Jilid 5

4.7K 54 1
                                    

4. PEMUDA PENGGEMBALA ULAR.

Hari itu mereka tiba di kabupaten Ouwciu, Kwa Tin-ok mengajak Kwe Hu bermalam di rumah seorang petani, maklum sudah tua, gampang capai sehingga tidurnya teramat nyenyak, di luar tahunya pagi-pagi benar Kwe Hu sudah membawa kedua ekor rajawali itu keluyuran di luar. Memang kebetulan juga, secara tidak terduga ia berhasil menolong Bu Siu-bun dari terkaman harimau buas.

Begitulah setelah beberapa gebrakan melawan Li Bok-chiu, Kwa Tin-ok tahu bahwa dirinya bu kan tandingan orang, segera ia kembangkan ilmu permainan tongkat, Hok-mo-tiang-hoat, dengan rapat ia mempertahankan diri

Diam2 Li Bok-chiu memuji dalam hati: "Tua bangka ini dikenal sebagai pentolan Kang-lam chit-koay, kiranya tidak bernama kosong, matanya buta kakinya pincang, sudah tua dan tenaga lemah lagi, namun masih kuat melawan puluhan jurus seranganku."

Didengarnya Liok Lip-ting dan isterinya ber-kaok2 sedang memburu datang bersama Bu Sam-nio, diam2 ia berkeputusan: "Kabarnya tua bangka ini adalah guru Kwe Ceng, Kwe-tayhiap, jangan aku sampai melukainya, kalau sampai Kwe Ceng suami isteri mencari perkara padaku, tentu akan serba menyulitkan, biarlah hari ini aku memberi kelonggaran kepadanya."
Segera kebutnya bergerak, ujung kebut mendadak tegak kaku, seperti ujung sebuah tombak terus didorong menusuk ke dada Kwa Tin-ok. Meski kebut itu terdiri dan benda2 lemas, namun dengan Lwekangnya yang hebat, daya tusukan ini sungguh luar biasa.

Lekas Kwa Tin-ok ketukan tongkat besinya ke tanah, badannya lantas tertolak mundur ke belakang beberapa langkah, Li Bok-chiu maju se-tapak, agaknya seperti hendak mengejar dan menyerang, siapa tahu se-konyong2 badannya mendorong ke belakang, pinggangnya lemas gemulai se-olah2 tidak bertulang, tahu2 pundaknya hanya terpaut satu dua kaki di depan Bu Sam-nio.

Keruan Bu Sam-nio kaget, lekas ia lancarkan ilmu It-yang-ci, ia menutuk ke jidat orang, Sayang ilmunya ini belum mencapai tingkat tinggi, gerak geriknya kurang cekatan dan cepat, begitu pinggang li Bok-chiu meliuk, se-olah2 setangkai bunga teratai yang tertiup angin, tahu2 ia sudah menggeliat ke samping, malah "plak", tahu2 perut Liok-toanio terkena sekali gablokannya.
Jik-lian-sin-ciang Li Bok-chiu sudah termasyhur dan menggetarkan setiap jago persilatan, kontan Liok-toanio roboh terguling, Liok Lip-ting tidak lagi menghiraukan keselamatan jiwa sendiri, golok segera ia timpukan ke arah Li Bok-chiu, berbareng ia pentang kedua tangannya menubruk maju hendak memeluk pinggang orang untuk mengadu jiwa,
sebagai perawan suci bersih, karena patah hati perangai Li Bok-chiu berubah sadis dan tidak kenal kasihan lagi, terutama ia amat membenci hubungan asmara muda mudi, kini melihat Liok Lip-ting hendak memeluk badannya, terlihat raut mukanya lapat2 rada mirip ayahnya diwaktu muda dulu, rasa bencinya semakin berkobar, setelah ia pukul jatuh golok orang dengan kebutnya, sekali ayun pula, "sret", telak sekali kebutnya memukul batok kepala Liok Lip-ting. Kasihan Liok Lip-ting yang membekal ilmu silat warisan keluarga yang tinggi, selama hidup tidak pernah menanam permusuhan dengan orang lain, tak nyana hari ini dia terjungkal habis-habisan.
Beruntun ia melukai Liok Lip-ting suami istri, kejadian berlangsung dalam waktu yang amat pendek Kwa Tin-ok dan Bu- Sam-nio berusaha meno-long, namun terlambat.
Li Bok-chin, serunya: "Dimana" kedua bocah perempuan itu ?"
Tanpa menanti jawaban, bayangan berkelebat langsung ia melesat masuk ke dalarn perkampungan dalam sekejap saja ia sudah periksa setiap pelosok rumah, namun tidak kelihatan bayangan Thia Eng dan Liok Bu-siang. Dari tungku di dapur ia mengambil api terus menyulutnya di-gudang kayu bakar, tak lama kemudian dia sudah berlari keluar pula, katanya dengan tersenyum: "Dengan Tho-hoa-to dan It-teng Taysu aku tidak bermusuhan kalian silahkan pergi saja !"
Kwa Tin-ok dan Bu Sam-nio terhitung golongan pendekar, mereka menyaksikan orang meng-ganas panta dapat berbuat banyak, keruan gusar mereka bukan kepalang, sebatang tongkat dan sebilah pedang serempak menubruk maju pula, Li Bok-chiu bergerak lincah seperti kupu2 menari, ia miringkan badan menghindari sambaran tongkat besi, sementara kebutnya terayun membelit pedang Bu Sam-nio, tenaga dalam tersalur melalui ujung kebutnya, sekali tarik dan dorong pula, terdengar "pletak !", pedang itu putus menjadi dua potong, ujung pedang melesat ke arah Bu Sam-nio, sementara gagang pedang menyamber ke muka Kwa Tin-ok.
Bahwa pedangnya terkebut lawan Bu Sam-nio sudah amat kaget, di luar dugaan orang dapat mematahkan pedangnya dengan kebut yang lemas saja untuk menyerang dirinya pula, kutungan pedang itu melesat cepat, lekas ia menunduk kepala untuk berkelit, terasa kepala menjadi dingin dan silir, ujung pedang menyamber lewat memotong sebagian gelungan rambutnya.
Dilain pihak, mendengar samberan angin ke-keras, ujung tongkat Kwa Tin-ok sapukan ke depan untuk menyampuk gagang pedang itu ke samping, didengarnya Bu Sam-nio menjerit kaget. dan ketakutan, lekas ia putar tongkatnya hingga menderu kencang dan merangsak maju, sebetulnya tangan kirinya sudah menggenggam senjata rahasia, tapi ia tahu Ping-pok-ciau milik Jik-lian-sian-cu amat ganas dan keji, mata sendiri tidak bisa melihat, jangan2 malah memancing orang mengeluarkan jarumnya yang berbisa itu, sudah tentu dirinya tidak akan mampu melawan, oleh karena itu meski situasi sangat gawat, ia tidak berani sembarangan menimpukkan senjata rahasianya.
Sejak mula Li Bok-chiu selalu memberi kelonggaran kepadanya, pikirnya: "Kalau tidak ku unjuk kelihaianku yang sejati, tua bangka ini tentu tidak tahu aku sengaja mengalah kepadanya." Ujung kebutnya segera membelit ujung tongkat orang, Kontan (Kwa Tin-ok merasa segulung tenaga hebat membetot tongkatnya, lekas ia, kerahkan tenaga untuk menarik balik, siapa tahu baru saja tenaganya tersalur ke ujung tongkat, mendadak" kekuatan betotan kebut musuh sirna tanpa bekas, seketika ia merasakan kaki tangan menjadi lemas se-olah2 kosong melompong tak kuasa mengerahkan tenaga lagi.Sedikit menggerakkan tangan kirinya Li Bok-chiu sendal tongkat orang ke samping, telapak tangannya hanya satu dua dim saja di depan dada Kwa Tin-ok, katanya tertawa: "Kwa-loyacu, Jik-lian-sin-ciang sudah mengusap di depan dadamu lho!"

Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali - Chin YungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang