Jilid 16

2.8K 39 0
                                    

Nyo Ko melangkah maju dan melamun, tiba2 teringat olehnya: "Ah, jangan, dia pernah berterima kasih pada Yali Ce karena sopan santunnya, memang aku lebih rendah daripada Yali Ce itu? Hm, aku justru hendak melebihi dia dalam hal apapun juga."

Begitulah tabiat Nyo Ko yang gampang ter-singgung, sejak kecil tak pernah memperoleh didikan orang tua, tentang sopan santun dan tata krama sama sekali tak diketahui, setiap tindak tanduknya bergantung pada pendapatnya apakah itu baik atau buruk. Waktu itu kalau bukan pikirannya ingin melebihi Yali Ce, boleh jadi ia sudah peluk Wanyen Peng dan menciumnya.

Kemudian dengan garan golok ia tumbuk lagi sekali pinggang Wanyen Peng untuk melepaskan Hiat-to yang ditutuk tadi, lalu golok itu ia angsurkan kembali padanya.
"Siapa tahu, bukannya Wanyen Peng terima kembali goloknya, sebaliknya ia terus berlutut di hadapan Nyo Ko.
"Mohon Suhu terima aku sebagai murid, kalau aku dapat membalas sakit hati orang tua, budi ini pasti takkan kulupakan," katanya tiba2.
Nyo Ko menjadi kelabakan oleh kelakuan orang, lekas2 ia bangunkan Wanyen Peng.
"Mana bisa aku menjadi gurumu?" sahutnya, "Tetapi, dapatlah kuajarkan satu akal padamu untuk membunuh Yali-kongcu." Girang sekali Wanyen Peng oleh keterangan itu.
"Bagus sekali, asal bisa bunuh Yali-kongcu, abang dan adiknya bukan tandinganku semua, dengan sendirinya aku dapat membunuh lagi ayahnya... berkata sampai disini, tiba2 terpikir lagi olehnya: "Ah, kalau sampai aku memiliki kepandaian untuk membunuh dia, apa mungkin Yali tua masih hidup di dunia ini? Bagaimanapun juga, sakit hati ayah-bundaku tak dapat dibalas,"
Tetapi sehari ini saja Yali tua itu rasanya masih tetap hidup," kata Nyo Ko dengan tertawa.
"Apa maksudmu?" tanya Wanyen Peng.
"Untuk membunuh Yali Ce, apa susahnya?" Sahut Nyo Ko. "Sekarang juga aku ajarkan tiga tipu padamu dan malam ini juga kau dapat membunuhnya."
Sudah tiga kali Wanyen Peng berusaha membunuh Yali Cu-cay, tetapi ketiga kalinya selalu dikalahkan Yali Ce secara mudah saja, maka ia cukup kenal ilmu kepandaian orang yang berpuluh kali lebih tinggi dari dirinya. Ia pikir, sungguhpun ilmu silat Nyo Ko tinggi, tapi belum tentu melebihi Yali Ce.
Sekalipun bisa menangkan dia, tidak nanti juga hanya tiga tipu saja lantas bisa digunakan buat membunuh orang, apalagi malam ini pula katanya bisa membunuhnya, ini lebih2 tak mungkin.
Begitulah ia menjadi sangsi, karena kuatir Nyo Ko marah, maka tak berani Wanyen Peng mendebatnya, hanya kepalanya menggeleng sedikit, sedang kerlingan matanya yang menggilakan Nyo-Ko tadi semakin menggiurkan.
Betapa pintarnya Nyo Ko, segera iapun tahu apa yang dipikirkan si gadis.
"Ya, memang ilmu silatku belum pasti bisa diatasnya," demikian katanya, "kalau saling gebrak, boleh jadi aku malah banyak kalahnya daripada menangnya, Tetapi untuk mengajarkan tiga tipu padamu dan buat membunuhnya malam ini juga, hal ini sebaliknya tidak perlu buang tenaga, Soalnya hanya bergantung padamu yang pernah mendapat pengampunan tiga kali dari dia, aku kuatir kau tak tega membunuhnya."
Hati Wanyen Peng tergerak, segera ia keraskan hatinya dan menyahut: "Meski dia ada budi padaku, namun sakit hati orang tua tidak bisa tidak dibalas."
"Baik, kalau begitu tiga jurus tipu ini segera kuajarkan padamu," kata Nyo Ko. "Tetapi kalau kau mestinya bisa membunuh dia dan tidak kau lakukan, lalu bagaimana nanti?"
"Bila terjadi begitu, terserahlah kau untuk berbuat sesukamu, toh kepandaianmu begini tinggi kau mau pukul atau mau bunuh aku, apa aku sanggup melarikan diri?" sahut Wanyen Peng tegas.
"Mana aku tega pukul, apalagi membunuh kau?" demikian pikir Nyo Ko dalam hati. Maka dengan tersenyum ia menjawab: "Sebenamya tiga jurus tipu inipun tiada yang mengherankan Nih, kau lihat yang jelas!"
Habis itu, golok orang lantas diambilnya kembali, dengan pelahan ia membabat dari kiri ke kanan.
"Tipu pertama yalah "hun-hing-cin-nia"," kata Nyo Ko.
Melihat tipu serangan ini, diam2 Wanyen Peng berpikir: "Tipu serangan ini aku sudah bisa, perlu apa kau mengajarkan?" - Maka dengan mengegos ia hindarkan serangan itu.
"Dan kini tipu kedua," kata Nyo Ko sambil mendadak ulur tangan kiri buat pegang tangan kanan si gadis, "ini adalah tipu "ko-tin-jiau-jiu" (akar rotan melingkar pohon) dari ilmu pukulanmu Thi-cio-kang."
"Aneh, tipu inipun satu diantara 18 gerakan Kim-na-jiu dari Thi-cio-kang kami, buat apa kau mengajarkan lagi?" kembali Wanyen Peng berpikir "Tetapi aneh juga, darimana dia mempelajari ilmu pukulan golongan Thi-cio-bun kami?"
"Ilmu kepandaian golongan Thi-cio-bun, pertama adalah Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh, Kedua yalah Cio-hoat atau ilmu pukulan tangan kosong, lebih2 18 jurus Kim-na-jiu (cara mencekal dan memegang) juga sangat lihay, Karena Kiu-im-cin-keng adalah himpunan dari inti2 itmu silat seluruh jagat, asal satu dipelajari maka semuanya paham dengan sendirinya.
Nyo Ko sudah berhasil melatih Kiu-im-cin-keng, maka iapun kenal Kim-na-jiu-hoat dari Thi-cio-bun itu, hanya cara yang lebih mendalam belum diketahuinya.
Begitulah, maka Wanyen Peng menjadi heran karena tangannya dipegang tadi ia merasa Kim-na-jiu-hoat yang diunjuk Nyo Ko ini sebenarnya tidak lebih lihay dari apa yang dia pernah belajar, karena itu, dengan mata terbuka lebar ia menantikan tipu serangan ketiga yang akan diajarkan padanya itu.
Belum lagi Nyo Ko perlihatkan tipu ketiganya, Wanyen Peng telah membatin pula: "Jurus seranganmu yang pertama dan kedua semuanya adalah ilmu kepandaian Thi-cio-bun kami sendiri hakekatnya tiada sesuatu yang luar biasa, apakah mungkin melulu andalkan tipu serangan ketiga ini lantas bisa membunuh Yali-kongcu?"
