1.si pangeran es dan putri alay

11.5K 336 0
                                    

"Vano! Bangun! Ini hari pertama kamu sekolah, loh!"
Vano yang masih bergelung di balik selimut seketika mengerang, sebelum akhirnya balas berteriak, "Iya, Ma. Vano udah bangun!"
Reinata-ibu Vano, akhirnya beranjak dari kamar putranya dan bergegas menuju kamarnya untuk membangunkan suaminya. Vano merenggangkan otot-otot sebelum kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk melakukan ritual paginya-mandi. Setelah berkutat dalam ruangan sebesar 4x3 meter itu selama hampir satu jam, Vano akhirnya keluar dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
Cowok itu membuka lemari dan meraih seragamnya kemudian mengenakannya. Setelah itu, Vano memandang pantulan dirinya dari balik cermin. Dia berdecak kagum menatap wajahnya yang cukup tampan, garis rahang yang kokoh serta hidung yang mancung, plus mata tajam yang dapat melelehkan cewek mana pun. Vano akui dirinya memang menawan, terbukti dari cara cewek-cewek di sekolahnya yang rela bersaing hanya demi merebut perhatiannya.
Menggeleng untuk menghilangkan rasa bangganya terhadap diri sendiri, Vano segera keluar dari kamar setelah meraih tas yang berada di atas meja belajar.
***
"Selamat pagi semuanya!" sapa Vano saat ia sudah bergabung di meja makan bersama ketiga anggota keluarganya yang membalasnya tak kalah ramah.
"Cepat sarapan Vano, dan awalilah hari dengan penuh semangat!" ujar Reinata sembari mengoleskan selai cokelat pada roti yang akan diberikannya pada Vano.
"Baik, Ma."
Mereka segera menikmati sarapannya dengan lahap dan tenang, tidak ada obrolan selama makan. Itulah yang sering diajarkan oleh kedua orang tua Vano bahwa tidak baik bicara saat makan.
"Aku sudah selesai Ma, Pa," ujar Nanda-kakak Vano, menggeser piringnya kemudian berdiri, menghampiri kedua orang tuanya untuk mencium tangan mereka-kebiasaan sejak kecil yang diajarkan orang tuanya.
"Hati-hati, ya, Kak," ujar Reinata mengingatkan.
Nanda mengangguk, kemudian meraih tasnya dan menghampiri Vano yang masih menikmati sarapannya dan mengacak rambut Vano. "Adikku yang tampan, belajar yang rajin, ya?"
Vano mendengkus. "Iya, Kak. Tapi jangan mengacak rambutku juga, dong. Nanti kadar ketampananku jadi berkurang," gerutu Vano sembari memperbaiki rambutnya yang sudah acak-acakan karena ulah kakaknya itu.
Nanda tergelak. "Dasar narsis!" Setelah mengatakan itu Nanda segera pergi.
Nanda adalah kakak Vano, dia seorang dokter yang bekerja di salah satu rumah sakit di kota mereka. Melihat Nanda yang begitu berwibawa saat mengenakan pakaian dokternya, Vano pun bercita-cita ingin menjadi seorang dokter, sama seperti Nanda.
"Ma, Pa, Vano juga sudah selesai. Vano berangkat dulu, ya?"
Setelah melakukan ritual pamitnya, Vano segera berangkat.
***
Arnila Vanya Syakilla tersenyum ceria menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya yang panjang ia ikat kuda. Seragam SMA yang terlihat licin karena baru selesai disetrika oleh mamanya, nampak pas dengan tubuh mungilnya. Senyum cewek itu merekah kala membayangkan dirinya yang hari ini sudah resmi menjadi siswi SMA. Dengan senyum semringah, Nila-sapaan cewek itu, segera keluar dari kamarnya, dia harus cepat sarapan.
"GOOD MORNING EVERYBODY!" teriak Nila yang sukses membuat semua orang yang ada di ruang makan sontak terkejut, terlebih karena apa yang dilakukan oleh cewek itu: berseluncur pada pegangan tangga.
"Astaga, Nila! Kamu bisa jatuh, Nak!" bentak Arnetta-ibu Nila, saat anak gadisnya itu sudah ikut bergabung dengan mereka.
Nila terkekeh pelan, mengambil tempat di samping kakaknya-Juna, dan berkata, "Tidak akan, Ma. Nih, buktinya aku sudah duduk dengan selamat sentosa."
Arnetta berdecak, tetapi memilih untuk tidak menimpali ucapan putrinya.
"Nil, lo enggak kasihan sama Tante? Nanti Tante jantungan loh, karena tingkah lo," ujar Javier-sahabat Nila yang memang sudah sering ikut sarapan dengan keluarga Nila beserta kedua teman Nila yang lainnya; Rania dan Indri.
"Bacot lo, Pier! Mama aja enggak masalah, tuh," umpat Nila dengan cuek sembari meminum susu yang sudah disediakan mamanya.
Arnetta melotot mendengar ucapan putrinya, wanita itu mendelik pada suaminya, Axel. "Astaga, Pa. Anakmu itu!" gerutunya.
"Dia anakmu, Ma," balas Axel cuek.
Arnetta dan Axel saling melempar tatapan tajam, sama-sama tidak mau mengakui bahwa Nila adalah anak mereka karena tingkahnya. Melihat itu, Nila berdecak kemudian berceletuk dengan santainya. "Astaga, Ma, Pa. Aku itu hasil dari pergulatan kalian berdua, jadi aku ini anak Mama dan Papa."
Axel tersedak, Arnetta segera menepuk punggung suaminya dan menyodorkan segelas air putih. Javier, Indri dan Rania-sahabat Nila, pun melotot ke arahnya. Tidak percaya bahwa Nila akan berceletuk tanpa sensor seperti itu. Terlebih terhadap orang tuanya. Beda kepala, beda respons. Kalau yang lain merasa tidak enak dengan ucapan Nila, Juna malah terbahak.
Cowok itu menepuk kepala Nila berulang kali. "Princess Kakak pintar sekali jawabnya."
Nila mengerling jahil ke arah kakaknya. "Iya dong, Kak. Kan, Kakak yang ajarin."
"Juna! Apa yang kamu ajarkan pada adikmu!" pekik Arnetta dan Axel bersamaan.
Juna meringis dan mengumpat pelan karena adiknya berhasil membuatnya menjadi sasaran empuk oleh kedua orang tua mereka.
***
Juna meringis dengan memegangi telinganya yang memerah akibat jeweran maha dahsyat dari mamanya. Sesekali dia mendelik kesal pada Nila yang hanya dibalas cengiran jahil oleh adik semata wayangnya itu. Meskipun Nila suka jahil padanya dan mengakibatkan dirinya menjadi sasaran oleh orang tuanya, Juna tetap menyayangi adiknya itu. Dia akan melakukan apa pun untuk Nila asal adiknya itu tersenyum. Namun, saat ini Juna ingin menjahili adiknya dulu. Gantian, pikirnya.
"Udah deh, Kak. Jangan marah mulu, Nila kan cuman bercanda. Kalau Kakak enggak mau maafin Nila, Nila enggak mau ke sekolah, deh!" bujuk Nila.
Sebenarnya, Nila bisa saja berangkat tanpa kakaknya itu, akan tetapi, hatinya jadi tidak tenang jika memikirkan kakanya yang marah-walaupun dia tahu pasti kakaknya tidak akan pernah bisa marah terlalu lama padanya.
"Ya, jangan gitu dong, Nil. Kita kan udah nungguin lo sejak tadi. Masa iya, lo enggak mau ke sekolah. Ini hari pertama kita, loh!" Javier berdecak, tidak terima dengan ucapan Nila yang terkesan merugikannya.
Nila mendelik tajam pada Zavier lalu beralih menatap Rania dan Indri, sedetik kemudian dia berkedip, memberi kode sesuatu. Zavier mengerutkan kening, bingung. Baru setelah sebuah SMS yang masuk di ponselnya membuatnya mengangguk paham.
