Chapter 14 | Be Mine?

Start from the beginning
                                    

Aku menghentikan tawaku lalu menyenggol bahu Rory. “Hanya karena aku suka film berbau pembunuhan bukan berarti aku psikopat.” Jawabku dengan memutar mata. “Aku hanya suka film semacam itu karena suasana tegang didalamnya memacu adrenalin, walaupun terkadang memang menjijikkan tapi menonton film semacam itu rasanya menyenangkan.”

“Terserah. Lain kali jangan putar film SawFinal Destination, atau film semacam itu saat ada aku bodoh! Dasar gadis punk gila.”

Aku hanya tertawa sebagai respon untuknya, tidak merasa tersinggung sama sekali dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan. Ia hanya sebal padaku, aku tahu. Aku memang suka membuatnya sebal. Kurasa “Annoy Rory” akan masuk ke dalam daftar hobiku mulai dari sekarang.

“Zia itu Luke!” Tiba-tiba saja Rory menarik lenganku lalu berbisik histeris di telingaku.

Dammit, Rory. Biarkan saja!” Aku mengernyitkan alis, merasa sedikit terganggu dengan reaksinya yang sangat berlebihan.

“Jangan bodoh! Kau ingat apa yang kukatakan?” Tanya Rory menyebalkan. Sebelum bibirku menjawab, pikiranku terlebih dahulu mengingatkan. Well, Rory bilang, bersikaplah biasa jika ada Luke, hadapi saja, tersenyum dan mengobrol. Yang benar saja! Seakan pikiranku tidak tersambung dengan tubuh, aku tidak pernah bisa bersikap biasa di saat pria bertubuh tinggi itu berada di dekatku. Selalu saja gugup dan gelisah, namun sebisa mungkin kututupi semuanya dengan raut wajah apatis.

“Aku ingat, aku ingat. Jangan sekarang please.” Kataku malas.

“Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” Rory menatapku bergantian dengan Luke yang posisinya di depan kami dalam radius sekitar lima meter. Aku hanya menatap pria itu sekilas lalu melayangkan tatapan ke arah lain.

Fuck.” Desisku. Rory menyikut lenganku, yang kuduga sebagai kode jika Luke sudah dekat. Benar saja, tiga detik kemudian Luke sudah menampakkan senyuman lebarnya di hadapanku.

“Hai, Zee.” Sapanya seperti biasa.

“Bentley.” Jawabku datar, tanpa senyum atau apapun.

“Abaikan saja, Zia sedang berada dalam suasana hati yang buruk saat ini.” Rory tertawa kecil, berusaha sedikit mencerahkan suasana hati Luke.

“Sepertinya ia memang selalu begitu saat aku di dekatnya. Apa kau tahu apa alasannya?” Tanya Luke seraya mengangkat kedua alisnya. Meski bertanya pada Rory, tatapan matanya enggan meninggalkanku.

“Entahlah, sepertinya ia sedang datang bulan.” Rory tertawa tanpa dosa, tidak menyadari jika dalam candaannya terselip hal yang sensitif bagi pria. Dan yang mengejutkan, hari ini aku memang sedang mengalami rutinitas bulananku. Aku menyikut Rory sambil melayangkan tatapan tajam, sementara Luke berusaha menahan tawa. Aku mengalihkan tatapanku dari Luke seraya melipat tangan di depan dada. Rory membuka mulut, tapi sebelum ia sempat berbicara, aku memotongnya.

“Jika kalian bertingkah seakan aku tidak ada disini, lebih baik aku pergi.”

“Zia.” Rory memperingatkan. Aku hanya mendesah, mengurungkan niat untuk meninggalkan mereka berdua. Aku selalu benci suasana seperti ini, dimana Luke tepat di hadapanku tapi aku merindukannya. Dan disisi yang lain benakku tidak bisa berhenti menayangkan adegan Luke berpelukan dan berciuman pipi dengan Cece, atau berangkulan sambil tertawa bersama dengan Stacy. Aku bosan berurusan dengan kecemburuan yang entah datangnya dari mana. Setiap aku menatap wajah Luke, aku merasakan sakit itu. Fuck. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah pergi sejauh-jauhnya. Dan ya, aku benar-benar pergi darinya. Dimulai dengan langkah cepat, lalu berlari seperti sedang dikejar anjing gila saat kusadari Luke malah mengejarku, tidak membiarkanku pergi seperti biasanya.

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now