"Nah, sekarang lihatlah yang jelas !" begitulah terdengar Nyo Ko berseru padanya, Habis itu goloknya diangkat terus menggorok tenggorokan sendiri.
Keruan saja tidak kepalang kaget Wanyen Peng, "Hai, apa yang kau lakukan ?" jeritnya cepat Dan karena tangan kanannya masih dipegang ken-cang2 oleh Nyo Ko, maka dengan tangan kiri ia merebut senjata yang hendak dibuat bunuh diri oleh Nyo Ko itu.
Meski dalam keadaan gugup, namun gerak tangan Wanyen Peng tetap sangat cepat, sekali cekal, pergelangan tangan si Nyo Ko sudah dipegangnya terus ditekuk, dengan demikian mata golok itu tak dapat dipakai membunuh diri lagi.
Nyo Ko lantas kendurkan kedua tangannya dan melompat mundur. "Nah, sekarang kau sudah tahu bukan ?" dengan tertawa ia tanya.
Wanyen Peng sendiri masih ber-debar2 hati-nya oleh karena kagetnya tadi, maka ia belum paham apa maksud kata2nya.
"Pertama kau gunakan tipu "hun-hing-cin-nia" untuk membabat, lalu dengan tipu ^oh-tu-jiau-jiu" kau cekal tangan kanannya dengan kencang, dan tipu ketiga yalah angkat golok buat bunuh diri.
"Dalam keadaan begitu, pasti dia akan gunakan tangan kiri buat menolong kau, ia pernah bersummpah padamu bahwa asal kau bisa memaksa dia menggunakan tangan kiri, ia akan serahkan jiwanya padamu, itu namanya mati tanpa menyesal dan bukankah urusan menjadi selesai ?" demikian Nyo Ko menjelaskan.
Betul juga pikir Wanyen Peng, tetapi dengan ter-mangu2 ia memandang Nyo Ko, dalam hati ia pikir: "Usiamu masih semuda ini, mengapa dapat kau pikirkan cara2 yang begini aneh dan nakal ?"
Dalam pada itu Nyo Ko telah berkata lagi:
"Ketiga tipu tadi tanggung berhasil dengan baik, kalau gagal, aku nanti menyembah padamu!"
"Tidak," tiba2 Wanyen Peng menyahut dengan goyang kepala, "sekali dia bilang tak akan pakai tangan kiri, tentu tak digunakannya, lalu bagaimana?"
"Lalu bagaimana? Kalau kau tak bisa membalas dendam, bukankah lebih baik mati saja, beres." kata Nyo Ko.
"Kau betul," sahut Wanyen Peng dengan suara pilu, "Terima kasih atas petunjukmu sebenarnya kau ini siapakah ?"
"Dia bernama si Tolol, jangan kau turut ocehannya," belum sampai Nyo Ko menjawab, tiba2 suara seorang perempuan menyela di luar jendela.
Nyo Ko dapat mengenali itu adalah suara Liok Bu-siang, maka ia hanya tersenyum dan tidak gubris.
Sementara itu Wanyen Peng telah melompat ke pinggir jendela, sekilas masih dapat dilihat berkelebatnya bayangan orang yang melompat keluar pagar.
Hendak dikejar oleh Wanyen Peng sebenarnya, namun Nyo Ko telah mencegahnya.
"Tak perlu kau uber dia," kata Nyo Ko dengan tertawa, "Dia adalah kawan-ku. Dia memang selalu ingin mengacau padaku."
"Tak apalah kalau kau tak mau menerang-kan," ujar Wanyen Peng sesudah termenung sejenak sambil memandangi Nyo Ko. "Tetapi aku yakin kau tiada maksud jahat padaku."Watak Nyo Ko suka menyerah pada kelunakan dan se-kali2 tidak sudi tunduk pada kekerasan kalau ada orang menghina dia, memaksa dia, sekalipun mati tak nanti dia menyerah, tetapi kini oleh karena kerlingan mata Wanyen Peng dengan wajahnya yang sayu mengharukan, tanpa terasa timbul rasa kasih sayang dalam hati Nyo Ko.
Maka dengan tarik tangan si gadis, dengan berendeng mereka duduk di dipan, lalu dengan suara halus ia menerangkan : "Aku she Nyo dan bernama Ko, ayah-bundaku sudah meninggal semua, serupa saja dengan hidupmu..."
Mendengar sampai disini, hati Wanyen Peng tak tertahan lagi air matanya mengucur. Dasar perasaannya Nyo Ko juga gampang terguncang, mendadak iapun menangis hingga menggerung.
Karena itu, Wanyen Peng keluarkan saputangan dan disodorkan pada Nyo Ko.
Waktu mengusap air mata dengan saputangan orang, Nyo Ko mencium bau harum yang sedap, tetapi ketika ingat pada kisah hidupnya sendiri, air matanya semakin lama semakin mengucur.
"Nyo-ya (tuan Nyo), kaupun ikut2 menangis --gara2 urusanku," kata Wanyen Peng.
"Jangan panggil aku Nyo-ya," sahut Nyo Ko.
"Betapa umurmu tahun ini?"
"Delapan belas," kata si gadis. "Dan kau?"
"Akupun delapan belas," sahut Nyo Ko, Dalam hati ia berpikir: "Kalau bulan lahirku lebih muda dari dia hingga aku dipanggil adik olehnya, rasanya kurang nikmat." - Karena inilah, lantas di sambungnya lagi: "Aku terlahir dalam bulan pertama, maka selanjutnya kau panggil aku Toako saja, Akupun tak akan sungkan 2 lagi dan panggil kau sebagai adik perempuan."
Muka Wanyen Peng menjadi merah, ia merasa si Nyo Ko ini segala apa selalu terang2an, sungguh sangat aneh, tetapi memang nyata tiada maksud jahat terhadap dirinya, maka kemudian iapun: mengangguk tanda setuju.
Mendapatkan seorang adik baru, rasa senang hati Nyo Ko sungguh tak terkatakan.
Begitulah watak Nyo Ko, kalau Liok Bu-siang suka mendamperat dan marah2 padanya, maka ia pun tiada hentinya menggoda, Tetapi kini wajah Wanyen Peng cantik molek, perawakannya kurus lencir, nasibnya pun malang, seperti dilahirkan supaya dikasihani orang, yang paling penting lagi, jalan kerlingan sepasang mata-bolanya yang begitu mirip seperti Siao-liong-li.
Dengan ter-mangu2 Nyo Ko memandangi mata Wanyen Peng, dalam khayalannya ia anggap gadis berbaju hitam di hadapannya itu seperti berbaju putih, wajah orang yang cantik kurus itu se-akan2 kelihatan seperti muka Siao-liong-li tanpa terasa terunjuklah perasaannya yang mengharap, perasaan rindu rasa kasih sayang yang halus.
Karena guncangan perasaan itulah, maka air mukanya pun menjadi aneh luar biasa, akhirnya Wanyen Peng menjadi takut, pelahan ia lepaskan tangan dari cekalan orang dan menegur: "Kenapakah kau?"
"Tak apa2," sahut Nyo Ko seperti tersadar dari mimpi, sambil menghela napas. "Sekarang kau pergi membunuh dia tidak?"
