Jilid 26

2.7K 41 0
                                    

Betapapun lihaynya Kim-lun Hoat-ong juga tidak berani menahan samberan batu sebesar itu, cepat ia melompat ke samping. Tak terduga, tiba2 Nimo Singh juga ikut melayang maju, batu itu dapat disusulnya, kedua tangannya mendadak menghantam batu sehingga batu itu menggeser arah dan memburu ke jurusan Hoat-ong.

Daya samberan batu itu adalah sisa lemparan pertama ditambah lagi tenaga dorongan kedua kalinya sebab itu lebih hebat daripada samberan pertama kali tadi.

Bicara tentang ilmu silat sejati sebenarnya Kim-lun Hoat-ong memang di atas Nimo Singh, cuma tenaga raksasa melempar batu yang disebut "Sikya-hiat-siang-kang" (llmu Budha melempar gajah) ini memang luar biasa dan belum pernah dilihatnya seketika ia menjadi kelabakan, terpaksa ia melompat berkelit pula ketika batu itu menyambar tiba.
Selagi menang segera Nimo Singh mendesak lagi lebih lanjut, ber-kali2 ia hantam batu itu sehingga daya sambernya bertambah hebat.
Hoat-ong pikir kalau pertarungan begitu terus, akhirnya dia pasti akan dikalahkan orang keling cebol itu kalau tidak lekas berdaya lain.
Begitulah sambil bertempur iapun memikirkan upaya cara berganti serangan untuk memperoleh kemenangan. Pada saat itulah tiba2 terdengar suara derapan kuda yang riuh disusul dengan panji2 yang berkibar, serombongan orang berkuda tampak muncul di tempat ketinggian sana.
Nimo Singh dan Kim-lun Hoat-ong sedang bertarung dengan sengit dan tidak sempat memandang ke sana, tapi Nyo Ko dan lain2 sudah dapat melihat jelas rombongan itu adalah sepasukan tentera MongoI yang tangkas, di bawah panji besar yang berkibar itu berdiri seorang perwira muda berjubah kuning dan membawa busur.
"Hei, berhenti, berhenti!" mendadak perwira itu berseru sambil melarikan kudanya ke kalangan pertempuran Hoat-ong berdua. Siapa lagi dia kalau bukan pangeran Mongol, Kubilai.
Mendengar suara itu, Nimo Singh melompat maju lagi dan menghantam batu padas dengan kedua tangannya batu itu terus melayang ke sana dan jatuh ke bawah bukit dengan menerbitkan suara gemuruh.
Kubilai melompat turun dari kudanya, sebelah tangannya menarik Hoat-ong dan tangan lain menggandeng Nimo Singh, katanya dengan tertawa: "Kiranya kalian sedang berlatih di sini, sungguh banyak menambah pengalamanku akan kelihaian kalian."
Sudah tentu ia tahu kedua orang itu sedang bertempur mati2an, tapi demi kehormatan kedua pihak, ia sengaja melerai.
"llmu silat saudara Singh sungguh hebat, bagus, bagus!" ujar Hoat-ong dengan tersenyum.
Dengan mendelik Nimo Singh menjawab: "Memangnya kukira Koksu nomer satu pasti luar biasa, kiranya cuma begini saja,Hm!"
Hoat-ong menjadi gusar dan segera akan menanggapi pula, tapi Kubilai telah menyela: " Wah, pemandangan di sini sungguh indah, harus di ramaikan dengan minum arak, Hayo, bawakan arak nya, biar kita minum tiga cawan bersama!"
Bangsa MongoI sudah biasa berkenalan di padang Iuas, makan minum di manapun tidak menjadi soal, Segera ada pengawal menghaturkan arak dan dendeng.
Kubilai memandang sekejap ke arah Siao-liong li, diam2 ia terkesiap akan kecantikannya, Melihat Nyo Ko berdiri sejajar dengan si nona dengan bergandengan tangan, tampaknya sangat mesra, segera ia tanya Nyo Ko: "Siapakah nona ini?"
"lnilah nona Liong, guruku dan bakal isteriku," jawab Nyo Ko. Sejak pergulatan dengan maut di gua bawah tanah dan akhirnya selamat, maka watak Nyo Ko menjadi semakin nyentrik, segala tata adat tidak terpikir olehnya, ia justeru ingin mengumumkan kepada dunia bahwa: inilah Nyo Ko yang memperistrikan bekas gurunya.
Kalau bangsa Han memang sangat kolot dalam adat kekeluargaan, maka bangsa Mongol tidak begitu mementingkan tata adat begitu, sebab itulah Kubilai tidak merasa heran pada ucapan Nyo Ko, malahan bertambah rasa hormat dalam hatinya demi mendengar nona cantik itu pernah mengajarkan ilmu silat kepada Nyo Ko.
Dengan tertawa ia ber-kata: "Yang laki gagah dan yang perempuan caritik, sungguh pasangan yang setimpal Bagus, bagus! Marilah kita habiskan semangkuk arak ini sebagai ucapan selamatku!" - Habis berkata, ia angkat mangkuk arak sendiri dan ditenggak hingga habis.Kim-Iun Hoat-ong tersenyum, iapun habiskan mangkuknya. Dengan sendirinya yang lain2 juga ikut minum, malahan sekaligus Be Kong-co menghabiskan tiga mangkuk.
Sebenarnya Siao-liong-li tidak suka kepada orang Mongol, sekarang didengarnya pujian Kubilai bahwa perjodohannya dengan Nyo Ko setimpal, betapapun ia menjadi kegirangan dan ikut minum semangkuk arak sehingga semakin menambah moleknya. Pikirnya: "Orang Han semuanya menganggap aku tidak boleh menikah dengan Koji, tapi pangeran Mongol ini justeru menyatakan bagus, tampaknya pandanan orang Mongol jauh lebih luas daripada orang Han." Karena itu diam2 timbul hasratnya untuk membantu orang Mongol.
Dengan tertawa kemudian Kubilai berkata pula. "Kalian tidak pulang selama tiga hari, aku kuatir terjadi sesuatu. soalnya situasi di Siangyang cukup genting sehingga aku tidak dapat selalu mendampingi kalian, tapi sudah kutinggalkan pesan di markas agar kalian diharap segera menuju garis depan di Siangyang apabila kalian sudah pulang. Kebetulan sekarang kita bertemu di sini, sungguh hatiku sangat lega,"
"Apakah gempuran pasukan kita atas Siangyang cukup Iancar?" tanya Hoat-ong.
"Sebenarnya panglima yang menjaga Siangyang, yaitu Lu Bun-hoan adalah seorang bodoh, yang kukuatiri hanyalah Kwe Cing seorang saja," tutur Kubilai.
Hati Nyo Ko tcrkesiap, cepat ia bertanya: "jadi Kwe Cing memang berada di Siangyang? Kwe Cing ini adalah pembunuh ayahku, jika boleh, maka kumohon diberi tugas untuk membunuhnya,"
"Memangnya begitulah maksud tujuan undanganku kepada para ksatria." kata Kubilai dengan girang. "Cuma kabarnya ilmu silat Kwe Cing itu tergolong nomor satu di seluruh Tinggoan, banyak pula orang kosen yang membantunya, beberapa kali pahlawan yang kusuruh membunuhnya mengalami kegagalan, ada yang tertangkap dan ada yang terbunuh. Sudah tentu kupercaya pada ketangkasan saudara Nyo, tapi seorang diri terasa kurang kuat, maka maksudku kalau bisa para ksatria di sini sekaligus menyusup di Siangyang, dengan begitu kalian dapat turun tangan bersama. Asalkan orang she Kwe itu terbunuh, dengan mudah pula Siangyang akan dapat kita duduki."
Serentak Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain2 berdiri, kata mereka sambil menyilang tangan di depan dada. "Kami siap mengikuti semua perintah Ongya dan bertempur sekuat tenaga."
"Bagus, bagus!" seru Kubilai dengan girang, "Tak peduli siapa yang akan membunuh Kwe Cing nanti, yang pasti setiap orang yang ikut pergi juga berjasa, Hanya orang yang membunuhnya itulah akan kuusulkan kepada Sri Baginda agar diberi gelar dan diangkat menjadi jago nomor satu dari kerajaan Mongol Raya kita."
Gelar bangsawan sih tidak begitu menarik bagi Siao-siang-cu, Nimo Singh dan lain2, tapi sebutan "jago nomor satu kerajaan Monggol" adalah cita2 yang mereka harapkan, sebab dengan begitu namanya akan tersohor ke seluruh jagat
Maklumlah waktu itu kerajaan Mongol lagi jaya2nya, wilayah kekuasaannya sangat luas dan belum ada bandingannya dalam sejarah, kecuali benua barat, waktu itu dua pertiga wilayah Tiongkok juga telah didudukinya, sebagai ukuran luasnya wilayah pendudukan kerajaan Mongol waktu itu dapat dilukiskan: perjalanan dari pusat pemerintah kerajaan ke empat penjuru wilayah pendudukannya diperlukan tempo satu tahun sekalipun dengas kuda yang paling cepat.
Karena itulah dapat dibayangkan betapa membamggakan gelar "jago nomor satu" itu bagi setiap manusia. Semua orang menjadi tertarik dan bersemangat setelah mendengar janji Kubilai itu.
Hanya Siao-liong li saja yang memandangi Nyo Ko dengan rasa cinta yang tak terhingga, ia pikir sebutan dengan gelar bangsawan dan jago nomor satu segala, yang kuharapkan hanya semoga engkau dapat hidup terus.
BegituIah semua orang terus menenggak arak lagi beberapa mangkuk, lalu berangkat, Para Busu Mongol membawakan kuda dan Nyo Ko, Siao-Iiong li serta Kim-lun Hoat-ong dan lain2 sama naik ke atas kuda, mereka ikut di belakang Kubilai dan dilarikan cepat ke arah Siangyang.
Sepanjang jalan rumah penduduk hampir seluruhnya kosong melompong dan hangus terbakar, mayat bergelimpangan memenuhi jalan, Setiap berjumpa orang Han, tanpa kenal ampun prajurit Mongol melakukan pembunuhan.
Tidak kepalang gusar Nyo Ko menyaksikan idaman itu, ia ingin mencegah perbuatan kejam itu, tapi segan terhadap Kubilai. Diam2 ia hanya membatin: "Kawanan perajurit Mongol ini sungguh kejam dan menganggap bangsa Han kami lebih rendah daripada binatang. Nanti setelah kubunuh Kwe Cing dan Ui Yong, akupun akan membunuh beberapa perwira Mongol yang paling kejam untuk melampiaskan rasa dendamku."
Kuda tunggangan mereka adalah kuda peran Mongol pilihan, maka beberapa hari kemudian merekapun sampailah di luar kota Siangyang, Sementara itu pertempuran pasukan kedua pihak sudah berlangsung sebulan lebih, di medan peran penuh senjata rusak dan darah berceceran sudah membeku, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran.
Ketika pasukan Mongol diberitahu oleh kurir bahwa pangeran Kubilai datang sendiri di garis depan, para panglima perang segera menyambutnya. Kubilai menyatakan rasa penyesalannya karena kota Siang yang sudah sekian lama belum dapat diduduki, para panglima itu sama berlutut dan minta ampun, Kubilai terus keprak kudanya dan dilarikan ke depan dengan cepat. Para panglima itu tetap berlutut dan tidak berani bangun, semuanya merasa kebat-kebit.
Diam2 Nyo Ko sangat mengagumi wibawa Kubilai yang luar biasa itu, biasanya Kubilai sangat ramah tamah terhadap dirinya serta Kim-Iun Hoat-ong dan lain2, tapi menghadapi para panglimanya ternyata berubah menjadi sangat kereng dan disegani.
Sementara itu hari sudah terang, pasukan mendapatkan aba2 menyerang, seketika terjadilah hujan panah dan batu yang berhamburan ke benteng kota, menyusul tembok2 benteng banyak ditempeli tangga panjang, be-ramai2 perajurit Mongol berusaha manjat ke-atas benteng.
Akan tetapi penjagaan benteng juga kuat, beberapa perajurit Han memegangi kayu besar dan banyak tangga melangit itu didorong terpental dari tembok benteng.Akhirnya ada beberapa ratus perajurit berhasil menyerbu ke atas benteng, sorak-sorai pasukan Mongol menggelegar setiap Pek-hu-tiang (komandan seratus orang, setingkat kapten) Mongol memimpin pasukannya merayap ke atas sebagai bala bantuan.
Mendadak terdengar suara genderang dipukul keras, sepasukan pemanah kerajaan Song muncul di balik tembok sana dapat menahan majunya pasukan Mongol, menyusul sepasukan lain dengan obor be-ramai2 membakar tangga panjang sehingga perajurit Mongol yang sedang merayap ke atas benteng sama jatuh terjungkal ke bawah.
Suasana menjadi gaduh, di tengah pertempuran dahsyat itu, tiba2 di atas benteng muncul sepasukan Iaki2 gagah perkasa bersenjata golok, tombak dan pedang, serentak pasukan Mongol yang berhasil menyerbu ke aras benteng itu disergapnya.
Pasukan laki2 itu tidak memakai seragam pasukan Song ada yang berbaju hitam ringkas, ada yang berjubah panjang dengan warna yang berbeda, waktu bertempur juga tidak menuruti peraturan pasukan, namun semuanya sangat tangkas, jelas tiap2 orang itu memiliki ilmu silat yang terlatih.
Perajurit Mongol yang menyerbu ke atas benteng itu adalah perajurit pilihan yang sudah berpengalaman dan gagah berani, namun sama sekali bukan tandingan pasukan laki2 itu, hanya beberapa gebrakan saja satu persatu mereka dapat dikalahkan dan terbunuh, ada yang menggeletak di atas benteng, ada yang terlempar ke bawah benteng.
Di antara pasukan laki2 itu ada seorang setengah umur berjubah abu2 kelihatan paling tangkas, tanpa bersenjata, tapi berlari kian kemari tanpa.tandingan, di situ pula musuh tercerai berani laksana harimau menyerbu ke tengah kawanan domba.
Kubilai mengawasi sendiri pertempuran itu, melihat betapa gagahnya lelaki setengah tua itu, ia menjadi kesima, katanya dengan gegetun: "Siapa di antara jago2 di dunia ini ada yang lebih hebat daripada orang ini?"
Nyo Ko berdiri di samping Kubilai, ia lantas berkata: "Apakah Ongya tahu siapakah dia?"
"Apa mungkin dia ini Kwe Cing?" jawab Kubilai terkejut.
"Betul, memang dia," kata Nyo Ko.
Sementara itu beberapa ratus perajurit Mongol yang menyerbu ke atas benteng itu sudah terbunuh dan bersisa beberapa orang saja, hanya tiga orang Pik-hu-tiang dengan bertumbak dan membawa perisai masih terus bertempur dengan mati2an.
Ban-hu-tiang (komandan selaksa orang, setingkat kolonel) yang memimpin pertempuran di bawah benteng kuatir didamperat Kubilai, cepat ia memerintah agar meniupkan tanduk dan memberi aba2 penyerbuan lagi, serentak pasukan Mongol menyerang dengan gagah berani untuk menyelamatkan ketiga Pek-hu-tiang.
Mendadak Kwe Cing bersiul nyaring dan melangkah maju, ketika salah seorang Pek-hu-tiang menusuknya dengan tumbak, dengan tepat gagang tumbak kena dipegang Kwe Cing terus didorong ke depan, menyusul sebelah kakinya melayang dan tepat menendang pada perisai Pek-hu-tiang kedua, meski kedua Pek-hu-tiang itu sangat gagah, tapi sukar menahan tenaga sakti Kwe Cing, seketika keduanya mencelat terjungkal ke bawah benteng dan binasa dengan kepala pecah dan tubuh remuk.
Pek-hu-tiang ketiga berusia lebih tua, rambutnya sudah ubanan, iapun insaf dirinya tak terluput dari kematian, tapi sekuatnya ia putar goloknya dan menyerang dengan kalap, Se-konyong2 Kwe Cing menubruk maju, dengan tepat tangan lawan yang memegang golok itu kena dicengkeramnya, selagi ia hendak menyusuli dengan sekali hantaman untuk membinasakan Pek-hu-tiang itu, tiba2 ia melengak Pek-hu-tiang itupun dapat mengenali Kwi Cing cepat ia berseru: "He, engkau, Kim-to Hunji (menantu raja bergolok emas)!"
Kiranya Pek-hu-tiang ini adalah bekas anak buah Kwe Cing ketika dahulu Kwe Cing ikut Jengis Khan menyerbu ke wilayah barat Segera Kwe Cing turun dari kuda dan berlari mendekati benteng, mereka menarik busur dan membidikan dua panah ke arah Kwe Cing.
Kepandaian memanah kedua orang itu memang lihay, baru saja terdengar suara teriakan perajurit di atas benteng, tahu2 kedua panah itu sudah menyamber sampai di depan dada Kwe Cing, tampaknya sukar lagi bagi Kwe Cing untuk mengelak, tak terduga mendadak kedua tangan Kwe Cing meraih, satu tangan satu panah telah kena dipegangnya menyusul kedua panah itu berbaIik- disambit ke musuh..
Belum lagi kedua jago pengawal Mongol tadi melihat jelas apakah Kwe Cing jadi mati kena panah mereka atau tidak, mendadak kedua panah sudah menyamber tiba dan menembus dada mereka, kontan mereka binasa. serentak terdengarlah, suara sorak gemuruh pasukan Song di atas benteng disertai bunyi genderang yang ber-talu2 sebagai tanda kemenangan.
Kubilai menjadi kesal dan memimpin pasukannya mundur ke tempat yang diperintahkan tadi, ditengah jalan tiba2 Nyo Ko berkata: "Ongya tidak perlu masgul, biarlah sebentar Cayhe masuk ke kota sana untuk membunuh Kwe Cing."
"Tapi Kwe Cing itu serba lihay, namanya memang bukan omong kosong belaka, kurasa rencanamu hendak membunuhnya rada sukar," ujar Kubilai sambil menggeleng.
"Beberapa tahun pernah kutinggal di rumahnya, pula pernah menolong anggota keluarganya, dia pasti tidak curiga apapun padaku," kata Nyo Ko.
"Tadi kau berdiri di sampingku, mungkin sudah dilihat olehnya," kata Kubilai pula.
"Sebelumnya sudah kupikirkan hal ini, maka tadi aku dan nona Liong memakai topi lebar untuk menutupi muka dan pakai mantei bulu puIa, dia pasti pangling padaku," ujar Nyo Ko.
"Baiklah, jika begitu kuharap kau akan berhasil, tentang janji anugrah pasti kupenuhi" kata Kubilai.
Nyo Ko mengucapkan terima kasih, Baru saja ia hendak berangkat bersama Siao-b'ong-li, sekilas dilihatnya Kim-lun Hoat-ong, Siau~siang-cu dan lain2 menghunjuk rasa kurang senang, segera terpikir oleh Nyo Ko bahwa orang2 itu tentu kuatir kalau gelar "jago nomor satu" itu akan direbutnya karena berhasil membunuh Kwe Cing, untuk itu orang2 itu pasti akan menjegalnya supaya usahanya gagal. Maka Nyo Ko lantas berkata pula kepada Kubilai: "Ada sesuatu pula ingin kutegaskan kepada Yang Mulia."
"Urusan apa, katakan saja," jawab Kubilai.
"Maksudku membunuh Kwe Cing hanya demi membalas sakit hati pribadiku," tutur Nyo Ko. "selain itu juga kepalanya kuperlukan untuk menukar obat penolong jiwa Kokohku, Maka kalau usahaku berhasil berkat doa restu Ongya, namun gelar jago nomor satu itu sama sekali tak berani kuterima."
"Apa sebabnya? "tanya Kubilai heran.
"Betapapun kepandaianku belum dapat dibandingkan dengan tokoh2 yang hadir di sini ini, mana kuberani mengaku sebagai jago nomor satu?" kata Nyo Ko.
"Sebab itulah Ongya harus terima dulu permohonanku ini barulah kuberani melaksanakan tugas"
Karena Nyo Ko bicara dengan sungguh2 dan tegas, pula melihat sikap Siau-siang-cu dan yang lain itu, diam2 Kubilai juga dapat menerka apa yang menjadi pertimbangan anak muda itu, maka berkatalah dia: "Baiklah, setiap orang memang mempunyai cita2 sendiri, jika begitu kehendakmu akupun tidak ingin memaksakan."
Segera Nyo Ko memohon diri dan berangkat bersama Siao-liong-li. Ditengah jalan mereka membuang topi dan mantel bulu yang mereka pakai sehingga dandanan sekarang adalah bangsa.
Sampai dibawah benteng kota hari sudah menjelang magrib, terlihat pintu gerbang benteng tertutup rapat, di atas benteng satu regu prajurit sedang ronda kian kemari."
"Hei, aku bernama Nyo Ko dan ingin bertemu dengan Kwe~toaya, Kwe Cing," teriak Nyo Ko.
Ketika mendengar suaranya, perwira yang dinas jaga coba melongok ke bawah dan melihat Nyo Ko cuma bersama dengan seorang perempuan, ia percaya pasti bukan musuh yang sengaja hendak menyusup ke kota, segera ia melaporkan hal itu kepada Kwe Cing.
Tidak lama kemudian dua pemuda muncul diatas benteng dan melongok keluar, seorang lantas bersuara: "Oh, kiranya Nyo-toako, apakah cuma kalian berdua?"
Kiranya kedua pemuda itu adalah Bu Tun-it-dan Bu Siu-bun. Dengan tertawa Nyo Ko lantas meryawabr "Eh, kiranya Bu jiko, Apakah Kwe-pepek ada di situ?"
"Ada, silahkan masuk saja" Jawab Siu Bun.
Segera ia memberi perintah agar membukakan pintu benteng dan menurunkan jembatan untuk menyambut datangnya Nyo Ko dan Siao-liong li
Kedua saudara Bu membawa Nyo Ko ke sebuah rumah besar, dengan wajah berseri Kwe Cing menerima kedatangan mereka, lebih dulu Kwe Cing memberi hormat kepada Siao-liong-li lalu menarik tangan Nyo Ko, katanya dengan tertawa girang: "Ko-ji, kedatangan kalian sangat kebetuIan, Musuh sedang menyerang kota, kedatangan kalian berarti bantuan yang dapat diandalkan bagiku, sungguh bahagia sekali segenap penduduk kota ini."
Siao-liong-li adalah guru Nyo Ko, maka Kwe Cing menghormatinya sebagai angkatan yang sama dengan ramah ia menyilakan dia masuk kedalam rumah, terhadap Nyo Ko iapun sangat sayang dan menggandeng tangannya.
Ketika teringat bahwa orang yang menggandeng tangannya ini adalah pembunuh ayahnya, sungguh tidak kepalang gemas hati Nyo Ko, kalau bisa sekali tusuk akan dibinasakannya. Cuma jeri kepada kelihaian Kwe Cing, maka tidak berani sembarangan bergerak, dengan air mukanya yang gembira, iapun menanyakan kesehatan sang paman dan tidak lupa pula menanyakan Ui Yong.
Lantaran rasa dendamnya sebegitu jauh ia tidak memberi sembah hormat kepada Kwe Cing. Namun Kwe Cing memang orang baik, sedikitpun ia tidak memperhatikan tata adat begitu.
Sampai di ruangan besar, Nyo Ko hendak menemui Ui Yong ke dalam, namun Kwe Cing telah mencegahnya, katanya: "Bibimu sudah hampir melahirkan, beberapa hari akhir2 ini kesehatannya ada terganggu, boleh kau menemuinya lain hari saja."
Diam2 Nyo Ko bergirang, ia justeru kuatir akan kecerdikan Ui Yong, bukan mustahil maksud kedatangannya ini akan diketahuinya, kalau bibi itu sedang sakit, maka kebetulan baginya.
Tengah bicara, datanglah utusan panglima kota yaitu Lu Bun-hoan, yang mengundang Kwe Cing untuk menghadiri perjamuan merayakan kemenangan yang tadi.
Namun Kwe Cing telah menolak undangan itu dengan alasan dia sendiri lagi menerima tamu, sudah tentu utusan panglima itu sangat heran, dilihatnya usia Nyo Ko masih muda dan tiada sesuatu yang luar biasa, entah mengapa justru anak ini mendapat perhatian Kwe Cing sebesar itu sehingga menolak undangan sang panglima hanya untuk melayani anak muda itu, Terpaksa utusan itu pulang melaporkan hal itu kepada Lu Bun-hoan.
Kwe Cing lantas mengadakan perjamuan sederhana di rumah sendiri untuk merayakan kedatangan Nyo Ko dan Siao-liong-li, ikut hadir di meja perjamuan adalah Cu Cu-liu, Loh Yu-kah, kedua saudara Bu, Kwe Hu dan lainnya.
Ber-ulang2 Cu Cu-liu mengucapkan terima kasih pada Nyo Ko yang pernah menolongnya dgn memaki pangeran Hotu dari Mongol itu menyerahkan obar penawar sehingga Cu Cu-liu terbebas dari renggutan maut.
Sikap Kwe Hu ternyata tawar saja terhadap Nyo Ko, ia cuma memanggil sekali, lalu tidak bicara pula. Dalam perjamuan itu alis si nona kelihatan terkerot seperti dirundung suatu persoaIan. Kedua saudara Bu juga, selalu menghindari adu pandang dengan Nyo Ko, ketiga orang juga tidak berbicara sejak awal hingga berakhirnya perjamuan.
Sebaliknya Loh Yu-kah dan Cu Cu-liu sangat gembira ria dan. asyik ngobrol tentang kemenangan gemilang atas pasukan Mongol siangnya.Waktu perjamuan selesai, sementara itu sudah lewat tengah malam. Kwe Cing menyuruh Kwe Hu mengawani Siao liong-li tidur sekamar, ia sendiri menarik Nyo Ko untuk tidur bersama satu ranjang.
Ketika akan pergi Siao-liong-li sempat melirik sekejap pada Nyo Ko dan agar anak muda itu ber-hati2. Nyo Ko kuatir rahasianya diketahui orang, cepat ia berpaling dan tidak berani menatap Siao~liong-li
Kwe Cing menggandeng Nyo Ko ke kamar tidurnya, ber-ulang2 ia memuji anak muda itu melawan Kim-lun Hoat-ong di barisan batu2 itu dan berhasil menyelamatkan Ui Yong, Kwe Hu serta kedua saudara Bu. Habis itu ia lantas tanya pengalaman Nyo Ko setelah berpisah.
Teringat kejadian tempo hari, diam2 Nyo Ko menyesal telah menolong Ui Yong dengan matian apabila sudah mengetahui Ui Yong adalah musuhnya ia kuatir kalau banyak bicara mungkin rahasia tujuannya akan diketahui Kwe Cing, maka tentang pertemuannya dengan Thia Eng, Liok Bo-siang, Sah Kho dan Ui Yok-su tak diceritakannya, ia hanya mengaku merawat lukanya di pegunungan sunyi, kemudian bertemu dengan Kokoh, lalu bersama ke sini untuk mencari paman.
Sembari membuka baju dan mapan tidur, Kwe Cing berkata: "Ko-ji, saat ini musuh sudah berada di depan mata, keadaan Song Raya kita benar2 berbahaya, seperti telur di ujung tanduk. Siangyang adalah perisai bagi tanah air kita, kalau kota ini jatuh, mungkin ber-juta2 rakyat kita akan menjadi budak orang Mongol. Dengan mataku sendiri kulihat keganasan orang MongoI, sungguh darahku menjadi mendidih menyaksikan kekejaman musuh itu...."
Segera Nyo Ko teringat juga keganasan perajurit Mongol yang dilihatnya sepanjang perjalanan, saking gusarnya iapun mengertak gigi.
"Kaum kita belajar silat dengan sepenuh tenaga, walaupun tujuannya ingin berbuat kebajikan dan membela kaum kecil, namun ini hanya sebagian kecil saja daripada tugas kita yang sebenarnya," kata Kwe Cing pula, "Sebabnya orang Kangouw menyebut aku "Kwe-tayhiap", kukira bukan disebabkan kepandaianku yang tinggi melainkan menghormati diriku yang berjuang mati2an demi negara dan rakyat.
Namun aku sendiri merasa tenagaku seorang teramat kecil dan belum dapat membebaskan rakyat dari kesengsaraan sesungguhnya aku malu untuk disebut "Tayhiap", Kau masih muda, kepintaranmu dan kecerdasanmu berlipat ganda daripadaku, hari depanmu pasti cemerlang dan tentu jauh melebihi diriku. Hanya kuharap kau selalu ingat kepada pesanku ini: "Demi negara dan rakyat, itulah tugas utama kita", Semoga kelak namamu termashur dan menjadi seorang Tayhiap (pendekar besar) sejati yang dihormati segenap rakyat jelata.
Uraian Kwe Cing itu sangat mengena di lubuk hati Nyo Ko, dilihatnya Kwe Cing bicara dengan sungguh2, simpatik, tapi juga kereng, meski jelas dia adalah musuh yang membunuh ayahnya, tapi tanpa terasa timbul juga rasa hormat dan segannya. Segera ia menjawab: "Kwe-pepek, jika engkau sudah meninggal aku pasti akan ingat selalu perkataanmu ini."
Sudah tentu Kwe Cing tak mengira bahwa malam ini juga si Nyo Ko akan membunuhnya, dengan rasa sayang ia membelai kepala anak muda itu dan berkata pula "Ya, memang, berjuang sampai titik darah penghabisan kalau negara kita runtuh, jiwa pamanmu ini jelas juga takkan tertinggal lagi. Baiklah, sudah jauh malam, marilah tidur. Kabarnya Kubilai sangat pandai mengatur pasukan, kemunduran pasukannya tadi mungkin cuma siasat belaka, dalam beberapa hari ini pasti akan ada pertempuran dahsyat, kau perlu kumpulkan dan memupuk semangat untuk memperlihatkan segenap kepandaianmu di medan perang."
Nyo Ko mengiakan saja, lalu membuka baju dan mapan tidur. Belati yang dibawanya dari Coat-ceng-kok itu diam2 diselipkan nya di pinggang, ia pikir biar ilmu silatmu beratus kali lebih tinggi, kalau sudah tertidur, sekali tikam dengan belati ini, masakah kau mampu mengelak?
Karena siangnya bertempur sengit, maka Kwe Ceng rada lelah, begitu menempel bantal dia terus terpulas. Sebaliknya Nyo Ko bergolak-golik tak dapat tidur. Dia tidur di bagian dalam, didengarnya pernapasan Kwe Cing sangat teratur, tarikan dan hembusan napasnya terselang agak lama, diam2 ia kagum terhadap Lwekang sang paman yang hebat itu.
Agak lama kemudian, suasana terasa hening, hanya dari jauh terdengar suara peronda sedang melakukan tugasnya pelahan Nyo Ko berduduk dan meraba belatinya, ia pikir kalau dia sudah kutikam mati, segera kupergi membunuh Ui Yong pula, rasanya membereskan seorang wanita hamil tak terlalu sulit, selesai semuanya segera bersama Kokoh kembali ke Coat-ceng-kok untuk mengambil setengah biji obat itu.
Kemudian kami akan mengasingkan diri di kuburan kuno itu untuk menikmati kebahagiaan hidup dan takkan peduli apakah dunia ini akan menjadi milik Song atau direbut Mongol.
Begitulah hatinya sangat senang berpikir sampai di sini, Tiba2 terdengar suara tangisan seorang anak kecil di rumah tetangga sana,menyusul suata sang ibu sedang meminang anaknya, suara tangis anak itupun mulai mereda dan kemudian sunyi senyap pula.
Seketika hati Nyo Ko tergetar, mendadak teringat olehnya apa yang dilihatnya di perjalanan tempo hari, di mana seorang Busu Mongol telah menyudet perut seorang bayi dan diangkat ke udara seperti sundukan satai, bayi itu tidak lantas mati, tapi masih dapat menjerit ngeri.
Segera terpikir olehnya: "Untuk membunuh Kwe Cing sekarang bagiku sangat mudah. Tapi kalau dia mati, kota ini takkan dapat dipertahankan lagi dan be-ribu2 anak kecil dalam kota ini tentu akan menjadi mangsa keganasan perajurit Mongol. Aku sendiri berhasil membalas dendam, tapi akibatnya jiwa rakyat jelata yang tak terhitung banyaknya akan menjadi korban, apakah perbuatanku ini dapat dipuji?"
Tapi lantas terpikir pula: "Kalau tidak kubunuh dia, tentu pula Kiu Jian-jio tak mau memberikan obatnya padaku dan kalau aku mati pasti juga Kokoh tak dapat hidup lagi," Betapa mendalam cintanya kepada Siao-liong-li boleh dikatakan tiada taranya, karena itulah menjadi nekat:
"Sudahlah, biar peduli amat dengan jiwa rakyat Siangyang dan negara segala, ketika aku menderita sengsara, selain Kokoh seorang siapa lagi yang pernah menaruh belas kasihan padaku? Orang lain tidak pernah sayang padaku, buat apa aku mesti sayang pada orang lain?"
Begitulah ia lantas angkat belati nya. tenaga dikumpulkan pada tangan itu, ujung belati mengincar tepat pada dada Kwe Cing.
Lilin di dalam kamar itu sudah dipadamkan tapi Nyo Ko sudah biasa melihat dalam kegelapan, waktu belatinya akan ditusukan, sekilas ia memandang wajah Kwe Cing, dilihatnya air muka paman sangat tenang, wajah seorang welas asih dan berbudi.
Belati sudah tergenggam di tangan Nyo Ko, tapi ia ragu2 untuk turun tangan mengingat keselamatan laksaan jiwa bangsa Han yang akan menjadi korban keganasan serdadu Mongol yang kejam itu.----------- nggak nyambung
tidurnya sangat nyenyak. Tiba2 terbayang pula dalam benak Nyo Ko semua kejadian di masa lampau, betapa kasih sayang paman padanya waktu tinggal di Tho-hoa-to dan tanpa mengenal lelah sang paman mengantarnya ke Cong-lam-san untuk belajar siIat, malahan berniat menjodohkan puteri tunggalnya kepadanya.
Tanpa terasa timbul pikirannya: "Selamanya Kwe pepek bertindak jujur dan terus terang, beliau adalah seorang tua yang baik budi, Pribadi seperti dia ini seharusnya tidak mungkin mencelakai ayahku, Apakah mungkin Sah Koh yang tidak waras itu sembarangan omong? Kalau saja tikaman ini jadi kulaksanakan dan mungkin ternyata salah membunuh orang baik, bnkankah dosaku sukar lagi diampuni? Wah, nanti dulu kukira urutan ini harus kuselidiki dulu.
Pelahan2 ia lantas menyimpan kembali belatinya, ia coba merenungkan pula satu demi satu kejadian di masa lalu sejak dia bertemu dengan Kwe Cing dan Ui Yong.
Teringat olehnya sikap Ui Yong yang kurang simpatik padanya, beberapa kali dipergoki suami isteri ku sedang membicarakan sesuatu soal apa2, tapi pokok pembicaraan lantas dihentikan begitu dia muncul. Kalau dipikir, tentu ada sesuatu diantara suami isteri itu sengaja dirahasiakannya.
lngat pula sang bibi resminya menerimanya sebagai murid, tapi yang diajarkan hanya membaca dan menulis, sedikitpun tidak diajarkan silat. Apakah keramahan paman Kwe kepadaku itu bukan lantaran dia telah mencelakai ayahku dan hatinya merasa tidak tenteram, maka sengaja membaiki aku sekedar menenangkan hatinya yang merasa berdosa itu?
Begitulah Nyo Ko terus bergulang-guling tak dapat pulas. Dalam pada itu Kwe Cing masih tidur dengan nyenyaknya, namun pada suatu ketika itu, dapat mengetahui pernapasan Nyo Ko yang rada memburu itu mendadak ia membuka mata dan bertanya: "Ada apa, Ko-ji? kau tak dapat tidur?"
Badan Nyo Ko rada bergetar, jawabnya: "Oh tidak apa2"
"Kalau kau tidak biasa tidur bersama orang lain, bolehlah kutidur di meja saja," kata Kwe Cing dengan tertawa.
"Wah, tidak, tidak apa2" sahut Nyo Ko cepat
"Baiklah, jika begitu lekas tidur." ujar Kwe Cing. "Orang belajar silat harus mengutamakan menenangkan batin dan memusatkan pikiran."
Nyo Ka mengiakan. Akan tetapi pikirannya tetap bergoIak akhirnya ia tidak tahan dan bertanya: "Kwe-pepek, dahulu waktu kau mengantar diriku ke Cong lam-san,- sampai kuil di kaki gunung itu pernah kutanyakan sesuatu padamu, apakah paman masih ingat?"
Hati Kwe Cing terkesiap, jawabnya: "Ya, ada apa?"
"Tatkala mana Kwe-pepek marah2 dan menghantam sebuah pilar batu sehingga menimbulkan salah paham para Tosu hari Coan-cin-kau, apakah paman masih ingat persoalanku yang kutanyakan itu?"
"Ya, kalau tidak salah kau tanyai cara bagaimana meninggalnya ayahmu,"
Dengan tatapan tajam Nyo Ko berkata pula. "Waktu yang kutanyakan padamu adalah siapa kah yang membunuh ayahku."
"Darimana kau mengetahui bahwa ayahmu di bunuh orang?" kata Kwe Cing.
"Memangnya ayahku meninggal secara baik2?" tanya Nyo Ko dengan suara agak serak.
Kwe Cing terdiam sejenak, ia menghela napas panjang, lalu berkata pula: "Ayahmu meninggal secara menyedihkan, akan tetapi tiada siapapun yang membunuhnya, dia sendirilah yang membunuh dirinya sendiri"
Mendadak Nyo Ko bangun berduduk, dengan perasaan yang sangat terangsang ia berkata: "Tidak Kwe-pepek dusta padaku, mana mungkin di dunia ini ada orang membunuh dirinya sendiri? seumpama ayahku membunuh diri, tentu juga ada orang-lain yang menyebabkan kematiannya."

Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali - Chin YungWhere stories live. Discover now