Day - 5

1K 116 10
                                    

Aku benci waktu yang terlewat begitu singkat. Aku benci malam yang akan mengganti hari. Aku benci bumi yang selalu berputar. Jikalaupun bisa aku ingin menghentikan waktu dan menikmati apa yang ingin ku lakukan bersama Chanyeol. Tanpa batas. Tanpa takut termakan oleh waktu.

Aku memang sudah gila.

Chanyeol menjentikan jemarinya didepan wajahku. "Kau melamun?"

Karena tertangkap basah, aku tersenyum.

"Aku sedang memikirkan hal-hal menarik yang akan kita lakukan besok." Kataku bohong. Chanyeol tidak harus tahu jika dia yang selalu ada dalam pikiranku.

Dia menggesekkan telunjuknya ke dagu. Berpikir. "Bagaimana dengan pantai? Kita belum pergi ke pantai."

Aku sedikit terkejut sekaligus tegang. Trauma dan pantai memliki keterkaitan sangat tinggi. Aku masih trauma dengan pantai. Aku takut dengan gumulan air jutaan galon tersebut. Ada banyak ketakutan yang mungkin belum Chanyeol ketahui. Bahkan aku masih sering mendapat mimpi buruk tentang Chanyeol yang sengaja meninggalkan ku ditengah laut, diterjang ombak serta dihantui rasa takut akan tenggelam amat tinggi.

Secara tidak sengaja kesalahan Chanyeol dulu telah menorehkan trauma akan ketakutanku pada laut yang amat mendalam. Tapi aku yakin sekarang dia tidak begitu. Dia akan melindungiku.

"Aku, aku mau pergi ke rumah nenek. Bagaimana kalau kita pergi ke rumah nenekmu?"

Aku ingin menolaknya, tapi tidak bisa. Sebuah pengalian semoga bisa sejalan denganku.

Chanyeol tidak mengatakan apapun tapi beranjak dari kursi, meninggalkan makan malamnya dan berlalu ke arahku. Memelukku dari belakang. "Maafkan aku. Maafkan aku." Bisiknya lirih ditelingaku.

Aku mengusap lengannya yang melingkar disekitar dadaku. "Harusnya aku yang minta maaf, karena tidak bisa memenuhi keinginanmu untuk pergi ke pantai." Mencoba baik-baik saja serta bersikap biasa saja.

Chanyeol mendekapku makin erat. "Kalau waktu itu aku tidak meninggalkanmu, mungkin kau tidak akan mendapat trauma itu."

Waktu memang tidak bisa sejalan dengan manusia. Semua tidak bisa diperbaiki hanya dengan cara menyesal. Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan hanyalah berupaya menjadi individu yang lebih baik lagi. Aku sudah melihat hal itu dalam diri Chanyeol.

"Aniya. Jangan menyesali sesuatu yang sudah berlalu. Lama kelamaan traumaku hanya akan ditelan waktu. Aku yakin traumaku akan hilang setelah beberapa saat." Kataku meyakinkannya. Meski jauh dalam hatiku mengatakan sebaliknya. Aku terlalu munafik untuk mengatakan kebenaran tentang diriku. Tentang trauma yang amat menyiksa meski hanya membayangkannya saja.

"Tetap saja itu semua salahku." Chanyeol masih merengek. Napas tidak beraturannya menerpa leherku.

"Sudah. Aku tidak papa. Sekarang kembali ke tempat duduk dan habiskan makan malamnya."

Chanyeol baru mau kembali setelah mendapat teguran dariku.

Tunggu dulu,

Setelah dia kembali aku menemukan sebuah kejanggalan.

Mata Chanyeol sembab,

"Kau menangis, ya?" Tanyaku, meneliti ke wajahnya yang masih menunduk.

"Tidak. Hhhhh, untuk apa kau menangis." Suaranya juga serak.

Tidak salah lagi. Berarti sejak tadi tidak mau melepas pelukannya karena dia menangis.

Tak ingin mengganggunya, aku putuskan untuk tidak bertanya lagi.

"Aku percaya kau tidak menangis. Sekarang lanjutkan makannya."

###


Setelah makan malam usai, aku memutuskan untuk pergi keruang tengah dan duduk disana. Membaca majalah dan menyeruput secangkir teh hangat. Sedang Chanyeol tengah bicara dengan paman Lim, supirnya dibelakang.

Suspicious StrangerWhere stories live. Discover now