"Segera juga aku pergi," sahut Wanyen Peng cepat, "Nyo-toako, kau ikut serta tidak?"
Sebenarnya Nyo Ko hendak berkata : "sudah tentu ikut serta", tetapi bila terpikir lagi kalau dirinya ikut, tentu hal ini akan membesarkan hati Wanyen Peng, dan lagaknya membunuh diri tentu menjadi tak sungguhan Yali Ce juga tak bisa terjebak akalnya lagi
Sebab itu, maka dijawabnya : "Rasanya tak enak aku ikut pergi."
Karena jawaban ini, tiba2 sorot mata Wanyen Peog menjadi guram
Hati Nyo Ko menjadi lemas, hampir2 ia menyanggupi untuk ikut serta kalau tidak keburu si gadis berkata lagi: "Baiklah, Nyo-toako, cuma aku tak akan bersua lagi dengan kau."
"Mana, ma... mana bisa begitu? ak,..aku...." sahut Nyo Ko cepat dan tak lancar.
Namun Wanyen Peng sudah keluarkan serenceng uang perak, ia lemparkan ke atas meja sebagai biaya menginap di rumah penduduk itu, habis mana iapun melompat keluar.
Dengan ilmu entengkan tubuhnya yang hebat, sekejap saja ia sudah berada lagi ditempat tinggalnya Yali Ce.
Tatkala itu Yali Cu-cay dll sudah kembali ke kamarnya sendiri2, Yali Ce baru saja hendak me-ngaso, tiba2 pintu kamarnya diketok orang.
"Wanyen Peng mohon bertemu Yali-kongcu," demikian terdengar suara si gadis yang nyaring.
Segera ada empat pengawal datang merintangi Wanyen Peng, namun Yali Ce sudah keburu membuka pintu kamarnya.
"Ada keperluan apa lagi, nona Wanyen?" tanyanya segera.
"Aku ingin belajar beberapa gebrak lagi dengan kau," sahut Wanyen Peng.
Heran sekali Yali Ce, ia pikir mengapa orang tak tahu diri? Namun tidak urung ia menyingkir ke samping sambil memberi tanda dengan tangan: "Silakan masuk!"
Begitu masuk, tanpa bicara lagi Wanyen Peng lantas lolos senjata terus mencecar tiga kali, diantara goloknya, ia selingi pula dengan pukulan telapak tangan besinya.
Tetapi Yali Ce memang jauh lebih tinggi ilmu silatnya, dengan tangan kiri lurus ke bawah, ia layani si gadis dengan tangan kanan melulu, ia balas memukul dan hendak menangkap senjata orang, dengan gampang saja semua serangan Wanyen Peng dapat dipatahkannya.
Dalam hati iapun sedang pikirkan sesuatu daya-upaya agar bisa membikin Wanyen Peng kapok dan mundur teratur untuk selanjutnya tak datang merecokinya lagi .
Lewat tak lama, selagi Wanyen Peng hendak keluarkan tiga tipu akal ajaran Nyo Ko, mendadak di luar pintu suara seorang wanita berseru: "Hmm Yali-kongcu, dia hendak menipu kau menggunakan tangan kiri." Tidak salah lagi itulah suaranya Liok Bu-siang.
Untuk sesaat Yali Ce tercengang, akan tetapi Wanyen Peng tak memberikan kesempatan padannya untuk berpikir, segera dengan tipu "hun-hmg-cin-nia" ia membabat, selagi Yali Ce mengegos, se-konyong2 ia ulur tangan kiri terus cekal tangan kanan Yali Ce dengan tipu "koh-tin-jiau-jiu", menyusul golok diangkat terus menggorok ke lehernya sendiri!
Maka insaflah Yali Ce oleh seruan di luar pintu tadi, untuk sesaat pikirannya sudah bergantian beberapa kali: "Harus kutolong dia! - Tetapi inilah tipunya untuk pancing aku menggunakan tangan kiri, kalau aku geraki tangan kiri, itu berarti aku menyerahkan jiwaku untuk diperbuat sesuka hatinya. Biarlah, laki2 sejati mati biarlah mati, mana boleh melihat orang mau bunuh diri tanpa menolongnya ?"
Sebenarnya Nyo Ko sudah mentafsirkan jalan pikiran Yali Ce, asal mendadak tiga tipu serangan ajarannya itu dilontarkan, maka tak bisa tidak pasti ia akan gunakan tangan kirinya buat menolong,
Siapa tahu Liok Bu-siang sengaja mengacau dan sebelumnya memperingatkan Yali Ce.
Sungguhpun begitu, namun Yali Ce memang manusia yang berbudi dan berhati mulia, sudah terang diketahuinya begitu ia keluarkan tangan kiri buat tolong Wanyen Peng, maka jiwanya tak terjamin lagi. Tetapi pada saat yang berbahaya itu, toh masih tetap tangan kirinya diulur untuk menangkis pergelangan tangan Wanyen Peng, menyusul tangannya membalik dan Liu-yap-to itu dapat direbutnya.
Sesudah saling gebrak tiga jurus itu, kemudian masing2 pun melompat mundur berbareng, Dan sejenak menunggu si gadis buka suara, Yali Ce segera mendahului melemparkan golok rampasannya padanya.
"Nyata kau dapat paksa aku menggunakan tangan kiri maka jiwaku kuserahkan padamu sekarang, cuma ada sesuatu permohonanku padamu," demikian katanya.
"Urusan apa?" tanya Wanyen Peng dengan muka pucat.
"Aku mohon kau jangan celakai ayahku lagi," pinta Yali Ce.
Wanyen Peng menjengek sekali, lalu dengan ia melangkah maju, golok ia angkat, di sinar lampu ia lihat sikap Yali Ce biasa saja tanpa jeri sedikitpun, bahkan penuh berwibawa.
Wanyen Peng adalah gadis yang cantik dan halus budinya, melihat seorang Iaki2 sejati sedemikian ini, teringat olehnya sebabnya orang menggunakan tangan kiri tak lain tak bukan adalah karena hendak menolong jiwanya, keruan goloknya itu tak tega dibacokkan.
Tiba2 napsu membunuhnya yang membakar tadi menjadi ludes, Liu-yap-to yang sudah dia angkat itu mendadak dilempar ke lantai, dengan menutup mukanya iapun berlari pergi.
Dalam keadaan begitu, Wanyen Peng menjadi seperti orang linglung, ia melangkah setibanya hingga akhirnya sampai di tepi sebuah sungai, sambil memandangi sinar bintang yang ber-kelip2 guram tercermin di air sungai itu, pikirannya kusut tidak keruan.
Lewat lama dan lama sekali, Wanyen Peng menghela napas panjang, Tiba2 ia dengar di belakangnya ada orang menghela napas juga, di malam yang sunyi itu, kedengarannya menjadi sangat seram.
Dalam kagetnya segerapun Wanyen Peng berpaling, maka terlihatlah satu orang berdiri di belakangnya, siapa lagi dia kalau bukan Nyo Ko ! "Nyo-toako," ia menyapa sekali, lalu kepala menunduk dan tidak buka suara pula."Moaycu (adik), urusan membalas dendam orang tua memang bukan perkara gampang, maka tak perlu ter-gesa2 ingin lekas terlaksana," kata Nyo Ko sambil maju dan menggenggam tangan si gadis.
"Kau sudah menyaksikan semuanya?" tanya Wanyen Peng.
Nyo Ko mengangguk.
"Manusia seperti aku ini, soal balas dendam sudah tentu bukan urusan gampang." kata pula si gadis, "Tetapi kalau aku bisa mempunyai setengah kepandaianmu rasanya tak nanti aku bernasib begini,"
"Sekalipun bisa memiliki ilmu silat seperti aku, apa guna?" ujar Nyo Ko sambil gandeng tangan orang dan duduk berendeng di bawah satu pohon rindang, "Meski kau belum bisa membalas dendam, namun sedikitnya kau sudah tahu siapa musuhmu. sebaliknya aku? Sampai cara bagaimana ayahku tewas, hingga kini akupun tidak tahu, begitu pula siapa pembunuhnya juga tak tahu, jangankan hendak menuntut balas, lebih2 tak perlu disebut lagi"
"Ayah-bundamu juga dibunuh orang?" tanya Wanyen Peng dengan tercengang.
"Bukan, ibuku tewas digigit ular berbisa, sedangkan ayahku mati secara tak jelas, malahan selamanya belum pernah aku melihat mukanya," sahut Nyo Ko sambil menghela napas.
"Kenapa bisa begitu ?" tanya si gadis.
"Ya sebab waktu aku dilahirkan ayahku sudah keburu mati," tutur Nyo Ko. "Sering aku tanya ibu sebab apakah sebenarnya ayah mati dan siapa musuhnya, Tetapi setiap kali aku tanya, selalu ibu mengucurkan air mata dan tak menjawab, belakangan akupun tak berani bertanya lagi. Aku pikir biarlah kelak kalau aku sudah dewasa barulah aku tanya pula, siapa tahu ibu mendadak di-gigit ular, pada sebelum ajalnya kembali aku bertanya tentang kematian ayah. Kata ibu: "Sepak terjang ayahmu memang tidak baik, maka kematiannya itu merupakan ganjarannya, Orang yang membunuhnya berkepandaian tinggi sekali, pula adalah orang baik. Sudahlah, nak, seumur hidupmu ini jangan se-kali2 kau berpikir tentang balas dendam segala", Ai, coba, cara bagaimana sebaiknya aku ini?"
Dengan penuturannya ini, maksud Nyo Ko hendak menghibur Wanyen Peng, tetapi akhirnya ia sendiri menjadi berduka juga.
"Lalu siapakah yang membesarkan kau?" tanya Wanyen Peng.
"Siapa lagi? Sudah tentu kubesarkan diriku sendiri," sahut Nyo Ko. "Sejak wafatnya ibu, aku lantas ter-lunta2 di kalangan Kangouw, disini aku mengemis sesuap nasi, di sana kulewatkan semalam, kadang2 saking tak tahan lapar aku lantas curi sebuah semangka atau sepotong ubi sekedar tangsal perut, namun sering kali kena ditangkap pemiliknya dan dihajar babak belur, lihat ini, di sini masih ada bekasnya, dan yang ini tulangnya... sampai menonjol, semua ini akibat dihajar orang semasih kecil"
Sambil berkata sembari lengan celananya di gulung untuk menunjukkan tempatnya pada si gadis, tetapi keadaan remang2, Wanyen Peng tak jelas melihatnya, Nyo Ko memegang tangannya dan diletakkan pada belang bekas luka di betisnya itu.
Wanyen Peng berhati Iemah, ia memang dilahirkan sebagai gadis perasa dan suka bersedih, sambil meraba bekas luka betis orang, tak tertahan hatinya terasa pilu, diam2 ia pikir nasib dirinya yang meski negara hancur dan rumah runtuh, namun masih tidak sedikit terdapat sanak kadang serta tidak sedikit kekayaan yang ditinggalkan sang ayah, kalau dibandingkan dengan nasib pemuda di depannya ini dirinya masih boleh dikatakan jauh lebih beruntung.
Begitulah mereka saling diam sejenak, kemudian pelahan2 Wanyen Peng tarik tangannya dari betis orang, hanya masih membiarkan digenggam Nyo Ko.
"Dan cara bagaimana lagi kau berhasil melatih ilmu silat seperti sekarang ini? Dan kenapa menjadi perwira Mongol pula?" tanyanya dengan lirih.
"Aku bukan perwira MongoI," sahut Nyo Ko. "Aku sengaja pakai baju bangsa Mongol, sebabnya hendak menghindari pencarian seorang musuh."
"Bagus kalau begitu ?" kata Wanyen Peng tiba2 dengan girang.
"Kenapa bagus?" Nyo Ko bingung.
Sedikit merah muka Wanyen Peng. "Bangsa Mongol adalah musuh besar negara kami, dengan sendirinya aku mengharap kau bukan perwira mereka," sahutnya kemudian.
Hati Nyo Ko terguncang sambil genggam tangan si gadis yang halus dan lunak itu.
"Moaycu, jika aku adalah perwira Mongol, lalu bagaimana perasaanmu terhadapku?" tanya Nyo Ko tiba-tiba.
Sejak mula Wanyen Peng melihat tampan Nyo Ko yang gagah dan ilmu silatnya tinggi, memangnya ia sudah suka, belakangan mendengar lagi kisah hidupnya yang mengharukan itu, hal ini lebih menambah rasa kasihannya, maka iapun tidak menjadi marah meski mendengar kata2 Nyo Ko tadi rada blak-blakan.
"Jika ayahku masih hidup, apa yang kau inginkan tentu akan menjadi mudah, tetapi kini ayah-bundaku sudah tiada semua, apalagi yang dapat kukatakan?" sahutnya kemudian dengan menghela napas.
Mendengar lagu suara orang lemah Iembut, si Nyo Ko menjadi dapat hati, ia berani ulur tangannya buat memegang pundak orang.
"Moaycu, bolehkah kumohon sesuatu," rayu-nya dengan bisik2.
Ber-debar2 hati si gadis, sudah beberapa bagian dapat diduganya apa yang dikehendaki Nyo Ko.
"Hal apa?" sahutnya rendah.
"Aku mohon diperkenankan mencium matamu ! Ya, mata saja, yang lain2 tak nanti aku melanggarnya," kata Nyo Ko.
Semula Wanyen Peng menyangka tentu si Nyo Ko hendak meminang dirinya, malahan ia kuatir juga jangan2 pemuda ini menjadi lupa daratan dan main kasar terus melakukan perbuatan2 yang tak senonoh di tempat terbuka ini, kalau sampai hal ini terjadi terang sekali dirinya tak bisa melawannya.
Siapa tahu orang hanya mohon mencium matanya, maka terasa lega sedikit baginya, namun entah mengapa, rasa dalam hatipun rada2 kecewa dan sedikit heran pula, sungguh perasaan yang sangat ruwet dan aneh.
Karena itu, dengan tercengang ia pandang Nyo Ko dengan kerlingan matanya yang basah2 sayu dan sedikit rasa malu.
Melihat kerlingan mata Wanyen Peng, tiba2 Nyo Ko teringat pada saat sebelum perpisahannya yang terakhir dengan Siao-Iiong-li, di mana Siao-liong-li pun pernah memandang padanya dengan kerlingan mata yang maIu2 dan mengandung arti yang dalam, Tak tertahan lagi ia menjerit orangnya pun melompat bangun.
Tentu saja Wanyen Pcng kaget oleh kelakuan si Nyo Ko itu, ingin dia tanya oleh sebab apa, namun sukar membuka mulut rasanya.
Dalam pikiran yang kacau itu, Nyo Ko merasa kerlingan mata di depannya itu adalah kerlingan mata Siao-liong-li melulu.
Dahulu waktu pertama kali ia melihat kerlingan mata seperti demikian ini, saat itu ia masih hijau pelonco dan sama sekali tak mengarti arti kerlingan mata demikian itu, tetapi sejak ia turun gunung, sesudah berkumpul beberapa hari dengan Liok Bu-siang, pula hari ini bergaul dengan Wanyen Peng, maka mendadak jadi teringat olehnya maksud baik dan cinta halus dari Siao-liong-li dahulu, semua itu baru dia pahami sekarang.
Keruan ia menyesal tidak kepalang, bisa2 kepalanya hendak ditumbukkan saja ke batang pohon di sampingnya biar mati sekalian "Begitu tulus cinta Kokoh padaku, pula ia sudah bilang hendak menjadi isteriku, tetapi aku telah kecewakan maksud baiknya itu, sekarang ke mana harus kucari dia?" demikian terpikir olehnya.
Karena itu, mendadak ia menjerit sekali lagi, tiba2 Wanyen Peng ditubruknya dan dipeluk ken-cang2, dengan bernapsu kelopak mata si gadis di-ciumnya.
Melihat orang seperti kalap dan seperti gila Wanyen Peng terkejut tercampur girang, hendak meronta pun sukar karena didekap Nyo Ko dengan kencang, akhirnya iapun pejamkan matanya dan membiarkan orang mencium sepuasnya, terasa olehnya selalu kelopak matanya itu saja yang ke kanan dan ke kiri diciumi Nyo Ko, ia pikir orang ini meski kasar dan seperti gila, namun apa yang sudah dikatakannya tadi ternyata dapat dipercaya juga, sungguh aneh, sebab apakah melulu mata saja yang terus diciuminya?"
"Kokoh, Kokoh!" se-konyong2 didengarnya Nyo Ko ber-teriak2, suaranya penuh rasa hangat dan menggelora, tetapi terasa juga seperti sangat menderita.
Selagi Wanyen Peng hendak tanya siapa yang dipanggilnya itu, mendadak terdengar suara seorang perempuan berkata di belakang mereka: "Ma'af, kalian berdua!"
Nyo Ko dan Wanyen Peng sama2 kaget, segera tangan mereka yang saling genggam tadi terlepas kian melompat pergi, waktu mereka berpaling, maka tertampaklah di bawah pohon itu berdiri seorang gadis berbaju hijau yang dapat dikenali Nyo Ko sebagai orang yang beberapa kali mengirim berita serta menolong Liok Bu-siang itu."Berulang kali mendapat bantuanmu, budi ini tak nanti kulupakan," cepat Nyo Ko menyapa sambil memberi hormat.
Dengan laku sangat sopan gadis itu membalas hormat orang.
"Rupanya Nyo-ya sedang senang2 karena ada kenalan baru, tetapi apa masih ingat pada kawan lama yang pernah mengalami mati-hidup bersama itu?" begitu katanya.
"Kau maksudkan..."
"Li Bok-chiu guru bermurid tadi telah menawannya pergi!" potong gadis itu sebelum Nyo Ko selesai berkata.
Keruan Nyo Ko terkejut.
"Apa betul?" ia menegas dengan suara gemetar "Dia... dia ditawan ke mana?"
"Waktu kau sedang asyik-masyuk dengan nona ini, saat itulah nona Liok ditawan Li Bok-chiu," sahut gadis itu.
"Apa... apa tidak berhalangan atas dirinya?" tanya Nyo Ko pula.
"Untuk sementara rasanya tidak mengapa bagi keselamatannya," kata si gadis, "Nona Liok tetap mengatakan kitab pusakanya itu telah direbut oleh Kay-pang, maka Jik-lian-mo-tau itu telah giring dia pergi pada kaum pengemis itu, jiwanya sementara tak menjadi soal tetapi siksaan badan rasanya sukar dihindarkan."
Nyo Ko adalah seorang yang gampang terguncang, maka segera ia mengajak : "Marilah, lekas kita pergi menolongnya."
Siapa duga gadis itu hanya menggoyang kepala.
"Meski ilmu silat Nyo-ya tinggi, tapi rasanya masih bukan tandingan iblis itu," demikian sahutnya, "Mungkin jiwa kita hanya akan melayang percuma, sedang urusannya masih belum bisa ditolong,"
Walau dalam kegelapan, namun mata "Nyo- Ko sangat tajam seperti memandang benda di siang hari saja, maka wajah si gadis baju hijau ini dapat dilihatnya sangat jelek dan aneh luar biasa, otot daging di mukanya kaku tanpa bergerak sedikitpun seperti mayat hingga membikin seram orang yang memandangnya, Karena itu, Nyo Ko tak berani memandang lebih lama.
"Orang ini sangat baik terhadapku, tetapi aneh, mukanya kenapa terlahir begini rupa?" demikian pikirnya, Maka kemudian iapun bertanya: "Dapatkah mengetahui she dan nama nona? selamanya kita belum kenal, kenapa begitu mendapat perhatian nona?"
"Namaku tiada harganya buat di-sebut2, kelak Nyo-ya tentu akan tahu juga, kini yang paling penting yalah lekas berdaya-upaya buat menolong orang saja," sahut gadis itu.
Diwaktu berkata air mukanya sedikitpun tidak tampak perubahannya, kalau bukan mendengar suara keluar dari mulutnya, sungguh orang bisa menyangka dia adalah mayat hidup. Namun aneh juga, suaranya ternyata nyaring merdu menarik.
"Jika begitu, cara bagaimana menoIongnya, terserahlah pada keputusan nona, dengan hormat aku menurut petunjukmu saja," kata Nyo Ko kemudian.
"Nyo-ya hendaklah jangan sungkan2," sahut gadis itu. "Ilmu silatmu berpuluh kali lipat di atasku berpuluh kali lebih pintar juga dari padaku, pula usiamu lebih tua, dan seorang laki2 lagi, apa yang kau bilang baik tentunya baik, kedatanganku justru untuk terima perintahmu saja,"
Mendengar kata2 orang yang merendah dan menyenangkan ini, sungguh Nyo Ko menjadi senang sekali
"Kalau begitu, kita mengintilnya secara diam2 saja, kita mencari kesempatan baik untuk turun tangan," sahutnya kemudian sesudah berpikir.
"ltulah paling baik," kata si gadis, "Tetapi entah bagaimana pendapat nona Wanyen?"
Habis berkata, ia sendiri lantas menyingkir pergi dan membiarkan Nyo Ko berunding dengan Wanyen Peng.
"Moaycu. aku hendak pergi menolong seorang kawan, kelak saja kita bertemu puIa," demikian kata Nyo Ko pada gadis itu.
"Tidak, Nyo-toako, meski kepandaianku rendah, mungkin dapat juga aku memberi bantuan sekadarnya, biarlah aku ikut serta dengan kalian." sahut Wanyen Peng.
Memangnya Nyo Ko merasa berat kalau harus berpisah dengan dia, mendengar orang mau ikut, tentu saja ia amat girang.
"Bagus kalau begitu !" serunya senang.
Habis ini, dengan suara keras ia teriaki si gadis baju hijau tadi: "Nona, adik Wanyen Peng suka bantu kita dan ikut pergi menolong orang!"
"Wanyen-kohnio, kau adalah puteri bangsawan sebelum bertindak hendaklah kau suka pikir dahulu," dengan laku sangat hormat gadis baju hijau itu berkata pada Wanyen Peng, "Harus kau ketahui bahwa musuh yang akan kami hadapi ini kejam luar biasa, orang Kangouw memanggil dia Jik-lian Sian-cu, yalah mengumpamakan dia sekeji ular belang rantai, sungguh tidak mudah untuk menghadapinya,"
"Jangan cici berkata begitu, jangankan Nyo-toako ada budi padaku, apa yang menjadi urusannya adalah urusanku juga, walaupun seorang kawan seperti cici saja, aku Wanyen Peng pun ingin kenal Maka biarlah aku ikut pergi bersama cici, asal segalanya kita berlaku hati2" demikian sahut Wanyen Peng.
"Baik sekali kalau begitu," kata gadis itu dengan suara halus sambil tarik tangan Wanyen Peng, "Cici, umurmu lebih banyak dari padaku, boleh kau panggil aku Moaycu saja,"
Dalam keadaan gelap Wanyen Peng tak bisa melihat wajah orang yang sangat jelek itu, tetapi mendengar suaranya yang begitu merdu, tangannya yang menggenggam padanya terasa juga sangat halus dan lemas, maka disangkanya orang tentu gadis yang cantik moIek, dalam hati iapun sangat senang.
"Berapakah umurmu tahun ini?" ia tanya.
"Ah, tak perlu kita merecoki umur, paling perlu segera pergi menolong orang saja, bukankah begitu, Nyo-ya?" sahut gadis itu bersenyum.
"Ya, silakan nona menunjuk jalannya," kata Nyo Ko.
"Aku melihat mereka menuju ke arah tenggara, tentu pergi ke Hengcikoan," ujar gadis itu.
Segera mereka keluarkan Ginkang dan dengan cepat memburu ke arah tenggara.
Bahwa Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay yang dipelajari Nyo Ko itu terkenal karena Ginkang yang hebat dan boleh disebut nomor satu di seluruh kolong langit, hal ini tak perlu dijelaskan lagi. Sedang Wanyen Peng adalah anak murid Thi-cio-pang, dahulu pangcu atau pemimpin Thi-cio-pang yang bernama Kiu Jian-yim berjuluk "Thi-cio-cui-siang-biau" atau Telapak tangan besi me-layang2 di atas air, kalau bisa disebut "melayang di atas air", dengan sendirinya Ginkangnya pasti terhitung kelas satu juga.
Siapa tahu si gadis baju hijau itu, senantiasa cepat tidak, lambat pun tidak, tapi selalu mengintil di belakang Wanyen Peng. Kalau Wanyen Peng cepat, maka iapun cepat, jika lambat, iapun ikut lambat, jarak antara mereka selalu dipertahankan dua-tiga tindak.
Keruan Nyo Ko terperanjat "Anak murid dari aliran manakah nona ini? Kalau melihat Ginkangnya ini, tampaknya sudah di atasnya Wanyen Peng," demikian ia heran, Dan karena tak mau main menang2an dengan kedua nona itu, maka ia sengaja tertinggal saja di belakang.
Sampai hari sudah terang, gadis baju hijau itu keluarkan rangsum kering dan dibagikan kedua kawannya,
Melihat baju orang meski terbikin dari kain biasa saja, tapi potongannya sangat serasi dengan perawakan pemakainya, pula perbekalannya seperti rangsum kering, botol air dan sebagainya diatur secara begitu baik, semua ini menunjukkan ketelitian seorang gadis yang rajin.
Di lain pihak, ketika Wanyen Peng melihat wajah orang begitu aneh, ia menjadi tak berani-memandang lebih jauh. "Di dunia ini kenapa ada wanita bermuka sejelek ini?"
"Nyo-ya Li Bok-chiu itu kenal padamu, bukan?" kata gadis baju hijau itu sesudah menunggu kedua orang habis makan.
"Ya, beberapa kali ia pernah bertemu dengan aku," sahut Nyo Ko.
Gadis itu mengeluarkan sehelai benda tipis seperti kain sutera, lalu berkata pula pada Nyo Ko: "lni adalah topeng kulit manusia, sesudah kau pakai, tentu dia tak kenal kau lagi."
Waktu Nyo Ko periksa topeng itu, ia lihat di atasnya ada lubang2 tempat mata, mulut dan hidung, bila dipakai maka topeng ini bagaikan karet saja mencetak muka si pemakainya dengan persis seperti wajah asli, tentu saja Nyo Ko sangat girang dan menghaturkan terima kasih.
Melihat wajah Nyo Ko seketika berubah menjadi jelek luar biasa setelah memakai topeng itu, barulah kini Wanyen Peng sadar."Ah, Moaycu, kiranya kaupun memakai topeng seperti ini, sungguh aku sangat goblok, aku mengira wajahmu memang terlahir begitu aneh," demikian katanya pada gadis baju hijau.
"Muka Nyo-ya yang ganteng dan bagus ini, sesungguhnya sayang dan merendah dirinya saja bila pakai topeng ini," sahut gadis baju hijau, "Mengenai diriku, memangnya mukaku adalah begini, pakai topeng atau tidak serupa saja."
"Ah, aku tak percaya," ujar Wanyen Peng. "Moaycu, maukah kau copot topengmu dan unjukkan muka aslimu ?"
Dalam herannya Nyo Ko pun ingin tahu wajah asli si gadis itu, namun permintaan itu ternyata ditolak.
"Jangan, mukaku yang jelek ini mungkin akan bikin kalian kaget," sahut gadis itu."
Melihat orang berkeras tak mau perlihatkan mukanya, terpaksa Wanyen Peng sudahi permintaannya.
Pada waktu lohor, mereka bertiga sudah sampai di kota Bukoan, mereka masuk ke atas loteng sebuah restoran untuk mengisi perut.
Melihat Nyo Ko berdandan sebagai perwira Mongol, pengurus restoran itu tak berani ayal dan cepat memberi pelayanan.
Tetapi baru setengah jalan mereka bersantap, ketika kerai pintu tersingkap, tiba2 masuk pula tiga wanita yang bukan lain daripada Li Bok-chiu dan Ang Ling-po yang menggiring Liok Bu-siang.
Nyo Ko sangat cerdik, ia tahu meski saat itu Li Bok-chiu tak kenali dirinya, namun mukanya yang aneh karena memakai topeng tentu akan menimbulkan rasa curiga orang, karena itu segera ia berpaling ke jurusan lain sambil menjumpit nasi terus, ia hanya pasang kuping tajam2 untuk mendengarkan percakapan mereka.
Siapa tahu sama sekali Bu-siang tidak buka suara, bahkan Li Bok-chiu berdua pun tidak bicara sehabis pesan daharan seperlunya,
Nampak orang yang mereka cari sudah berada di depan mata, Wanyen Peng gunakan sumpitnya dan mencelup ujung sumpit pada air kuwah, lalu ia corat-coret beberapa huruf di atas meja dengan maksud: "turun tangan tidak?"
Nyo Ko diam2 sedang memikir: "Dengan kekuatan kami bertiga, ditambah lagi dengan "bini cilik", rasanya masih susah melawan mereka guru dan murid berdua, urusan ini hanya bisa dimenangkan dengan akal dan tak mungkin dengan kekerasan."
Oleh sebab itu, ia goyangi sumpitnya pelahan-lahan sebagai tanda "jangan".
Li Bok-chiu juga orang cerdik, sesudah berada, di loteng restoran itu, ia lihat sorot mata Bu-siang seperti bersinar harapan, tentu saja ia merasa heran hingga tiada hentinya Wanyen Peng bertiga di-diincar olehnya.
Tapi Nyo Ko duduk mungkur dan tidak bergerak sedikitpun maka tiada sesuatu tanda yang menimbulkan curiganya.
Begitulah sedang kedua belah pihak sama2 menantikan kesempatan baik, tiba2 suara tangga loteng berbunyi, kembali orang masuk pula ke situ.
Waktu Wanyen Peng melirik, ia lihat yang datang adalah Yali Ce dan Yali Yen kakak beradik.
Ketika nampak Wanyen Peng juga berada di situ, kedua orang itu rada terperanjat, tetapi sesudah memanggut, lalu mereka mengambil tempat duduknya sendiri.
Diam2 Li Bok-chiu sangat kagum terhadap sepasang muda-mudi yang ganteng dan cantik itu, ia menyangka orang adalah suami isteri, tak tahunya hanya saudara saja.
Kiranya setelah peristiwa Wanyen Peng mencari balas pada ayahnya, Yali Ce menduga si gadis tak berani datang lagi, maka bersama adik perempuannya, Yali Yen, mereka pesiar keluar untuk menikmati keindahan alam daerah Kanglam ini, disini pula bertemu dengan Wanyen Peng, tentu saja mereka bertambah lega meninggalkan ayah mereka.
Sementara itu karena "Ngo-tok-pit-toan" atau "Kitab Panca-bisa" yang tercuri itu disangkanya terjatuh di tangan orang Kay-pang, Li Bok-chiu sedang masgul, dalam beberapa hari ini boleh dikatakan tak doyan makan dan tak nyenyak tidur, oleh karenanya, baru setengah mangkok bakmi yang dia pesan itu dimakan, kemudian ia taruh sumpitnya dan memandang iseng keluar restoran itu.
Tiba2 tertampak olehnya di simpang jalan sana berdiri sejajar dua pengemis, pada punggung mereka masing2 menggendong tujuh buah kantong kain, nyata mereka adalah "Chit-te-tecu" atau anak murid berkantong tujuh dari Kay-pang.
Dalam pada itu muncul lagi satu pengemis yang lain, dengan ter-gesa2 pengemis belakangan ini mendekati kedua kawannya dan bisik2 sejenak, habis itu dengan langkah cepat lantas pergi lagi.
Ter gerak pikiran Li Bok-chiu, tiba2 ia memanggil kedua pengemis itu melalui jendela loteng: "Kedua Enghiong dari Kay-pang, silakan naik ke atas sini, ada sesuatu yang ingin kuminta tolong kalian sampaikan pada pangcu perkumpulanmu."
Li Bok-chiu tahu kalau memanggil orang begitu saja pasti kedua pengemis itu tak mau gubris padanya, tapi kalau bilang ada pesan untuk pangcu mereka, sekalipun harus menghadapi bahaya betapapun besarnya pasti anak murid Kay-pang itu akan datang padanya.
Karena mendengar gurunya memanggil orang dari Kay-pang yang diduga tentu hendak ditanyai kemana dibawanya kitab "panca-bisa", tanpa tertahan lagi muka Liok Bu-siang menjadi pucat, ia insaf sekali ini kebohongannya pasti akan terbongkar.
Di sebelah sana Yali Ce juga sedang merasa heran oleh kelakuan Li Bok-chiu. ia kenal nama Kay-pang yang pengaruhnya sangat besar di daerah utara, tetapi satu Tokoh setengah umur yang biasa seperti ini ternyata bilang ada sesuatu pesan hendak disampaikan pada Pangcu mereka itu, ia menjadi tertarik untuk mengetahui macam apakah diri si To-koh ini maka ia berhenti minum araknya, ia melirik dan memperhatikan gerak-gerik orang.
Selang tak lama, naiklah kedua pengemis yang dipanggil tadi, mereka memberi hormat pada Li Bok-chiu dan menanya: "Ada pesan apakah Sian-koh, tentu akan kami sampaikan,"
Sesudah berdiri tegak, salah satu pengemis itu melihat Liok Bu-siang berada bersama juga dengan imam wanita itu, keruan saja air mukanya seketika berubah.
Kiranya pengemis ini pernah ikut mencegat Bu-siang di tengah jalan dengan beberapa kawannya berkantong tujuh itu. Karena itu, cepat ia tarik pengemis satunya, keduanya lantas melompat ke dekat tangga, dengan sebelah telapak tangan berlindung di depan dada, mereka siap buat melayani musuh.
Li Bok-chiu tersenyum melihat kelakuan kedua pengemis itu.
"Coba kalian berdua melihat punggung tanganmu," dengan suara halus ia berkata.
Berbareng kedua pengemis itu memandang balik tangan mereka, maka terlihatlah setiap telapak tangan mereka masing2 telah tercetak sebuah cap tangan yang merah darah, nyata, entah dengan cara bagaimana, tahu 2 Li Bok-chiu telah unjuk pukulan saktinya: Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti panca bisa.
Cara turun tangan Li Bok-chiu bukan saja di luar tahu kedua pengemis itu, bahkan Nyo Ko dan Yali Ce juga tidak melihatnya dengan jelas.
"Kau... kau adalah Jik-Iian-sian-cu?" teriak kedua pengemis itu berbareng sesudah terkejut sejenak.
Li Bok-chiu tidak menjawab melainkan dengan pelahan ia tuang setengah cawan araknya, ia angkat cawannya, ketika jarinya menyentil, mendadak cawan arak itu terbang ke atas, isi cawan terus mancur turun lurus ke bawah.
Ketika Bok-chiu menengadah, setengah cawan arak itu masuk semua ke mulutnya tanpa menciprat keluar setetespun, Yang lebih aneh, cawan arak yang terbang disentil itu, tahu2 menyamber balik lagi ke tangannya sesudah berputar di udara.
Ternyata tenaga menyentil yang dipakai Li Bok-chiu begitu tepat, inilah ilmu kepandaian tertinggi dari cara menimpuk senjata rahasia, meski termasuk juga ilmu dari Ko-bong-pay, tapi Nyo Ko harus malu diri karena belum bisa memadai sang Supek dan masih jauh daripada sanggup "menyentil cawan dan menenggak arak" itu.
"Nah, bilanglah pada pangcu kalian," kata Li Bok-chiu kemudian sesudah unjuk ilmu saktinya tadi "bahwa Kay-pang kalian dengan aku orang she Li selamanya "air sungai tak menggenangi air sumur", selamanya akupun mengagumi kawan2 Kay-pang yang gagah perkasa, cuma sayang tiada kesempatan untuk bertemu dan minta petunjuk sungguh hal ini harus dibuat menyesal..."
"Enak saja kata2nya itu, tetapi kenapa tanpa sebab tiada alasan kau turun tangan keji kepada kami?" demikian pikir kedua pengemis itu sambil saling pandang.
"Kalian berdua sudah kena pukulanku Ngo-tok-sin-ciang, tapi hal ini tak perlu dibuat kuatir asal kitab yang direbut itu dikembalikan, tentu akan kusembuhkan kalian berdua," kata Li Bok chiu lagi setelah berhenti sejenak."Kitab apa?" tanya salah satu pengemis itu.
"Kalau diceritakan kitab itupun tak laku beberapa duit, jika perkumpulan kalian berkeras tak mau kembalikan, sebenarnya pun tidak menjadi soal," demikian sahut Bok-chiu dengan tertawa, "Cuma sebagai gantinya, terpaksa kuminta bayar dengan seribu jiwa pengemis goIonganmu."
Walaupun kedua pengemis itu masih belum merasakan tangan mereka ada tanda2 aneh, tapi tiap2 Li Bok-chiu berkata, tanpa tertahan mereka pun memandang ke tangan yang terpukul itu, saking jerinya terhadap Jik-lian-sin-ciang yang maha kesohor karena kejinya itu, dalam bayangan kedua pengemis itu se-akan2 merasakan tanda merah di telapak tangan mereka peIahan2 sedang meluas.
Kini mendengar lagi Li Bok-chiu bilang hendak minta ganti seribu jiwa kawan mereka, mereka pikir tiada jalan lain kecuali lekas2 kembali melapor pada Pangcu. Maka setelah saling memberi tanda, segera mereka berlari turun ke bawah.
Nampak orang melarikan diri, Li Bok-chiu pikir: "Kalian sudah terkena aku punya pukulan maut, di jagat ini kecuali It-ting Taysu tiada lagi yang mampu mengobati, jika Pangcu kalian inginkan jiwa kalian tentu dia akan menurut dan serahkan Ngo-tok-pit-toan padaku. Tapi, nah, celaka, kalau mereka menyalin kitab itu dan kitab aslinya baru dikembalikan padaku, bukankah aku kena ditipu mentah2?"
Segera ia berpikir pula: "Memang celaka, padahal segala macam cara memunahkan racun pukulan dan senjata rahasia, semuanya sudah kutulis di dalam kitab itu dengan jelas, kalau mereka sudah dapat memiliki kitab itu, buat apa mereka datang memohon pertolonganku?"
Teringat akan itu, tanpa terasa mukanya menjadi pucat, begitu tubuhnya melesat, tahu2 ia mencelat dan menghadang di tengah tangga di depan kedua pengemis yang sedang melarikan diri itu.
Begitu kedua tangannya bekerja, susul menyusul dua kali pukulan telah paksa kedua pengemis itu balik lagi ke atas loteng.
Tindakan Li Bok-chiu ternyata cepat luat biasa, hanya terlihat bayangannya berkelebat tahu2 sebelah lengan salah satu pengemis sudah dia pegang terus ditekuk sekuatnya, maka terdengarlah suara gemelutuk, tulang lengan orang sudah patah hingga tangannya melambai ke bawah dengan lemas.
Tentu saja pengemis yang lain sangat kaget, tetapi disinilah terbukti betapa setia kawan antara kaum pengemis itu, bukannya dia melarikan diri, sebaliknya ia menubruk maju untuk melindungi kawannya yang terluka, ketika melihat Li Bok-chiu merangsak maju lagi, kontan iapun mendahului memukul.
Tak terduga, kembali tangan Li Bok-chiu bergerak pelahan, kepalan si pengemis yang memukul ini kena ditangkapnya dan sekalian pula ditekuk, maka tulang lengannya segera senasib dengan kawannya, kena dipatahkan lagi.
Hanya sekali gebrak saja kedua pengemis itu sudah dihajar Li Bok-chiu hingga luka parah, maka insaflah mereka bahwa hari ini mereka tentu celaka, namun demikian, mereka tidak menyerah mentah2, dengan punggung menempel punggung mereka berdempetan satu sama lain dan dengan sebelah tangan masing2 yang masih sehat itu siap menempur musuh.
"Kalian berdua baiknya tinggal di sini dulu, tunggu saja Pangcu kalian datang sendiri dengan membawa kitabku itu untuk tukar menukar," terdengar Li Bok-chiu berkata dengan lembut.
Melihat orang habis berkata terus kembali ke mejanya buat minum arak, malahan duduknya mungkur ke arah mereka, maka kedua pengemis itu menggeser pelahan ke tepi tangga dengan maksud kalau ada kesempatan terus hendak kabur. Tak terduga mendadak Li Bok-chu berpaling.
"Tampaknya tulang kaki kalian berdua harus dipatahkan juga, dengan begitu baru kalian kerasan tinggal di sini." katanya dengan tersenyum, sembari berkata iapun berdirilah.
"Suhu, biarlah aku, menjaga mereka, tak nanti mereka bisa kabur," tukas Ang Ling-po trba2. Rupanya ia tak tega juga melihat kekejian sang guru.
"Hm, bajik juga hatimu," jengek Li Bok-chiu, pelahan2 ia masih terus mendekati kedua pengemis itu.
Saking murkanya mata kedua pengemis itu merah berapi, mereka sudah ambil keputusan tiada jalan lain daripada adu jiwa dengan musuh.
Sejak tadi Yali Ce kakak beradik hanya menonton dengan tenang, watak mereka berdua sebenarnya sangat keras, kini tak tahan lagi, serentak mereka berdiri.
"Sam-moay, lekas kau pergi, perempuan ini terlalu lihay," dengan suara pelahan Yali Ce pesan adiknya.
"Dan kao?" tanya Yali Yen.
"Sesudah tolong kedua pengemis ini, segera aku melarikan diri," sahut Yali Ce.
Biasanya Yali Yen menjunjung sang kakak ini bagai malaikat dewata, tetapi kini mendengar orangpun nanti akan selamatkan diri dalam hati si gadis menjadi ragu-ragu.
Pada saat itulah, dengan keras mendadak Nyo Ko gebrak meja, lalu didekatnya Yali Ce.
"Yali-heng (saudara Yali), marilah kita turun tangan bersama untuk menolong orang, bagaimana?" ajak Nyo Ko.
Melihat Nyo Ko mengenakan pakaian Mongol dan mukanya sangat jelek, Yali Ce merasa belum pernah kenal orang demikian ini, ia pikir kalau orang berada bersama Wanyen Peng, tentu saja kenal siapakah dirinya.
Tetapi ilmu silat Li Bok-chiu sudah dia saksikan tadi, ia yakin tak bisa menandinginya, kalau sembarangan turun tangan, itu berarti antar jiwa belaka, oleh karena itu, seketika ia ragu2 tak menjawab ajakan Nyo Ko tadi.
Di lain pihak demi mendengar Nyo Ko membuka suara, segera Li Bok-chiu mengamat-amati si pemuda dari kepala sampai ke kaki dan sebaliknya, ia merasa lagu suara orang sudah dikenalnya entah dimana.

Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali - Chin YungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang