik ada maupun tidak ada dia di rumah ini, aku terasa seperti orang asing, aku kesepian. Hanya kehadiran Mama Irana yang membuatku lebih baik.

Terkadang aku merasa lucu, hanya karena pertengkaran kecil kami bisa seperti ini, lalu bagaimana cara kami menghadapi masalah yang lebih pelik? Aku juga ragu menceritakan hal ini, karena aku tahu jika orang tuaku menganut prinsip sebisa mungkin tidak ikut campur masalah rumah tangga anaknya, dan aku malu juga ragu kalau harus bercerita pada Mama Irana tentang rumah tangga kami.

"Aku berangkat ya, Aya. Hati-hati di rumah." Agam memberikan ciuman di dahiku seperti biasanya setelah selesai sarapan dan siap untuk pergi ke kantornya.

Apakah ada yang menyadari ada perubahan di dirinya selain aku, istrinya?

"Iya, pulangnya malam atau enggak hari ini?" tanyaku.

"Aku lupa gak kasih tahu kamu. Aku harus langsung berangkat ke Medan buat liat kantor cabang di sana. Mungkin sekitar tiga hari, paling lama seminggu aku akan ada disana," balasnya menyesal. Tapi terlihat dibuat-buat di mataku.

Sudah cukup, aku lelah. Aku tak bisa pura-pura bodoh dan bersandiwara seakan aku baik-baik saja. "Agam ngehindarin Aya, kan? Aya kena penyakit menular ya sampai harus dijauhin?"

Agam mengerutkan keningnya, "Kamu tuh kenapa sih sensitif gini, Ya?"

"Berhenti pura-pura, Agam! Kalau Agam gak ngejauhin Aya, gak mungkin hampir setiap hari Agam pulang larut malam terus, gak mungkin lebih milih tidur di kamar yang berbeda alasannya ngantuk, gak mungkin jarang sarapan di rumah alasannya Aya ngebanguninnya kesiangan dan sekarang tiba-tiba bilang mau ke luar kota gitu aja ninggalin Aya sendirian di sini?" sergahku lelah.

Agam menatapku tak suka, "Kamu kok ngomongnya gitu sih?"

Aku menahan emosiku supaya tak lebih meledak dari ini. "Ada juga Aya yang tanya sama Agam, mau Agam itu apa? Kenapa nikahin Aya kalau berniat nyiksa batin Aya?"

Aku tahu ucapanku cukup menjadi alasan untuk memancing emosi Agam. Kini dia mulai kembali mendekatiku. "Cukup kamu tahu satu hal, aku minta lupain pertanyaan kamu hari itu justru karena aku gak mau nyakitin kamu. Tapi ternyata kamu malah ungkit-ungkit lagi, di saat aku berusaha keras untuk melupakan semuanya."

"Bilang sama Aya gimana caranya bisa ngelupain itu kalau justru setelah itu kita kayak orang asing yang terpaksa tinggal satu rumah?! Kenapa juga Agam harus nyakitin Aya? Apa Agam mau balas dendam sama Aya? Salah Aya apa?!" cecarku tak terima dengan perkataannya.

Saat ini, ketika aku melihat mata Agam, aku benar-benar merasa asing. "Tolong jangan buat aku punya alasan untuk membenci istriku sendiri."

Setelah mengucapkan kata-kata terakhir itu, Agam bergegas pergi dan aku hanya bisa terduduk lemas, menangis seperti bukan diriku saja.

All Eyez (#MOG 2) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang