Jilid 30

2.9K 42 0
                                    

Namun begitu CiuPek-thong juga sudah kagum luar biasa terhadap kesaktian Siao liong~li yang lahir mengendalikan kawanan tawon itu, ia merasa permainan ini jauh lebih menarik daripada semua permainan yang pernah dilihatnya, seketika ia menjadi lupa pada badan sendiri apakah sisa racunnya dapat dipunahkan seluruhnya atau tidak.

Karena sarang labah2 di mulut gua sudah hapus, segera Siao-Iiong-li melompat keluar, lalu ia memanggil Ciu Pek-thong agar ikut keluar.

Menyusul Ciu Pek-thong juga melompat keluar, tapi segera ia terbanting jatuh, "Wah, cialat! Tenaga sukar dikeluarkan!" katanya dengan gegetun, Mendadak sekujur badan gemetar dan gigi berkertukan.
Kiranya jatuhnya itu telah memancing bekerjanya sisa racun labah2 yang masih mengeram dalam tubuhnya, seketika ia menggigil kedinginan seperti kejeblos ke dalam peti es, bibir dan mukanya menjadi pucat pasi.
"He, Ciu Pek-thong, kenapa kau?" tanya Siao-liong-li kaget.
Ciu Pek-thong masih menggigil jawabnya dengan suara gemetar: "Lekas.... lekas kau cocok aku dengan.... dengan jarum itu."
"Tapi jarumku ini berbisa," kata Siao-liong-li.
"Ya, justeru.... justeru karena berbisa itulah, lekas!" pinta Pek thong pula.
Tergerak pikiran Siao-liong-li, teringat pertempuran antara kawanan tawon dengan labah2 berbisa tadi, ia pikit jangan2 racun tawon merupakan lawan racun labah2 itu? Segera ia jemput sebuah jarum dan mencoba mencocoki lengan Ciu Pek-thong.
Mendadak Pek-thong berteriak: "Bagus! Lekas tusuk beberapa kali lagi!"
Ber-turut2 Siao-liong-ii mencocoki beberapa kali lagi dan ber-ulang Ciu Pek-thong berteriak bagus. tampaknya kadar racun di jarum itu sudah lenyap, lalu Siao-Iiong-li berganti jarum yang lain, seluruhnya belasan jarum digunakan mencocoki tubuh Ciu Pek-thong, Akhirnya orang tua itu tidak menggigil lagi, ia menghela napas lega dan berkata: "Ehm, menyerang racun dengan racun, memang resep paling mujarab."
Habis itu ia coba mengerahkan tenaga dalam, tapi masih ada sisa racun yang belum hilang, mendadak ia menepuk paha dan bersemi "Aha, tahukah aku. Nona Liong, racun tawon pada jarummu itu agaknya kurang segar, sudah basi."
"Jika begitu, apakah kau mau kalau kusuruh |awanan tawon liar itu untuk menyengat kau?" ujar Siao-liong-li dengan tertawa.
"Aha, terima kasih sebelumnya, lekas kau mengundangnya, lekas!" seru Giu Pek-thong.
Siao-liong-li lantas membuka pula botol madunya untuk memancing kedatangan kawanan tawon liar, setiap tawon itu sama mengantupi badan Ciu Pek-thong, bukannya mengeluh sakit, sebaliknya, Anak Tua Nakal itu malah tertawa gembira, ia membuka bajunya sekalian, punggung yang telanjang itu sengaja dibiarkan disengat oleh kawanan tawon, berbareng iapun mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darah dan menghalau sisa racun labah2.
Agak lama juga ia diantupi tawon sehingga punggungnya penuh bintik merah bekas sengatan, akhirnya sisa racun dapat dihilangkan semua, kalau disengat lagi lantas terasa sakit, Maka berteriaklah Ciu Pek-thong: "Cukup, sudah cukup! Kalau diantupi lagi jiwaku bisa melayang!"
Siao-liong-li tersenyum dan menghalau pergi kawanan tawon itu. Lalu ia menjemput tali sutera berkeleningan yang terjatuh di samping sana, kemudian ia tanya Ciu Pek-thong: "Aku akan pergi ke Cong-Iam-san, kau ikut tidak?"
Ciu Pek-thong menggeleng dan menjawab: "Tidak, aku masih ada urusan lain, silakan engkau pergi sendiri saja."
"Oya, kau perlu ke Siangyang untuk membantu Kwe-tayhiap," kata Siao-Iiong-li. Menyebut nama "Kwe-tayhiap" ia lantas ingat pula kepada Kwe Hu, dari Kwe Hu lantas terkenang kepada Nyo Ko.
"Ciu Pek-thong," katanya kemudian dengan muram, "jika kau bertemu dengan Nyo Ko, janganlah kau bilang pernah bertemu dengan diriku."
Akan tetapi Ciu Pek-thong tidak menjawabnya, waktu Siao-liong-li mengawasi, tertampak orang tua itu sedang berkomat-kamit, entah apa yang sedang di gumamkan, malahan mimik wajahnya sangat aneh, entah lagi main gila apa?
Selang sejenak barulah mendadak Ciu Pek-thong mendongak dan bertanya: "Apa katamu tadi?"
"O, tidak apa2," jawab Siao-liong-li. "Sampai bertemu pula."Tampaknya Ciu Pek-thong tidak menaruh perhatian kepada ucapan Siao-liong-li itu, ia cuma mengiakan, lalu berkomat-kamit lagi.
Tanpa-bicara lagi Siao-liong-li lantas berangkat sendiri, setelah melintasi suatu tanah tanjakan sana, tiba2 terdengar suara bentakan Ciu Pek-thong, suaranya seperti lagi menirukan Siao-liong-Ii ketika mengendalikan kawanan tawon.
Siao-liong-li sangat heran, diam2 ia memutar balik ke tempat, tadi dan mengintai dari balik pohon. dilihatnya Ciu Pek-thong memegangi sebuah botol porselen kecil dan sedang ber-jingkrak2 sambil ber-kaok2 aneh, Waktu Siao-liong-li meraba sakti sendiri, ternyata botol madunya itu sudah lenyap entah sejak kapan telah dicuri si Anak Tua Nakal itu.
Rupanya suara Ciu Pek-thong itu rada2 mirip cara Siao-liong-li memberi perintah kepada kawanan tawon, tapi lebih banyak salahnya, meski ada juga beberapa ekor tawon yang muncul karena mencium bau harum madu, tapi tiada satupun yang tunduk kepada perintah Ciu-Pek-thong, tawon2 itu cuma terbang kian kemari mengitari botol porselen.
Siao-liong-li tertawa geli melihat tingkah Anak Tua Nakal itu, segera ia menampakkan diri dan berseru "Sini, kuajarkan kau!"
Melihat rahasianya terbongkar dan ketangkap basah dengan bukti barang curiannya, Ciu Pek thong menjadi malu, tanpa bicara lagi ia terus berlari pergi dan dalam sekejap saja sudah menghilang.
Siao-liong-li bergelak tertawa melihat tingkah laku si tua yang lucu itu, Suara tertawanya berkumandang membalik, mendadak ia merasa hampa dan kesepian, tanpa terasa ia meneteskan air mata.
Bilamana ia mengadu kecerdasan dan tenaga dengan Kim-lun Hoat-ong, kemudian ia ditemani Lo-wab-tong dan bercanda sekian lama, kini musuh sudah kabur, kawan pun sudah pergi, di dunia ini bisanya tertinggal ia seorang diri saja.
Sepanjang jalan ia menguntit Ci-keng dan Ci-peng, ia merasa kedua Tosu itu sangat busuk, biarpun dicincang hingga hancur lebur juga sukar terlampias rasa dendamnya. padahal sekali dia turun jangan saja kedua orang itu pasti akan binasa, namun hati selalu enggan, rasanya sekalipun mereka dibinasakan, habis mau apa lagi?
Sendirian ia duduk ter-mangu2 di bawah pohon, akhirnya ia menggumam sendiri: "Agaknya harus mencari mereka lagi!"
Ia lantas turun dari bukit itu dan mencemplak atas keledai yang dilepas untuk makan rumput bawah bukit itu, baru saja ia mau berangkat ke arah pasukan Mongol, tiba2 di depan debu mengepul tinggi disertai suara terompet bergema riuh, pasukan tampak sedang bergerak ke selatan secara besar2an, jelas pihak Mongol mulai menggempur Siangyang lagi.
Siao-liong-li menjadi ragu2, di tengah pasukan besar itu, cara bagaimana mencari kedua Tosu itu. Tapi pada saat itu juga, se-konyong2 tiga penunggang kuda berlari lewat di bawah bukit, para penunggang kuda itu jelas berjubah kuning dan berkopiah kaum Tosu.
Siao-liong-li menjadi heran mengapa bisa bertambah seorang Tosu lagi, ia coba mengamati dari jauh, jelas yang paling belakang adalah Ci-peng sedangkan Ci-keng mengaburkan kudanya bersama Tosu ketiga yang berusia jauh lebih muda.
Tanpa pikir Siao-liong-li lantas keprak keledainya menyusul ke sana.
Ketika mendengar suara ketoprakan kaki kuda In Ci~peng menoleh ke belakang dan ternyata Siao liong-li sudah mengintil lagi, keruan air mukanya berubah pucat. segera Ci-keng dan Tosu yang muda juga mengetahui penguntilan Siao-liong-li.
"Siapakah perempuan muda ini, Tio~supek?" tanya Tosu muda itu.
"Dia adalah musuh besar Coan-cin-kau kita, sutit jangan banyak bertanya," jawab Ci-keng.
Toso muda itu terkejut, tanya pula dengan suara rada gemetar: "Apakah dia ini Jik-lian siancu Li Bok-chiu?"
"Bukan, tapi Sumoaynya," kata Ci-keng.
Kiranya Tosu muda itu bernama Ki Ci-seng, meski namanya juga pakai "Ci", tapi dia termasuk anak murid Coan-cin-kau angkatan ke empat, lebih rendah satu angkatan daripada In Ci-peng dan Tio ci-keng.
Yang diketahuinya hanya Li Bok-chiu telah beberapa kali bertengkar dengan para kakek-gurunya malahan pihak Coan-cin mereka beberapa kali kecundang.
Begitulah Ci-keng lantas cambuk kudanya agar berlari lebih cepat dan diikuti oleh Ci-peng berdua. Kanya sekejap saja Siao-liong-li sudah tertinggal jauh. Namun keledai belang yang ditunggangi Siao-jong-li itu sangat kuat larinya, meski tidak cepat namun dapat berlari secara teratur tanpa lelah, Sedangkan kuda2 itu setelah berlari cepat, kemudian megap2 napasnya dan mulai lamban larinya sehingga keledai belang dapat menyusulnya lagi.
Waktu Ci-keng menoleh dan melihat Siao-liong li sudah mendekat, cepat ia cambuk kudanya lagi, tapi kudanya cuma lari kencang sebentar, lalu lari lambat pula.
"Tio-supek, tampaknya kita tak dapat lari, marilah kita membalik kesana untuk mencegatnya dan biar In-supek lolos sendiri," kata Ki Ci-seng.
Dengan wajah geram Ci-keng menjawab: "Hm mudah saja kau bicara, memangnya kau tidak ingin hidup lagi?"
"Tapi... tapi In-supek mengemban tugas berat sebagai pejabat ketua, kita harus berusaha menyelamatkan dia," ujar Ci-seng.
Ci-keng sangat mendongkol ia hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Melihat air muka sang paman guru yang marah itu, Ci-seng tidak berani bicara lagi, ia tunggu setelah Ci~peng mendekat, lalu berbisik padanya "In-supek, paling penting engkau harus jalan lebih dulu."
"Ah, biarkan saja dia menyusul ke sini," jawab Ci-peng tak acuh.
Diam2 Ci-seng sangat kagum melihat sikap sang paman guru yang sangat tenang itu, ia pikir sikap ksatria demikian sungguh sukar dicari bandingannya di antara tokoh angkatan ketiga, pantas para kakek guru memilih In-supek sebagai pejabat ketua, betapapun ia tidak tahu bahwa perasaan Ci-peng saat ini sungguh aneh luar biasa, andaikan Siao-liong-li ingin membunuhnya, maka iapun sudah siap memasangkan lehernya di depan si nona, sedikitpun tiada pikirannya buat melawan lagi.
Melihat kedua kawannya tidak cemas akan datangnya musuh, Ci-keng menjadi serba susah, hendak lari lebih dulu terasa malu, untunglah sementara ini tiada tanda2 Siao-liong-li akan bertindak kepada mereka. Namun hatinya tetap kebat-kebit, sebentar ia lantas menoleh ke belakang.
Begitulah tiga orang di depan dikuntit seorang dari belakang, mereka meneruskan perjalanan ke utara tanpa bicara lagi, sementara itu suara gemuruh gerakan pasukan Mongol ke selatan sudah Ienyap, hanya terkadang samar2 terdengar suara riuh umatnya pertempuran di kejauhan yang terbawa angin, tapi setelah arah angin berganti, suara itupun tak terdengar.Sepanjang jalan, karena menghindari gangguan pasukan tentara yang besar itu, semua rumah penduduk boleh dikatakan kosong melompong, bahkan ayam dan anjingpun tak tertampak seekorpun, Kalau tempo hari Ci-peng dan Ci-keng berlari ke jurusan yang sepi, malahan terkadang dapat ditemukan rumah makan kecil yang sederhana dipedusunan, kini mereka melalui jalan besar, jangankan rumah makan, sebuah rumah penduduk yang utuh pun sukar ditemukan.
Malamnya Ci~peng bertiga lantas mondok di sebuah rumah bobrok yang tiada daun pintu dan jendela, Sekali2 Ci~keng coba mengintip keluar, di lihatnya Siao-liong-li telah memasang seutas tali antara dua batang pohon besar, di atas tali yang terbentang itulah si nona berbaring..
Ci-seng juga ikut mengintai, melihat betapa hebat kepandaian Siao-liong-li, hatinya menjadi takut. Hanya Ci-peng tidur dengan nyenyaknya, tanpa perdulikan urusan lain, semalaman Ci-keng tidak bisa pulas, sebentar bangun sebentar berbaring, ia sudah ber-siap2 apabila ada suara yang mencurigakan segera ia akan kabur lebih dulu.
Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan lagi, karena semalam suntuk tidak tidur, ditambahi rasa takutnya yang menumpuk, ia menjadi rada pusing kepala di atas kudanya. Ci-seng mendampingi
Ci-peng ketinggalan di belakang, dengan lesu Ci-peng menanyai Ci-seng tentang keadaan di Cong-lam-san akhir2 ini serta kesehatan para paman guru dan gurunya.
Menurut Ci-seng, Coan-cin-ngo-cu kelima murid utama Coan cin-kau, tadinya tujuh orang, Tam Ju-hoat dan Ma Giok sudah meninggal sehingga tinggal lima orang) sekarang mulai bertapa atau menyepi untuk waktu yang cukup lama, bisa setahun atau paling sedikit tiga bulan, sebab itulah ln Ci-peng diharapkan pulang ke Tiong-yang-kiong untuk menerima tugas sebagai pejabat ketua.
Ci-peng ter-mangu2 mendengar cerita itu, ia menggumam sendiri: "Kepandaian beliau2 itu tiada taranya, entah apalagi yang hendak mereka latih?"
Dengan suara tertahan Ci-seng membisiki: "Konon kelima kakek guru bertekad menyelami dan menciptakan semacam ilmu yang dapat mengalahkan jlimu silat Ko-bong-pay."
"Oh," Ci-peng bersuara singkat dan tanpa terasa menoleh memandang sekejap kepada Siao-liong-li.
Kiranya sesudah Siao-liong-li bergabung dengan Nyo Ko mengalahkan Kim-Iun Hoat-ong di pertempuran besar ksatria dahulu, ilmu silat kedua muda-mudi telah menggemparkan dunia persilatan, Tapi lantaran Nyo Ko berdua sedang mabok kepayang mereka tidak lagi memikirkan kejadian itu.
Namun dunia persilatan sudah kadung geger, katanya ilmu silat di dunia ini tiada yang dapat menandingi pewaris dari Ko-bong-pay. Sudah tentu desas-desus begitu, banyak di-bumbui pula.
Apalagi kejadian itu juga disaksikan oleh Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Ci peng dan Ci-keng, ditambah pula berita kemudian mengatakan Kim-lun Hoat-ong sekali lagi dikalahkan Nyo Ko dan Siao-liong-li sehingga paderi itu lari ter-birit2, tentu saja semua itu sangat mencemaskan pimpinan Coan-cin-kau, terutama kalau teringat pada suatu ketika Li Bok-chiu, Siao-liong-li atau Nyo Ko pasti akan menuntut balas kepada mereka.
Menghadapi Li Bok-chiu seorang saja sukar, apalagi ditambah Nyo Ko dan Siao-liong-li berdua, Bahwa diantara Li Bok-chiu dan Siao-liong-li juga terjadi sengketa ternyata tidak diketahui oleh pihak Coan cin-kau.
Kini pucuk pimpinan Coan-cin-kau hanya tinggal lima orang saja, semuanya sudah sama tua dan loyo, sedangkan anak murid angkatan muda juga tiada tokoh yang menonjol, kalau nanti pihak Ko-bong-pay datang, pasti Coan-cin-pay mereka akan kalah habis2an.
Sebab itulah kelima tokoh Coan-cin-kau itu memutuskan menyepi untuk memikirkan satu macam ilmu silat maha hebat sebagai persiapan untuk menghadapi pihak Ko-bong-pay. Lantaran itu pula In Ci-peng dipanggil pulang ke Cong-lam-san untuk menerima tugas sebagai pejabat ketua.
Begitulah mereka terus melanjutkan perjalanan ke barat laut, Siao-liong-li masih tetap menguntit di belakang dalam jarak tertentu.
Suatu hari sampailah mereka di wilayah Siam-say, sudah dekat dengan Cong-lam-san. Ci-peng tidak mengerti apa kehendak Siao-liong-li itu yang menguntitnya terus menerus, pikirnya: "Apakah dia hendak melapor kepada Suhuku tentang perbuatanku yang rendah itu atau dia akan mengobrak-abrik Coan-cin-kau lagi untuk menuntut balas sakit hatinya? Atau bisa jadi dia akan pulang ke Ko-bong pay yang satu jurusan dengan kami ini atau... atau...." sampai di sini ia tidak berani melanjutkan pikirannya lagi, yang jelas ia sudah tidak memikirkan mati- hidup selanjutnya, maka rasa takutnya menjadi banyak berkurang pula.
Selang beberapa hari, akhirnya mereka sampai di kaki gunung Cong lam, segera Ci-seng melepaskan sebuah anak panah berwarna. Tak lama kemudian empat Tosu tampak berlari turun dari atas gunung dan memberi hormat kepada Ci-peng serta menyambut kembalinya dengan hangat.
Tosu yang tertua lantas berkata: "Menurut keputusan kelima paman guru, begitu Jing-ho Cin-Jti (gelar agama In Ci-peng) tiba diharuskan segera bertugas sebagai pejabat ketua, tentang upacara serah terima boleh menunggu nanti sehabis Khu-susiok selesai menyepi."
"Apakah kelima paman guru sudah mulai menyepi," tanya Ci-peng.
"Sudah mulai 20 hari lebih," jawab Tosu itu".Tengah bicara, ber-turut2 datang pula belasan Tosu yang lain dan menyambut pulangnya ln Ci peng dengan tetabuhan, berbondong2 Ci-peng lantas di arak ke atas gunung sehingga Ci-keng tertinggal di belakang tanpa diperhatikan.
Tentu saja Ci-keng mendongkol dan gemas serta iri pula, namun dalam hati iapun bergirang "Nanti kalau kedudukan pejabat ketua sudah kupegang barulah "kalian tahu rasa."
Menjelang petang sampailah rombongan mereka di depan Tiong-yang-kiong, penghuni istana agama yang berjumlah lebih 500 orang itu sama berbaris memanjang di luar pintu disertai suara genta dan tambur yang ditabuh ber-taIu2.
Melihat keadaan yang khidmat itu, Ci-peng yang tadinya lesu itu seketika bersemangat kembali. Di bawah iringan 16 murid tertua ia masuk ke ruangan pendopo untuk memberi sembah kepada lukisan Ong Tiong-yang, yaitu cakal-bakal Coan-cin-kau, lalu masuk lagi ke ruangan berikutnya untuk memberi hormat kepada tujuh kursi yang biasanya menjadi tempat duduk Coan-cin-jit-cu jika berkumpul. Habis itu ia balik lagi ke ruangan pendopo di depan.
Murid Khu Ju-ki yang kedua, yakni Li Ci-iang, lantas mengeluarkan surat keputusan sang ketua dan dibacakan di depan orang banyak, menurut surat keputusan itu, In Ci-peng diperintahkan nenerima jabatan ketua.
Dengan sendirinya Ci-peng berlutut dan menerima perintah itu dengan perasaan terima kasih dan malu. Sekilas ia melihat Ci-keng berdiri di sebelah, air mukanya tersenyum mengejek, seketika hati Ci-peng tergetar.
Sehabis menerima surat perintah itu, Ci-peng berdiri dan hendak memberikan kata sambutan sekadarnya, pada saat itulah tiba2 masuk seorang Tosu penjaga dan melapor: "Lapor ketua, ada tamu di luar."Ci-peng melengak, sama sekali tak diduganya bahwa Siao-liong-ii akan berkunjung padanya secara terang2an begitu, ia menjadi bingung cara bagaimana harus menghadapinya? Namun urusan sudah telanjur begini, hendak laripun tidak bisa lagi, terpaksa ia berkata: "Silakan tamunya masuk ke sini."
Tosu itu berlari keluar, tidak lama ia masuk lagi dengan membawa dua orang. Tapi semua orang menjadi heran melihat kedua tamu ini, lebih2 Ci-peng, ia tidak tahu untuk maksud apakah kedatangan kedua orang ini.
Kiranya kedua tamu ini yang seorang berdandan sebagai perwira Mongol dan seorang lagi adalah Siau-siang-cu yang pernah dilihatnya di markas Kubilai tempo hari.
"Ada titah Sri Bagtnda Raja memberi anugrah kepada pejabat ketua Coan-cin-kau!" segera perwira Mongol itu berseru lantang, ia terus maju ke tengah dan mengeluarkan segulungan sutera kuning dan di bentang, lalu membaca: "Pejabat ketua Coan-cin-kau dengan ini dianugrahi sebagai pemimpin besar golongan agama To dengan gelar ....." sampai di sini dilihatnya tiada seorangpun berlutut untuk menerima anugrah itu, maka ia lantas berteriak: "Silakan pejabat ketua menerima titah Sri Baginda ini!"
Ci-peng melangkah maju dan memberi hormat kepada perwira itu, lalu berkata: "Ketua kami Khu-cinjin saat ini sedang menyepi, maka untuk sementara Siauto ditugaskan sebagai pejabat ketua, Anugrah raja Mongol ini bukan ditujukan kepadaku maka Siauto tidak berani menerimanya."
"Sri Baginda memberi pesan bahwa Khu-cinjin adalah tokoh yang dihormatinya dan diketahui usianya sudah lanjut serta tidak tahu apakah beliau masih sehat atau sudah wafat, sebab itulah anugrah ini bukan ditujukan kepada Khu-cinjin pribadi melainkan ditujukan kepada pejabat ketua Coan-cin-pay sekarang," demikian kata perwira Mongol itu dengan tertawa.
"Tapi... tapi Siauto tidak berjasa apa2. sesungguhnya tidak berani terima anugerah," ujar Ci-peng dengan ragu2. Tapi perwira itu mendesak akhirnya Ci-peng menambahkan: "Karena persoalan ini cukup penting dan datangnya mendadak, silakan Tayjin duduk minum sebentar di ruangan dalam, biarlah Siauto mengadakan perundingan dahulu dengan para saudara seperguruan."
Perwira itu tampak kurang senang, apa boleh buat, terpaksa ia menurut bersama Siau-siang-cu mereka lantas dibawa ke ruangan belakang.
Ci-peng sendiri lantas mengundang ke-16 murid tertua Coan-cin-kau untuk berunding di ruangan samping, ia berkata setelah semua orang berduduk: "Urusan ini sangat penting dan Siauto tidak berani memutuskannya sendiri, untuk itu kuingin mendengar bagaimana pendapat saudara2."
Segera Ci-keng mendahului bicara: "Maksud baik raja MongoI ini harus diterima, hal inipun menandakan Coan-cin-kau semakin jaya, sampai raja Mongol juga tidak berani memandang enteng kepada kita." Habis berkata, dengan sikap yang gembira ia lantas bergelak tertawa.
"Kukira tidak demikian," Ci-siang ikut bicara. "Bangsa Mongol menyerbu negeri kita, rakyat jelata kita banyak menjadi korban, mana boleh kita menerima anugrahnya?"
"DahuIu Khu - supek sendiri juga menerima undangan cakal-bakal kerajaan Mongol yang bernama Jengis Khan itu dan jauh2 menuju ke daerah barat sana, tatkala itu In-ciangkau dan Li-suheng juga ikut serta, berdasarkan kejadian itu, apa salahnya kalau sekarang kita menerima anugerah raja Mongol?" ujar Ci-keng.
"Waktu itu dan keadaan sekarang sangat berbeda." jawab Ci-siang. "Ketika itu pihak Mongol hanya memusuhi kerajaan Kim dan belum menyerbu negara kita, kedua hal ini mana boleh di sama-ratakan?"
"Cong-Iam-san kita ini termasuk wilayah kekuasaan Mongol, kuil kita juga banyak yang tersebar dalam daerah kekuasaan pemerintah Mongol, kalau kita menolak anugerah ini, jelas Coan-cin-kau kita akan segera menghadapi bahaya," kata Ci-ikeng pula.
"Salah ucapan Tio-suheng ini," kata Ci-siang.
"Di mana letak salahnya, coba jelaskan." seru Ci keng aseran.
"Harap Tio-suheng menjawab dulu, siapakah Tiong-yang Cin-jin, cakal bakal agama kita ini?" Dan siapa pula guru kita yang termasuk dalam Coan cin jit-cu ini?" tanya Li Ci-siang dengan tenang.
"Kakek guru dan Suhu kita adalah para pendeta agama yang setia, mereka adalah tokoh termashur di dunia Kangouw, siapa yang tidak menghormat dan mengagumi mereka." jawab Ci-keng.
"Bagus! Malahan dapat kutambahkan mereka adalah lelaki sejati, pahlawan besar yang cinta negeri dan pembela bangsa, semuanya pernah berjuang mati2an dan bertempur melawan penyerbu dari negeri Kim" seru Ci-siang. "Nah, kalau angkatan tua Coan-cin-kau kita tiada seorangpun gentar menghadapi musuh, sekarang biarpun Coan-cin-kau akan tertimpa bahaya, kenapa kita harus takut. Harus diketahui bahwa kepala kita boleh dipenggal, tapi cita2 kita tidak boleh luntur"
Ucapan Ci-siang ini tegas dan gagah berani sehingga In Ci-peng dan belasan orang lainnya sama terbangkit semangatnya.
"Hm, memangnya cuma Li-suheng saja yang tidak takut mati dan kami ini adalah manusia pengecut semua." jengek Ci-keng. "Yang perlu kukemukakan adalah jerih payah Cousuya (cakal-bakal) kita, bahwa Coan-cin-kau bisa berkembang seperti sekarang ini, betapa banyak Co-suya dan ketujuh guru dan paman guru kita telah menegcurkan darah dan keringatnya? Kalau tindakan kita kurang benar sehingga menghancurkan Coau-cin-kau yang ini dalam sekejap mata saja, lalu cara bagaimana kita akan bertanggung-jawab terhadap Cosuya kita di alam baka?. Dan, cara bagaimana pula kita akan memberi alasan bila kelima guru kita nanti habis menyepi?"
Karena ucapannya cukup beralasan, segera ada dua-tiga tosu lain mendukungnya, Segera Ci~keng berkata puIa: "Bangsa Kim adalah musuh bebuyutan Coan-cin-kau kita. bahwa orang Mongol telah menghancurkan kerajaan Kim, hal ini sangat cocok dengan tujuan kita. Kalau saja Cosuya mengetahui hal ini, entah betapa beliau akan bergembira."
Tiba2 salah seorang murid Khu Ju-ki yang lain yakni Ong Ci-heng, ikut bicara: "Jika sehabis menghancurkan kerajaan Kim, lalu orang Mongol bersahabat dengan negeri Song kita, dengan sendirinya kita akan menerima mereka sebagai negeri tetangga yang terhormat. Tapi sekarang pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan sedang menggempur Siangyang, tanah air kita terancam bahaya, adalah rakyat jelata Song Raya, mana boleh menerima anugerah raja pihak musuh?"
Sampai di sini ia terus berpaling kepada In Ci-peng dan menegaskan: "Ciangkau-suheng (kakak guru pejabat ketua), kalau saja engkau menerima anugrah raja MongoI, itu berarti engkau adalah penghianat bangsa, orang berdosa dalam agama kita. Untuk itu sekalipun aku orang she Ong harus mengalirkan darah juga takkan mengampuni kau."
Mendadak Tio Ci-keng berdiri sambil menggebrak meja, bentaknya: "Ong-sute, apakah kau ingin main kasar? Kau berani bersikap kurangajar, begini terhadap pejabat ketua?"
"Yang kita utamakan adalah kebenaran, kalau perlu main kasar, memangnya kutakut padamu?" jawab Ong Ci-heng dengan suara keras.
Karena sama2 ngotot, tampaknya kedua pihak segera akan main kepalan dan adu senjata.Tiba2 seorang Tosu bertubuh pendek kecil membuka suara: "Sungguh sayang bahwa di antara kita sendiri. harus berbeda pendapat. Padahal keadaan sekarang berbeda dengan masa dahuIu, Waktu itu Siaute juga ikut ke barat bersama Suhu untuk menemui Jengis Khan, dan menyaksikan sendiri keganasan perajurit Mongol. Kalau sekarang kita menerima anugerah dan menyerah pada Mongol, ini berarti kita membantu pihak yang lalim dan ikut berbuat jahat."
Tosu pendek kecil ini bernada Song Tek-hai, dia termasuk salah seorang dari ke-18 anak murid yang ikut Khu Ju-ki melawat ke Mongol dahuIu.
Ci-keng lantas menjengek: "Hm, kau pernah bertemu dengan Jengis Khan, lantas kau anggap hebat begitu? Sekali ini akupun bertemu sendiri dengan jklik raja Mongol, yaitu Kubilai, Pangeran ini sangat baik hati dan bijaksana, tiada sedikitpun tanda2 ganas dan kejam."
"Aha, bagus! jadi kau mengemban tugas bagi Kubilai untuk menjadi mata2 di sini?" teriak Ong Ci-heng.
Ci-keng menjadi gusar "Apa katamu?" bentaknya.
"Siapa yang bicara bagi orang Mongol, dia adalah pengkhianat!" teriak Ong Ci-heng pula.
Dengan murka Ci-keng terus melompat maju, sebelah tangannya terus menghantam kepala Ong Ci-heng. Namun dari samping dua orang murid Khu Ju-ki yang lain telah menangkis pukulannya ini.
"Bagus!" Ci-keng ber-kaok2 terlebih murka. "Anak murid Khu-supek memang banyak, jadi kalau hendak menang2an?"
Dalam keadaan tegang itu, Ci-peng menepuk tangan dan berseru: "Harap para Suheng dan Sute berduduk dengan tenang, dengarkanlah ucapanku."
Pejabat ketua Coan-cin-kau biasanya memegang kekuasaan tertinggi dan berwibawa, maka para Tosu itu lantas berduduk kembali dan tidak berani bersuara pula.
"Ya, memang seharusnya kita mendengarkan petua pejabat ketua, kalau dia menerima anugerahnya ya terimalah, kalau tidak ya tolak saja, Yang dianugerahi raja Mongol adalah dia dan bukan kau! atau aku, untuk apa kita ribut?" demikian Ci-keng berkata, ia yakin bahwa In Ci-peng pasti akan mengikuti kehendaknya karena rahasia orang sudah terpegang olehnya...
Maka dengan pelahan Ci-peng mulai bicara: "Siaute memang tidak mampu, baru saja diberi tugas pejabat ketua, hari pertama saja ternyata sudah menghadapi persoalan maha penting dan sulit ini. ia merandek sejenak dan ter-mangu2. Sorot mata semua orang sama tertuju padanya, suasana di ruangan itu menjadi hening.
Kemudian Ci-peng melanjutkan "Coan-cin-kau kita didirikan oleh Tiong-yang Cinjin dan dikembangkan oleh Ma-cinjin dan Khu-cinjin, sekarang Siaute menjabat ketua, mana kuberani menentangkan ajaran ketiga Cinjin itu? Coba para Suheng jawab sendiri, selagi negeri kita berada di bawah penindasan pihak Mongol, andaikan ketiga cianpwe kita itu berada disini, mereka akan menerima anugerah raja MongoI ini atau tidak?"
Semua orang terdiam dan sama memikirkan tindak tanduk kaum tua yang disebut itu. Ong Tiong-Sudah lama wafat dan banyak di antara murid angkatan ketiga ini tidak pernah melihatnya, sedangkan Ma Giok juga sudah meninggal dan pribadinya terkenal ramah-tamah, setiap keputusan yang diambil mengutamakan ketenangan.
Tapi Khu Ju-ki berwatak keras, namun berbudi luhur dan berjiwa setia, Teringat kepada Khu Ju-ki, serentak semua orang berteriak: "Khu-cinjin pasti takkan menerima anugerah raja Mongol ini."
Dengan suara keras Ci-keng lantas berteriak pula: "Tapi pejabat ketua sekarang adalah kau dan bukan Khu-supek."
"Namun Siauto harus taat kepada ajaran guru, apalagi dosaku teramat besar, matipun belum cukup penebus dosaku," jawab Ci peng, lalu ia menunduk.
Sudah tentu Tosu Iain tidak tahu arti yang terkandung dalam ucapan Ci-peng itu, hanya Ci-keng yang dapat menangkap maksudnya, ia lantas berbangkit dan menjengek: "Jika begitu, jadi sudah pasti kau tak mau terima?"
"Jiwaku sesungguhnya tidak berarti, yang utama adalah nama baik Coan cin-kau kita," jawab Ci peng dengan suara pedih, tapi kemudian suaranya berubah bersemangat ia menyambung pula. "Apalagi saat ini setiap ksatria perlu bersatu untuk melawan musuh dari Iuar. Coan-cin-pay kita terkenal sebagai tulang punggungnya dunia persilatan, kalau kita takluk kepada Mongol, ke mana lagi muka kita ini harus ditaruh?"
Serentak para Tosu itu bersorak gemuruh memuji ketegasan Ci - peng. Yang marah adalah Ci keng, segera ia melangkah pergi. Setiba di ambang pintu ia menoleh dan mendengus: "Goankau-suheng cara bicaramu terdengar bagus sekali, tapi hehe, bagai mana akibatnya persoalan ini tentu kau sendiri sudah memikirkannya."
Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa berpaling lagi. Beberapa Tosu yang mendukung Tio Ci-keng tadi juga cepat mengeluyur pergi di tengah sanjung puji Tosu yang larut kepada sikap In Ci-peng itu.
Ci-peng tidak bicara lagi, dengan muram ia kembali ke kamarnya sendiri, ia tahu setelah mengalami kegagalan tadi, Ci-keng pasti takkan menyerah begitu saja, tentu akan membongkar rahasia perbuatannya yang kotor terhadap Siao-liong-li itu.
Sebenarnya Ci-peng sudah bertekad mati ketika dia menolak anugerah Mongol tadi, selama beberapa bulan ini dia sudah kenyang menahan rasa takut ia tersiksa batinnya, teringat olehnya jika sudah mati maka segala apapun tidak perlu dikuatirkan lagi, maka hatinya menjadi lega malah.
Segera ia menutup pintu kamar dan dipalang, dengan iklas ia melolos pedang terus di gorokkan ke lehernya sendiri.
Mendadak dari belakang rak buku muncul seorang dan cepat merampas pedang In Ci-peng, karena tidak ber-jaga2, tahu2 pedang Ci-peng ini terampas begitu saja.
Keruan Ci-peng terkejut dan cepat menoleh, kiranya yang merampas pedangnya bukan lain daripada Tio Ci-keng.
"Setelah kau merusak nama baik Coan-cin-kau kita, sekarang kau ingin bunuh diri dan habis perkara, begitu?" jengek Ci-keng, "Nona Liong masih menunggu di luar sana, sebentar kalau dia datang akan meminta keadilan, lalu cara bagaimana kita akan menjawabnya?"
"Baik, akan kutemui dia dan bunuh diri dihadapannya untuk menebus dosaku," kata Ci-peng.
"Biarpun kau sudah bunuh diri juga urusan tak dapat diselesaikan," ujar Ci-keng. "Nanti sesudah keluar dari menyepi tentu kelima guru kita akan mengusut persoalanmu. Sekali nama baik Coan-cin kau kita runtuh, maka selamanya kau akan menjadi orang berdosa."
Ci-peng merasa terdesak dan bingung, ia metutupi mukanya dan mendadak duduk di lantai, menggumam sendiri: "Habis apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang harus kulakukan?"
Kalau tadi di depan orang banyak ia dapat bicara dengan lancar, sekarang setelah berhadapan sendirian dengan Tio Ci-keng ternyata sedikitpun tidak dapat menguasai diri.
"Baik, asalkan kau tunduk kepada syaratkan persoalan mengenai nona Liong akan kututup rapat, nama baikmu dan Coan-Cin-kau kita juga dapat di pertahankan," kata Ci~keng.
"Kau ingin kuterima anugerah raja Mongol itu?" tanya Ci-peng.
"Tidak, tidak! Aku tidak ingin kau menerima anugerahnya," jawab Ci-keng.
Hati Ci-peng terasa lega, tanyanya pula: "Habis apa keinginanmu? Lekas katakan pasti akan kuturuti."
* * * *
Tidak lama kemudian, terdengar riuh ramai suara genta dan tambur di pendopo Tiong-yang kiong sebagai tanda segenap anggauta harus berkumpul.
Li Ci siang memerintahkan anak buahnya membawa senjata di dalam jubah untuk menjaga segala kemungkinan.
Ruangan besar itu penuh ber-jubel Tosu tua dan muda, semuanya tegang ingin tahu apa yang bakal terjadi. Kemudian tampak Ci-peng melangkah keluar dari belakang, wajahnya pucat dan tak bersemangat, begitu berdiri di tengah ruangan segera ia berseru: "Para Toheng, atas perintah Khu~ciangkau tadi Siauto telah ditunjuk sebagai pejabat ketua, siapa tahu Siauto mendadak menderita penyakit maut dan takdapat disembuhkan..." karena keterangan yang tak ter-duga2 ini, seketika gemparlah para Tosu.
Kemudian Ci-peng menyambung: "Oleh karena itu, tugas sebagai pejabat ketua yang maha penting ini sukar dipikul, sekarang juga aku menunjuk murid tertua dari Ong-susiok, yakni Tio Ci-keng, sebagai pejabat ketua."
Seketika suasana menjadi hening, namun keadaan sunyi ini cuma berlangsung sekejap saja, segera terdengarlah suara protes beberapa orang, seperti Li Ci-siang, Ong Ci-heng, Song Tek-hong dan lain2. Be-ramai2 mereka berteriak "Tidak! tidak! bisa! Khu-cinjin menunjuk In-suheng sebagai pejabat ketua, tugas penting ini mana boleh diserahkan lagi kepada orang lain? - Ya, tanpa sebab, mana bisa In-suheng terserang penyakit maut seoara mendadak? Betul, di balik urusan ini tentu ada sesuatu intrik keji, kita harap Ciangkau- suheng jangan terjebak oleh tipu muslihat kaum pengkhianat.?
Begitulah seketika seluruh ruangan menjadi panik, Li Ci-siang dan kawan2nya sama melotot pada Tio Ci-keng, tapi Ci-keng tampaknya tenang2 saja dari anggap sepi sikap pihak lawan.
In Ci-peng lantas memberi tanda agar semua diam, lalu berkata: "Datangnya urusan ini terlalu mendadak, pantas kalau saudara2 tidak paham persoalannya. Coan cin-kau kita sedang menghadapi malapetaka, Siauto telah berbuat pula sesuatu kesalahan besar, sekalipun mati juga sukar bagiku, untuk menebus dosaku dan sukar menghindari bahaya yang mengancam."
Sampai di sini, air mukanya tampak sedih sekali, sejenak kemudian ia menyambung pula: "Sudah kupikirkan dengan masak2, kurasa hanya Tio-suheng yang berpengetahuan luas yang dapat membawa Coan-cin-kau terhindar dari bahaya ini. Untuk itu di antara para Suheng dan Sute harus kesampingkan pendirian pribadi dan ber-sama2 membantu Tio-suheng melaksanakan tugas bagi keselamatan dan kejayaan Coan~cin~kau kita ini."
Li Ci-siang menjadi sangat curiga, dari sikap In Ci-peng itu jelas sang Suheng menahan sesuatu rahasia yang sukar diuraikan, kalau sang Suheng yang menjabat ketua sudah memohon kerelaan para Sute, iapun tidak enak untuk ngotot, terpaksa ia menunduk dan tak bersuara lagi selain diam2 memikirkan langkah selanjutnya yang perlu diambil.
Watak Ong Ci-heng sangat jujur, tanpa pikir ia berteriak: "Kalau Ciangkau-suheng betul2 mau mengundurkan diri juga perlu menunggu selesainya guru2 kita habis menyepi, setelah dilaporkan barulah diambil keputusan yang lebih bijaksana."
"Tapi urusannya sudah terlalu mendesak, tidak dapat menunggu lagi," ujar Ci-peng dengan muram.
"Baiklah, seumpama memang begitu, di antara sesama saudara seperguruan kita, baik mengenai budi pekerti maupun mengenai Kanghu, rasanya yang melebihi Tio-suheng masih cukup banyak," kata Ci-seng pula. "Misalnya Li-suheng atau Song-sute, mereka terlebih pintar dan tangkas, kenapa mesti serahkan tugas maha penting kepada Tio-suheng yang tidak dapat diterima oleh semua orang."
Tio Ci-keng adalah pemberang, sudah sejak tadi ia menahan perasaannya, sekarang ia tidak tahan lagi, segera ia menanggapi "Dan ada lagi Ong Ci-heng, Ong-sute yang berani bicara dan berani,berbuat! Kenapa tidak kau calonkan sekalian?"
Ci-heng menjadi gusar, jawabnya: "Aku memang bodoh dan selisih jauh kalau dibandingkan Suheng2 yang lain, tapi kalau dibandingkan Tio-suheng, betapapun kuyakin masih unggul setingkat Ya, ilmu silatku mungkin bukan tandingan Tio-suheng, tapi paling tidak aku pasti takkan menjadi pengkhianat."
"Apa katamu? Kalau berani katakanlah lebih jelas, siapa yang menjadi pengkhianat?" teriak Ci-keng dengan merah padam, Begitulah kedua orang bertengkar semakin sengit dan siap berperang tanding.
"Kedua Suheng tidak perlu berdebat, dengankanlah perkataanku," sela Ci-peng.
Meski kedua orang lantas diam, namun masih saling melotot.
Lalu Ci-peng berkata pula: "Menurut peraturan kita, pejabat ketua baru ditunjuk oleh ketua lama dan bukan diangkat secara be-ramai2 betul tidak?"
Setelah semua orang mengiakan, lalu Ci peng melanjutkan "Karena itu, sekarang juga aku menunjuk Tio Ci-keng sebagai pejabat ketua penggantiku. Nah, para hadirin tidak perlu bertengkar lagi. Tio-suheng, silakan maju menerima pesan."
Dengan ber-seri2 Ci-keng lantas maju ke tengah dan memberi hormat. Segera Ci heng dan Song Tek hong hendak bicara lagi, tapi Li Ci-siang keburu menarik baju mereka dan mengedipi. Ci-heng berdua tahu Ci-siang pasti mempunyai pandangan yang lebih baik, merekapun lantas diam.
"ln suheng pasti ditekan oleh Tio Ci-keng sehingga tidak berani melawannya," kata Ci-siang dengan suara tertahan "Maka kita harus membongkar muslihat Tio Ci-keng itu secara diam2, sekarang In-suheng sudah memutuskan demikian, kalau kita bicara lagi akan kelihatan pihak kita yang salah."
Ong dan Song mengiakan, mereka lantas ikut dalam upacara penyerahan kedudukan pejabat ketua itu. Bahwa dalam sehari terjadi penyerahan pejabat ketua dua kali, sungguh kejadian yang luar biasa.
Selesai upacara, dengan pongahnya Ci-keng lantas berdiri di tengah didampingi oleh anak muidnya, lalu berseru: "Silakan utusan Sri Baginda Raja MongoI hadir!"
Segera Ong Ci-heng hendak mendamperat lagi, tapi keburu dicegah Li Ci-siang. Selang tak lama beberapa Tosu menyambut tamu telah datang dengan membawa perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu.Cepat Ci-keng memburu maju untuk menyambut dengan munduk2. Perwira Mongol itu sudah mendongkol karena telah menunggu sekian lama, kini In Ci-peng ternyata tidak menyambut kedatangannya, keruan mukanya tambah bersungut.
Tapi segera seorang Tosu bagian protokol lantas memberitahu bahwa mulai sekarang kedudukan pejabat ketua telah dilimpahkan kepada Tio Ci-keng.
Perwira itu melengak kaget, tapi segera ia bergirang dan mengucapkan selamat kepada Ci-keng. Siau-siang-cu berdiri di belakang perwira Mongol itu dengan diam saja, mukanya kaku dingin, entah suka atau duka.
Dengan munduk2 pula Ci-keng membawa perwira Mongol itu ke tengah pendopo, lalu berkata: "Silakan Tayjin membacakan titah raja."
Diam2 perwira itu bersyukur bahwa Coan cin kau sekarang diketuai orang macam Tio Ci-keng.
ia lantas mengeluarkan Sengci (titah raja), Ci-keng. juga lantas bertekuk lutut, lalu perwira itu mulai membaca titah raja: "Dengan ini ketua Coar-cin-kau di..."
Melihat secara terangan Ci-keng menerima anugerah raja Mongol, Ci-siang, Ci-heng dan lain2 tidak tahan lagi, serentak mereka melolos pedang, Ci-heng dan Tek-hong terus melangkah maju dan mengancam punggung Ci-keng dengan ujung pedang mereka, Ci-siang lantas berseru dengan lantang: "Coan-cin-kau ini berdiri berdasarkan cita2 setia kepada negara dan bakti kepada rakyat, se-kali2 kita tidak sudi menyerah kepada Mongol, Tio Ci-keng telah mengkhianat dan setiap orang wajib mengutuknya, dia tidak boleh menjabat ketua Coan-cin kau dan kitapun tidak mengakuinya lagi."
Sementara itu beberapa Tosu lain juga sudah mengelilingi perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu dengan pedang terhunus.
Peristiwa ini terjadi dengan sangat mendadak,
Meski sebelumnya Ci-keng juga menduga Ci-siang dan kawannya pasti tidak mau menyerah, tapi sama sekali tidak diduganya pihak lawan berani menggunakan kekerasan terhadap pejabat ketua yang biasanya sangat dihormati dan dijunjung tinggi.
Sekarang senjata lawan telah mengancam, ia menjadi kaget dan gusar, tapi ia tidak gentar, segera ia membentak: "Kurangajar, kalian, berani membangkang terhadap pimpinan?"
Tapi Ci-heng lantas balas membentak "Bangsat! Pengkhianat! Berani kau bergerak, segera punggungmu akan tembus!"
Sebenarnya kepandaian Ci-keng terlebih tinggi daripada kedua lawannya, tapi secara mendadak dia dikuasai selagi tengkurap, dengan sendirinya dia mati kutu, sebelumnya dia juga menyiapkan belasan anak muridnya yang bersenjata lengkap, namun pihak lawan bertindak lebih dulu, betapapun anak buah Ci-keng itu tak sempat berkutik lagi.
Segera Li Ci-siang berkata kepada perwira MongoI itu: "Mongol sudah menjadi musuh Song Raya kami, rakyat Song mana boleh menerima anugerah dari pihak Mongol." Maka sekarang kalian silakan pulang saja, kelak kalau bertemu di medan perang bolehlah kita selesaikan di sana."
Walaupun terancam bahaya, perwira Mongol itu ternyata tidak gentar sedikitpun, ia malah menjengek: "Hm kalian berani bertindak secara semberono, tampaknya Coan-cin-kau yang sudah terpupuk kuat ini akan musnah dalam sekejap saja, Sungguh harus disayangkan."
"Negara kami seluas ini saja sudah terancam musnah, Coan-cin-kau yang cuma secuil ini apa pula artinya?" ujar Ci-siang. "Jika kalian tidak lekas pergi, kalau sebentar kalian diperlakukan secara kasar mungkin Siauto tidak dapat berbuat apa2 lagi."
Tiba2 Siau-sing-cu menimbrung: "Bagaimana perlakuan kasarnya? Coba, aku ingin tahu!" - Mendadak kedua tangannya meraih, tahu2 pedang Ong Ci-heng dan Song Tek-hong yang mengancam punggung Ci-keng itu telah dirampasnya.
Cepat Ci~keng melompat bangun terus berdiri di samping perwira Mongol itu, Siau-siang-cu lantas mengangsurkan sebuah pedang rampasan di tangan kirinya itu kepada Ci-keng, sedang pedang lain terus menusuk ke arah Li Ci-siang.
Trang", Ci-siang menangkis serangan itu, mendadak tangan terasa kesemutan, tenaga lawan ternyata kuat luar biasa. Diam2 ia mengeluh cepat iapun mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan, tapi cepat terdengar suara gemerantang nyaring, kedua pedang patah semua dan jatuh ke lantai.
Tindakan Siau-siang-cu itu dilakukan dengan cepat luar biasa, merampas pedang dan menyerang serta menggetar pedang hingga patah, semua itu terjadi dalam sekejap saja, Menyusul lengan bajunya lantas mengebut dan kedua tangan menyodok sekaligus ke depan sehingga empat murid tertua Coan-cin-kau yang mengitarinya itu didesak mundur.
Keruan semua orang kaget, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang yang mirip "mayat hidup" ini ternyata memiliki kepandaian setinggi ini.
Biasanya Ci-keng suka meremehkan ilmu silat Ong Ci-heng, Song Tek- hong dan lain2, sekarang di hadapan orang banyak dia telah diancam hingga tak bisa berkutik selagi mendekam diatas tanah, tentu saja dia sangat murka. Maka begitu dia menerima pedang dari Siau-siang-cu, segera pula dia menusuk ke perut Ong Ci-heng.
Cepat Ci-heng mendoyong ke belakang, namun Ci-keng tidak kenal ampun lagi, ia mendorongkan ujung pedang sehingga nasib Ci-heng tampaknya sukar dihindarkan, semua orang ikut kuatir sehingga suasana menjadi hening.
Pada detik gawat itulah mendadak dari samping seorang mengebaskan lengan bajunya, pedang Ci-keng tergulung dan tertarik ke samping, "bret". lengan baju robek terpotong dan kesempatan itupun digunakan Ci-heng untuk melompat mundur menyusul dua pedang terjulur pula dari samping untuk menahan pedang Ci-keng. Ketika diawasi orang yang mengebutkan lengan baju itu kiranya adalah In Ci-peng.
Ci-keng menjadi gusar, bentaknya sambil menuding Ci-peng: "Kau....kau berani...."
"Tio-suheng," kata Ci-peng, "kau sendiri menyatakan takkan menerima anugerah raja Mongol, karena itulah aku menyerahkan pejabat ketua padamu, mengapa dalam waktu sekejap saja kau sudah ingkar janji?"
"Bilakah pernah ku berjanji begitu?" jawab Ci keng, "Tadi kau bertanya soal anugerah raja MongoI rni, aku menjawab: "Aku tidak ingin kau menerima, anugerah raja Mongol! Nah, masakah aku ingkar janji? Yang menerima anugerah sekarang kan aku dan bukan kau?"
"Oh, kiranya begitu, kiranya begitu?" Ci-peng menggumam penuh rasa pedih, "Licik benar kau, Tio-suheng!"
Dalam pada itu Li Ci-siang sudah menerima pedang dari seorang muridnya segera ia berseru: "Saudara2 di dalam agama, kita tetap mengakui In-suheng sebagai pejabat ketua, marilah kita tangkap pengkhianat she Tio ini." - Menyusul ia lantas menubruk maju dan menempur Ci-keng.
Ci-heng dan enam orang lainnya lantas memasang Pak-tau Kiam-hoat mengepung Siau-siang-cu di tengah, Meski tinggi ilmu silat Siau-siang-cu, tapi barisan pedang Coan-cin-kau yang terkenal itupun sangat hebat, sekali bergebrak, daya tempurnya juga Iihay. Cepat Siau-siang-cu mengeluarkan pentungnya untuk menangkis kerubutan lawan.Perwira Mongol tadi sudah mundur ke pojok ruangan, melihat gelagat jelek, segeia ia mengeluarkan tanduk kerbau dan ditiup keras2.
Ci-peng terkejut, ia tahu orang sedang mengundang bala bantuan, menghadapi ancaman bahaya, semangatnya terbangkit, kemampuannya memimpin biasanya Iantas timbul Iagi. Segera ia memberi perintah: "Ki Ci-seng, kau tangkap perwira itu, Ih To-hoan Suheng, Ong Ci-kin Suheng, kalian membawa tiga kawan dan lekas ke Giok-bi-tong di belakang gunung untuk membantu Sun-suheng berjaga di sana agar kelima guru kita tidak terganggu serbuan musuh.
Tan Ci-ek Sute lekas kau membawa enam orang pergi berjaga di depan gunung. Pang Ci ki Sute dengan enam orang berjaga di kiri gunung dan Lau To-leng Sute bersama enam orang berjaga di kanan gunung."
Orang2 yang ditugaskan berjaga di kanan kiri dan muka belakang itu adalah murid Ong Ju-ki semua, sedangkan Ih To-hian dan Ong Ci-kin adalah murid paman gurunya yang dapat dipercaya dengan cara pengaturan pertahanan ln Ci-peng ini, sekalipun musuh menyerbu secara besarkan juga sukar menembusnya.
Akan tetapi sebelum semua orang yang diberi perintah itu pergi, tiba2 terdengar suara teriakan ramai, belasan orang telah melompat masuk, dari kanan nampak dipimpin ln Kik-si dan sebelah kiri dipimpin Nimo Singh, dari depan dikepalai Be Kong-co, belasan orang yang dipimpin adalah jago2 pilihan dari berbagai suku bangsa.
Kiranya Kubilai tidak berhasil memboboI pertahanan Siangyang selama ber-bulan2, mendadak terjangkit wabah di tengah pasukannya, maka setelah serangan terakhir pada Siangyang juga gagal, segera ia mengundurkan pasukannya, Pasukan Mongol yang dilihat Siao-liong~li tempo hari ketika bergerak ke selatan itu adalah serangan terakhir yang dilakukan Kubilai.
Berhubung sukarnya Siangyang direbut, dengan sendirinya kerajaan Song juga sukar diruntuhkan, maka sebelum mengundurkan pasukannya Kubilai sudah mengirim antek2nya untuk mendekati dan membeli orang2 gagah di Tionggoan.
Raja Mongol sengaja merangkul pihak Coan-cin-kau juga termasuk tipu muslihat Kubilai. Tapi dia tahu Coan-cin-kau belum tentu mau menerima anugerah, maka Kim-lun Hoat-ong diperintahkan memimpin jago2 lainnya bersembunyi di sekitar Cong-lam-san, bila Coan-cin-kau menolak titah raja, segera digunakan kekerasan untuk menindasnya.
Biasanya penjagaan di Cong-Iam-san cukup ketat, tapi lantaran sehari terjadi dua kali penggantian pejabat ketua, suasana di Tiong-yang-kiong sedang kacau, anak murid yang bertugas berjaga di luar sama di tarik ke dalam untuk ikut hadir dalam upacara, sebab itulah kedatangan rombongan Nimo Singh, In Kik-si dan lain2 tidak diketahui
Kini musuh mendadak muncul, seketika orang2 Coan~cin-kau menjadi panik, Perwira Mongol yang tadinya sudah ditawan Ki Ci-seng itu sekarang lantas berteriak: "Para Totiang dari Coan-cin kau, kalau ingin selamat, lekas kalian membuang senjata dan tunduk kepada perintah pejabat ketua Tio-totiang."
Tapi Ci-peng lantas membentak: "Tio-Ci-keng telah berkhianat dosanya tak terampunkan, dia bukan lagi pejabat ketua kita."
Meski menyadari keadaan sangat gawat, tapi Ci-peng bertekad melawan musuh dengan mati2an, maka dia lantas memberi aba2 untuk bertempur, Namun para Tosu sebagian tak membawa senjata dan terkepung pula, maka hanya sebentar saja sudah belasan orang terkapar tak bernyawa lagi.
Menyusul Ci-peng sendiri, Li Ci-siang, 0ng-Ci-heng, Song Tek-hong dan lain2 juga kecundang ada yang senjatanya terampas musuh dan ada yang terluka dan menggeletak atau tak bisa bergerak karena Hiat-to tertutuk. Sisa Tosu yang lain menjadi kelabakan seperti ular tanpa kepala, mereka terdesak ke pojok ruangan dan tak dapat melawan lagi.
Perwira Mongol tadi tidak tinggi ilmu silatnya, tapi pangkatnya sangat tinggi, maka In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain2 harus tunduk kepada perintahnya, Melihat pihaknya sudah menang total, perwira itu lantas berseru kepada Ci-keng: "Tio cinjin, mengingat kesetiaanmu, tentang pemberontakan Coan-cin-kau ini takkan kulaporkan kepada "Sri Baginda."
Ci-keng memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, Tiba2 teringat sesuatu olehnya, cepat ia membisiki Siau-siang-cu: "Masih sesuatu urusan penting perlu bantuan cianpwe. Guruku dan para paman guruku sedang menyepi di belakang gunung, kalau mereka menerima berita dan memburu kesini..."
"Kebetulan kalau mereka ke sini, akan kubereskan mereka bagimu," ujar Siau-siang-cu dengan tak acuh.
Ci-keng tak berani bicara pula, dalam hati ia mendongkol karena orang berani meremehkan gurunya, namun iapun serba susah, kalau guru dan para paman gurunya dapat mengusir orang2 Mongol berarti pula jiwanya sendiri terancam.
Dalam pada itu perwira Mongol tadi telah berkata pula: "Tio-cinjin, silakan kau terima dulu anugerah Sri Baginda, habis itu baru kau selesaikan kawanmu yang membrontak itu."
Ci-keng mengiakan dan segera berlutut mendengarkan titah raja Mongol. Ci-peng, Ci-siang dan lain2 dapat mengikuti kejadian itu dengan dada se-akan2 meledak saking gusarnya.
Song Tek-hong berduduk di sebelah Li Ci-siang, ia coba membisiki sang Suheng: "Li-suheng, harap lepaskan pengikat tanganku, biar kuterjang keluar untuk melapor pada guru kita."
Ci-siang mengangguk punggungnya lantas dirapatkan di punggung Tek-hong, ia mengerahkan tenaga dalam pada jarinya untuk membuka tali pengikat tangan Song Tek-hong yang ditelikung itu. Setelah berhasil dengan suara tertahan ia memberi pesan: "Kau harus hati2, jangan sampai kelima guru kita terkejut."
Tek-hong mengangguk dan siap2 untuk meloloskan diri. sementara itu pembacaan titah raja sudah selesai, Ci-keng telah berdiri, perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu sedang mengucapkan selamat padanya.
Melihat semua orang sedang mengitari Tio Ci-keng, cepat Song Tek-hong melompat ke sana, segera ia berlari ke balik altar pemujaan.
"Berhenti!" Nimo Singh membentak
Akan tetapi Tek-hong tidak ambil pusing, ia berlari terlebih cepat.
Karena kedua kakinya sudah buntung, sukar bagi Nimo Singh untuk mengejar, sebelah tangannya lantas mengambil sebuah Piau kecil berbentuk ular terus disambitkan "PIok", dengan tepat kaki kiri Tek-hong tertimpuk Piau itu.
Akan tetapi Tek-hong hanya sempoyongan sedikit saja dan tetap kabur ke depan dengan menahan sakit. Beberapa jago Mongol segera mengejar, namun bangunan rumah di kompIek Tiong-yang-kiong sangat banyak, hanya memutar beberapa rumah saja Tek-hong sudah menghilang dari kejaran musuh.Sampai di tempat sepi, dengan menahan sakit Tek hong mencabut Piau yang masih menancap di kakinya itu, lalu membalut lukanya, ia kembali dulu ke kamarnya untuk mengambil pedang, lalu berlari ke Giok-bi-tong di belakang gunung, di mana guru dan para paman gurunya sedang menyepi.
Sesudah dekat, dari balik pepohonan ia memandang ke sana, ia jadi mengeluh ketika dilihatnya lebih 20 orang Mongol sedang sibuk memindahkan batu2 besar untuk menyumbat mulut gua Giok-hi-tong. Seorang , paderi Tibet tinggi kurus mengawasi dan memberi petunjuk cara menyumbat gua itu. Di samping itu terdapat pula dua orang lagi sedang sibuk mengatur ini dan itu.
Tek-hong kenal kedua orang di samping itu itu adalah Darba dan Hotu yang dahulu pernah cari setori ke Tiong-yang-kiong, dengan sendirinya iapun kenal ilmu silat kedua orang itu. Sedang paderi yang tinggi itu jelas kepandaiannya lebih tinggi dari pada Darba dan Hotu, mulut gua Giok-hi~tong sudah tinggal sedikit saja yang belum tersumbat batu, entah bagaimana keadaan kelima guru dan paman gurunya?
Song Tek-hong menyadari tenaga sendiri tak berguna andaikan menerjang maju untuk mengalangi perbuatan musuh itu, paling2 jiwa sendiri juga akan ikut melayang, tapi mengingat keselamatan guru dan nasib Coan cin-kau yang menghadapi kehancuran, mana boleh ia cuma memikirkan keselamatannya sendiri.
Segera ia melompat keluar dari tempat sembunyinya, secepat kilat ia menusuk paderi Tibet yang berdiri membelakanginya itu, ia pikir kalau menyerang harus serang pimpinannya, kalau berhasil tentu pihak musuh kacau lebih dulu.
Paderi Tibet itu adalah Kim lun Hoat-ong, tempo hari ia sudah menanyai Tio Ci-keng mengenai seluk-beluk Coan cin-kau, maka begitu sampai di Tiong-yang-kiong segera ia menuju belakang gunung untuk menyumbat Giok-hi-tong serta mengurung kelima tokoh utama Coan-cin-kau itu di dalam gua, dengan begitu sisa anak murid Coan-cin-kau yang lain tentu mudah diatasi.
Ketika ujung pedang Song Tek-hong hampir mengenai punggungnya ternyata Hoat-ong tidak merasakan apa2, Tek-hong bergirang, Tak terduga mendadak cahaya kuning berkelebat menyusul terdengar suara "trang" sekali, sejenis senjata aneh paderi itu telah menyamber ke belakang dan membentur pedangnya.
Tek-hong merasakan tangannya kesakitan, pedang terlepas dari cekalan, hanya benturan itu saja telah membuat dia muntah darah dan pandangan menjadi gelap. Dalam keadaan sadar-tak-sadar sayup2 ia dengar suara teriakan orang ramai di ruangan pendopo, entah peristiwa apa lagi yang terjadi, tapi segera ia tak ingat apa2, ia jatuh pingsan.
Kim-lun Hoat-ong juga mendengar suara teriakan ramai itu, tapi ia pikir Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2 berada di sana, tentu anak murid Coan-cin-kau takkan mampu melawan mereka, maka ia tidak menjadi kuatir, ia perintahkan para busu Mongol itu mempercepat penyumbatan gua itu dengan batu agar Khu Ju-ki berlima tidak sempat menerjang keluar secara mendadak.
Di ruangan pendopo memang terjadi lagi sesuatu sesudah Song Tek-hong pergi, Perwira Mo-ngol itu telah berkata kepada Ci-keng: "Tio-cinjin, anggota kalian yang memberontak tampaknya tidak sedikit, agaknya kedudukanmu tidak begitu enak bagimu."
Sudah tentu Ci-keng juga menyadari hal ini, namun keadaan sudah telanjur, ibaratnya sudah berada di punggung macan, kalau melompat turun tentu akan dicaplok sang harimau malah, Segera Ci-keng berteriak: "Menurut undang2 kita, apa hukumannya bagi kaum pemberontak?"
Para Tosu diam2 saja, malahan dalam hati mereka pikir: Kau sendiri pemberontak dan pengkhianat."

Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali - Chin YungWhere stories live. Discover now