Rania
Nila cuman bercanda, ogeb!
"Iya, deh, Kak. Vier juga enggak mau sekolah kalau Kakak enggak maafin Nila."
Juna mendelik tajam pada Javier. "Bodo amat lo sekolah apa kagak, bukan urusan gue!"
Javier menggerutu dalam hati. Niatnya membantu Nila malah diketusin.
Nila, Indri dan Rania menahan tawa melihat ekspresi Javier yang begitu menyedihkan. Mereka tahu kalau Javier saat ini sedang kesal setengah mati tetapi cukup takut untuk membalas ucapan Juna. Well, Javier cukup waras untuk tidak membangunkan singa yang tidur dalam diri Juna. Kakaknya Nila itu kalau marah lebih bahaya daripada cewek yang PMS.
Juna masih setia dengan mode pura-pura ngambeknya. Cowok itu bahkan dengan santainya duduk di kursi yang ada di teras rumah kemudian memasang sepatunya tanpa berniat melirik Nila sedikit pun. Juna tahu, sejahil dan sebandel apa pun Nila padanya, cewek itu tidak akan bisa tenang melihat Juna marah-atau lebih tepatnya berpura-pura marah.
Usaha bujuk membujuk itu akhirnya selesai setelah Rania dan Indri ikut membantu, sama-sama tidak ingin ke sekolah dan akan menyalahkan Juna karena absen di hari pertama.
"Baiklah. Buruan berangkat, nanti telat! BTW, jagain adik gue, ya? Awas kalau gue lihat dia lecet! Satu gores pun, gue mutilasi lo pada!"
Javier, Indri, Rania, bahkan Nila memilih untuk tidak menjawab, mereka hanya mengangguk kemudian bergegas menuju sekolah yang untungnya tidak terlalu jauh dari rumah Nila. Juna yang memang satu sekolah dengan mereka memilih untuk menjemput calon pacarnya dulu sebelum ke sekolah.
Meskipun dari kalangan orang berada, Nila CS-begitu sebutan mereka saat di SMP-sama sekali tidak menggunakan kendaraan mewah menuju sekolah. Mereka lebih memilih untuk menggunakan sepeda. Menurut mereka, dengan bersepeda akan mengurangi polusi udara.
"Anjir! Kakak lo serem banget, Nil!" umpat Javier yang berada di belakang Nila.
Ketiga temannya-termasuk Nila-terkekeh.
"Haha, ya gitu deh, Vier. Wajar, dia jomkut!" kelakar Nila.
Javier menaikkan satu alisnya, bingung. "Jomkut? Apaan, Nil?" tanya Javier mewakili rasa penasaran sahabatnya yang lain.
"Jomlo akut. Sama kayak lo, Vier. Ganteng, tapi jomlo kelas kakap! Hahaha."
Celetukan Nila membuat Rania dan Indri terbahak.
"Anjir! Gue bukannya enggak laku, cuman belum ada yang nyangkut di hati!"
"Halah, ngeles aja, Vier. Jomlo, ya ngaku aja kelez!" cetus Indri.
"Dih, kayak situ enggak jomlo aja, Neng," balas Javier menyeringai.
Indri tersenyum masam.
"Yeee .... Ingat, kita berempat kan, emang jomlo. Tapi, cuman kamu Vier, yang jomlo dari lahir!" ejek Nila dengan kejamnya.
Sadar bahwa di antara mereka berempat memang hanya Javier yang tidak pernah pacaran, mereka seketika terbahak. Terutama Javier. Menertawai diri sendiri cukup menyenangkan baginya. Puas tertawa, mereka segera mempercepat laju sepedanya. Di sela-sela kayuhannya, Javier menatap ketiga punggung sahabatnya yang memang sengaja ia dahulukan.
Menghela napas, Javier bergumam,

ketika pangeran es jatuh cinta(KPEJC)sudah TerbitWhere stories live. Discover now