NINETEEN : THE TASK

115 5 4
                                    

The Task

Ya. Seperti yang kukatakan, hati seperti bumi, punya masa kedaluwarsanya dan bahkan suatu saat akan lenyap - Adara✍

❣❣

Adara Pov

Kini, ditempat ini, aku kembali lagi. Mengembalikan memori-memori yang membuat hatiku pernah bergejolak. Antara Cinta dan kadang benci. Aku merenung-renungkan sejenak, tentang dua laki-laki dalam pikiranku. Sesekali aku menatap ke bawah, biasanya laki-laki itu sedang memainkan alat musik kesayangannya. Namun mungkin ia terlampau sibuk dengan urusannya pada perempuan yang menjadi daftar kesayangan baru dalam hidupnya itu.

Aku beralih pada satu laki-laki lain dalam pikiranku, aku mulai berpikir bahwa aku sudah salah karena menjauh apalagi membencinya. Dia bukanlah sosok yang teramat buruk. Lagipula maksud dan tujuannya hanya berteman kan? Kenapa aku harus menghindar? Farin, Mika, Amy dan Sindy hanya bisa menebak. Belum tentu benar. Darimana mereka bisa menerka bahwa lelaki itu punya maksud lebih? Mereka bukanlah psikolog yang bisa membaca gerak-gerik seseorang.

Namun entah mengapa, hatiku selalu bergejolak bila dihadapkan dengan matanya. Mata lelaki itu, selalu berhasil membuat jantungku berada dalam ritme cepat. Aku selalu berhasil dilemahkannya hanya karena tatapan yang menusuk tajam. Apa mungkin semua sudah berevolusi? Apakah perasaan ini sudah berotasi meninggalkan jejak kebencian?

Mulutku berkata aku masih menyimpan nama lelaki si penyuka musik itu dalam hatiku. Namun aku sendiri tak tahu pasti padahal aku sendiri pemiliknya. Semakin sering aku dihadapkan dengan kehancuran hati yang teramat dalam, semakin pula hatiku dirundung keraguan untuk mengatakan bahwa perasaan ini masih ada untuknya.

Aku bertekad untuk benar-benar mencoba melupakannya. Dan saat itu juga terlintas dalam benakku nama si pemilik mata teduh. Alfa. Ada yang janggal, kenapa harus nama laki-laki itu?

***

Kicauan burung di pagi hari diganti dengan suara Aldi yang begitu nyaring ditelinga siapapun yang kini berada dirumah. Lelaki itu sedari tadi mengoceh tak jelas sambil membongkar-bongkar lemari.

"Jo, Lo ngaku deh, Lo yang ngambil buku gue kan?" Tuduh Aldi pada kembarannya itu. Membuat emosi Jo naik seratus delapan puluh derajat.

"Apa Lo bilang?! Gue bukan pencuri ya!"

"Emang nggak pencuri, tapi tukang nyolong. Uwes! Podo ae!"

"Ck, Lo tuh-"

"Aldi, Jo, ada apa sih kok pada ribut-ribut?" Tanya Helena saat tiba didekat mereka.

"Tau nih, udah pusing jadi tambah pusing," Ucap Dara memijit pelipisnya.

"Kamu sakit, Dek?" Tanya Helena dengan polosnya.

Dara memutar bola matanya. "Engga lah, Mi."

"Itu megangin kepala bilang pusing-pusing,"

Dara menarik nafas kemudian beranjak ke meja makan. "Mami mah sama aja."

Helena menggelengkan kepala sambil mengedikkan bahu tak mengerti.

"Pokoknya gue ngga mau tau Lo harus bantu nyariin!"

Jo mendecih. "Halah, bilang aja Lo mau minta tolong buat nyariin buku, pake acara nuduh-nuduh segala. Makanya kalo punya barang tuh disimpan ditempatnya, jangan diserakin dimana-mana!" Ucap Jo berhasil membuat Aldi menggertakkan gigi.

"Emang buku apa yang hilang, Di?" Tanya Helena.

"Itu loh, Mi. Buku tentang futsal, Aldi udah janji sama temen-temen Aldi buat bawa itu buku biar entar bisa dipake buat latian." Terangnya dengan raut wajah frustasi.

"Emang dasar club Lo aja yang oneng, biasanya juga latian dari pelatih ini dari buku. Dasar ogeb!" Sindir Jo sambil tersenyum sinis.

"Jo, ngga boleh gitu ah." Helena beralih menatap Aldi. "Yaudah emang kamu beli dimana kemarin, Di? Biar beli yang baru aja."

Aldi menarik nafas. "Itu dulu dikasih sama pelatih Aldi waktu SMP, Mi. Aldi ngga tau belinya dimana."

"Kak Aldi buruan!!! Udah telat nih!!" Teriak Dara dari arah bawah.

"Tuh, Dara udah nungguin. Yaudah kamu bilang aja sama temen kamu yang sebenarnya pasti mereka ngerti kok." Ucap Helena mengelus-elus punggung Aldi.

Aldi hanya bisa menghela nafas pasrah.

***

"Jadi Lo udah dapet ruangannya, Ra?" Tanya Amy.

Dara mengangguk dan tersenyum. "Udah, Kak. Tinggal direnov aja pasti ntar jadi bagus deh."

Amy manggut-manggut. "Ooh gitu, berarti butuh biaya dong?"

Dara nyengir. "Hehe, iya, Lo bisa bantuin kan kak?"

"Tenang, pasti gue bantuin kok." Amy menepuk-nepuk pundak Dara.

Dara berdecak. "Lo emang paling debest deh!" Dara mengacungkan jempolnya.

Amy tersenyum. "Eh yaudah kalo gitu gue ke kelas duluan ya, katanya kan mau ke ruangan itu dulu."

"Hehe, iya nih gue mau ngecek dulu. Mumpung masih pagi juga otak gue masih seger, jadi bisa cari inspirasi lah gimana bentuknya nanti."

"Cie'elah, semangat banget ngurus kesenian." Amy mencolek dagu Dara.

Dara tertawa kecil. "Iya dong, harus!!"

"Yaudah kalo gitu semangat ya adek gue yang paling kreatif plus inovatif!" Amy merangkul Dara erat.

"Bisa aja Lo, yaudah gih sana katanya piket."

Amy melepaskan rangkulannya. "Iya, yaudah duluan ya, babe!"

"Oke, babes!"

Keduanya pun berpisah. Dara melanjutkan perjalanan menuju ruangan kesenian yang baru. Setelah tiba disana, Dara mengeluarkan kunci yang sudah diberinya mainan Doraemon kemudian ia segera membuka pintu. Dara memasuki ruangan itu dan memperhatikan setiap detail sisinya. Dara menyimpulkan bahwa ruangan itu bekas dari ruang penyimpanan alat-alat olahraga. Tampak dari beberapa bola basket, bola kaki dan yang lainnya yang tersusun di sebuah lemari.

Dara duduk di sisi sebuah meja dan melipat kedua tangannya.

Kreatifitas dimulai. Mumpung masih pagi dan masih sepi. Waktu yang tepat! Otak fresh dan nggak ada suara bising yang mengganggu. Dara mulai memutar otaknya sambil memandangi ruangan. 5 menit, beberapa ide sudah muncul dibenaknya. Tanpa harus biaya besar, hanya sekedar dana untuk membeli cat. Lainnya akan dimanfaatkan barang-barang bekas. Fix! Ini oke banget.

Dara tersenyum lebar. Kemudian ia berdiri dan beranjak dari tempat itu. Dara segera keluar dan tak lupa menguncinya.












Jangan lupa vomentnya babe!

Love youu❤❤❤

Mendung Jangan Pergi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang