14. Impresi yang Buyar

Mulai dari awal
                                    

Otakku berputar cepat dan melebarkan mataku ketika mengerti. "Heh, jangan macem-macem ya sama Sarah. Dia itu perempuan baik-baik, Lan. Bukan yang gampang diajak main kuda-kudaan, apalagi cuma dijadiin mainan. Gue bakal benci sama elo tujuh turunan kalo elo berani nyakitin dia." Gadis yang menjadi sekertarisku di depan itu adalah karyawan paling teladan ketika aku masih menjadi assisten manajer personalia dulu.

"Kalo begitu pas!" timpal Alan dengan mata yang berbinar-binar.

Aku mengerutkan kening, "Pas apanya?"

"Pas buat dijadiin istri lah! Body-nya juga bagus gitu, hampir mirip gitu deh sama Mama. Papa kan nyuruh gue cari bini yang mirip-mirip Mama gitu. Gue tebak kayaknya ukuran dia itu 36 deh, enak buat dipeluk," tutur Alan yang sedang nyengir kuda.

Demi apapun, pipiku mungkin sudah semerah tomat busuk menahan malu. Alan bodoh sekali berbicara ukuran dada wanita dengan kakak perempuannya yang kebetulan mempunyai besar yang sama. Herannya dia terlahir tampan tanpa kenal rasa malu, padahal aku sendiri ingin sekali tenggelam saat ini juga.

"Keluar lo dari ruangan gue!"

Alan cekikikan, "Sensitif banget sih elo. Eh, tapi bagus sih. Jadi gampang teriak kan ya?"

"Keluar lo sebelum gue telanjangin terus gue gantung nih di kaca!"

"Hahaha, ganas juga ya ternyata elo, Kak. Andaikan elo bukan kakak gue, elo termasuk selera gue sih, liar, ganas, rawww! Perang sama elo kayaknya bakalan-"

"KELUAR!"

"Hahahaha bye babe, i love you so much!"

>>>>>

"Eh makasih Aya, ini buket bunganya bagus banget deh!"

"Happy birthday Moira! Maaf ya gue terlambat, abis nungguin Ramon lama banget jemputnya."

"O-oh gakpapa kok, kamu datang aja aku udah seneng banget, Ya. Ah iya makasih ya Ramon udah mau repot-repot ikut ke sini."

"Sama-sama."

Aku bergerak gelisah dalam tidurku. Aku tahu jika itu hanya sebuah kilasan bukan kenyataan yang terjadi saat ini. Tapi enggan rasanya terbangun. Wajah-wajah mereka seringkali hadir dan ini pertama kalinya aku mengetahui nama mereka.

"Moi, itu cowok ganteng deh. Temen elo? Boleh juga, hahaha."

"Jaga mata kamu, Ya! Kamu masih ingat kalau punya Ramon kan?!"

"Santai dong, Bu. Maksud gue kenapa gak elo jadiin aja sih, waktu elo ulang tahun juga gue ngeliat kalian kayaknya deket gitu. Cowok kece mubazir tau kalo dibuang."

"Apaan sih, bukan dia yang aku suka, Ya. Udahlah jangan ngomongin dia, kasihan nanti kupingnya panas."

"Dia jomblo kan? Ayolah Moi, masa gue udah tunangan tapi elo masih betah aja sendiri."

"Ap-apa?! Tunangan? Kok kamu jahat sih Aya. Gak cerita-cerita sama aku."

"Hehehe maaf, baru inget. Semalam dia ngelamar gue, Moi. Ahh... seneng banget! Loh ... mau ke mana, Moi?"

"Mau deketin itu cowok buat dijadiin suami!"

"Hahaha bisa panas juga dia. Tapi syukur deh, apalagi kalau bisa resepsi barengan, kayaknya lucu juga."

Aku mengerjapkan mata perlahan dalam kondisi minim penerangan. Aku sengaja membuat suasana kamarku seperti ini, hanya lampu tidur satu-satunya penerangan karena aku sulit tertidur dalam kondisi ruangan yang terang.

Otakku tiba-tiba bekerja cepat saat nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Tadi aku menyebutkan sebuah cincin! Aku pernah melihat cincin itu di kamar ini.

Aku melangkah menuju lemari pakaian karena kuyakin aku pernah melihat cincin itu di sana. Hingga keyakinanku benar-benar terbukti ketika cincin itu bersatu dengan kalung di antara gaun berwarna merah yang menggantung di ujung sebelah kiri.

Aku bukan lajang sejak dadaku belum tumbuh. Aku pernah merasakan punya kekasih. Aku pernah bertunangan.

Aku tidak benar-benar anti sosial. Setidaknya aku kenal orang luar selain Defian. Setidaknya aku pernah punya teman.

Moira, Ramon, apa benar kalian itu nyata? Di mana kalian sekarang? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?

TBC

*****

Ada yang udah bisa nebak-nebak? Hahaha

Btw, impresi itu ingatan ya. Buat yang penasaran arti judul part ini. Hehe

Regards,
Ali

08 Septemper 2017
1102 words

All Eyez (#MOG 2) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang