Jilid 9

3K 41 0
                                    

Diam2 Kwe Ceng menjadi heran oleh kelakuan para petualang ini, "0rang2 ini tergolong manusia yang tak kenal takut di kalangan Ka-ngouw, sekalipun sebelah lengan atau sebelah kaki mereka ditabas kutung, belum tentu mereka mau merintih kesakitan dan meminta ampun, kenapa antup tawon sekecil ini saja ternyata begini lihay ?" demikian ia pikir.
Sementara itu ia dengar suara tabuhan Khim berkumandang pula dari dalam rimba raya itu, menyusul mana dari pucuk pohon yang rindang itu tertampak mengepul keluar asap putih yang tipis2, segera Khu Ju-ki dan Kwe Ceng mencium bau wangi bunga yang sedap sekali. Selang tak lama, suara "ngung-ngung-ngung" tadi dari jauh kembali mendekat lagi, rombongan tawon putih itu dami mencium bau wangi telah terbang kembali ke dalam rimba, kiranya Siao-liong-li sengaja bakar dupa untuk menarik kembali pasukan tawonnya, Meski sudah dua puluh tahun Khu Ju-ki menjadi tetangga Siao-liong-li, tapi selamanya tidak pernah mengetahui bahwa gadis jelita ini ternyata memiliki kepandaian begini tinggi, ia menjadi kagum dan ketarik.

"Kalau sebelumnya tahu tetangga cantik kita ini begini besar kesaktiannya, Coan-cin-kau kita tentunya tidak perlu banyak urusan lagi," demikian ia kata.
Ucapan ini sebenarnya dia tujukan pada Kwe Ceng, suaranya tidak keras, Tetapi aneh, Siao-liong-li yang berada dalam rimba itu seperti mengetahui maksudnya itu, tiba2 suara Khim tadi berubah menjadi lunak dan merdu yang mengandung maksud pernyataan terima kasih.
"Hahaha, hendaklah nona jangan pakai adat istiadat lagi," kata Khu Ju-ki dengan suara lantang sambil bergelak ketawa" Khu Ju-ki bersama anak murid Kwe Ceng, dengan hormat mengucapkan selamat atas ulang tahun nona."
Atas ucapan ini, tiba2 suara Khim itu berbunyi "creng-creng" dua kali lagi, habis ini lantas berhenti, suara lenyap, keadaan pun kembali sunyi.
Dalam pada itu mendengar jeritan dan teriakan orang2 yang bergelimpangan di tanah itu, hati Kwe Ceng menjadi kasihan.
"Totiang, Cara bagaimana kita bisa tolong orang2 ini ?" ia coba tanya Khu Ju-ki.
"ltu tidak perlu," sahut Ju-ki. "Liong-kohnio (nona Liong) sendiri tentu bisa bereskan sendiri Marilah kita pergi saja."
Begitulah, maka mereka lantas kembali ke arahnya sendiri, sepanjang jalan Kwe Ceng ceritakan pula secara ringkas mengenai diri Nyo Ko. Mendengar kisah-derita bocah yang mengharukan itu, Khu Ju-ki telah menghela napas panjang.
"Memangnya patriot seperti pamanmu Nyo Thi-sim itu, mana boleh terputus keturunan ?" demikian katanya kemudian, "Kau tak usah kuatir, pasti aku akan lakukan sepenuh tenagaku untuk mendidik anak itu dengan baik."
Tentu saja Kwe Ceng sangat girang oleh kesanggupan itu, di tengah jalan juga ia lantas menjura menghaturkan terima kasihnya.
"Tadi kau cerita bahwa ada orang menyelundup ke Tho-hoa-to untuk membuat peta rahasia, pula terdapat anak murid Kay-pang yang tersangkut di dalamnya, sebenarnya ada urusan apakah ?" kemudian Khu Ju-ki bertanya lagi
"Totiang mungkin masih ingat didalam Kay-pang itu terdapat seorang murid murtad yang disebut Peng-tianglo ?" kata Kwe Ceng.
"Aha, kiranya dia itu," sahut Ju-ki. "Sungguh tidak kecil nyali orang ini, apa mungkin dia berani cari gara2 ke pulaumu Tho-hoa-to ?"

"Sesudah aku tukar pikiran dengan Yong-ji, dia bilang kalau hanya Peng-tianglo seorang diri saja, tidak nanti dia berani main gila, tentu di belakangnya masih ada orang lain lagi yang menjadi tulang punggungnya," ujar Kwe Ceng.

"Tetapi dengan ilmu kepandaian Yong-ji sekarang ini, ditambah keadaan pulau yang diatur sedemikian itu, jika ada orang berani coba main gila ke sana, maka orang itu sesungguhnya sudah bosan hidup, urusan ini kau justru boleh tak usah kuatir," kata Khu Ju-ki.
Kwe Ceng mengangguk setuju dengan kata2 orang.
Begitulah sambil ber-cakap2 kemudian mereka tiba kembali di depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu, tatkala itu hari sudah terang, para imam sedang sibuk membersihkan reruntuhan puing, ada pula yang sedang tebang kayu untuk membangun tempat meneduh darurat.
Kemudian Khu Ju-ki mengumpulkan semua Tosu Coan-cin-kau itu, ia perkenalkan Kwe Ceng kepada mereka.
"Dia adalah murid Ong-sute, namanya Thio Ci-keng," demikian Khu Ju-ki perkenalkan pada Kwe Ceng imam berjenggot panjang yang pernah memimpin Pak-tau-tin di bawah gunung buat merintangi dirinya itu. "Tentang kepandaian, di antara murid angkatan ketiga dia terhitung yang paling tinggi, maka boleh suruh dia saja yang memberi pelajaran pada Ko-ji."
Kwe Ceng sudah pernah bergebrak dengan Thio Ci-keng, ia tahu ilmu silatnya memang betul hebat, maka dalam hati ia sangat girang, segera dia perintahkan Nyo Ko menjalankan penghormatan angkat guru pada Thio Ci-keng.
Habis itu Kwe Ceng tinggal beberapa hari lagi di Cong-lam-san, iapun pesan wanti2 pada Nyo Ko agar belajar dengan giat, kemudian baru dia mohon diri kembali ke Tho-hoa-to.
Apabila teringat oleh Khu Ju-ki pada waktu memberi pelajaran silat pada Nyo Khong (ayah Nyo Ko) dahuIu, dia membiarkan Nyo Khong tinggal di dalam istana kerajaan Kim dengan segala kemewahan dan kejayaan hidupnya, sehingga membuat suatu kesalahan yang maha besar, maka ia pikir sekali ini Nyo Ko harus dilakukan pengawasan yang keras dan diberikan pelajaran se-baik2-nya supaya anak ini tidak sampai terjerumus menuju jalan yang sama dengan mendiang ayahnya.
Karena itu, dia lantas panggil menghadap Nyo Ko, dengan kata2 pedas dan suara bengis dia memberi petuah harus turut ajaran guru, tidak boleh malas dan teledor sedikitpun.
Untuk tinggal di Cong-lam-san saja sebenarnya Nyo Ko sudah merasa tak betah, apalagi kini kena didamperat habis2an, sudah tentu sukar dijelaskan perasaannya, dengan menahan melelenya air mata dia mengiakan saja, tetapi begitu Khu Ju-ki pergi, tak tertahan lagi ia lantas menangis sedih.
"Kenapa ? Apa Co-su-ya salah mengatai kau ?" tiba2 dari belakang seorang menegur pada-nya.
Nyo Ko kaget, lekas2 ia usap air matanya dan menoleh, ia lihat orang yang berdiri di belakangnya itu bukan lain adalah Suhunya sendiri, Thio Ci-keng. Maka lekas2 tangannya dia luruskan dan menjawab dengan hormat: "Bukan ?"
"Kalau begitu, kenapa kau menangis ?" tanya Thio Ci-keng pula.
"Tecu terkenang pada Kwe-pepek, maka hati menjadi sedih," sahut Nyo Ko.
Tadi terang2an Thio Ci-keng mendengar paman gurunya, Khu Ju-ki, dengan suara bengis memberi pesan pada Nyo Ko, tapi sekarang anak ini justru pakai alasan terkenang pada Kwe Ceng, tentu saja dalam hati ia semakin kurang senang, pikirnya: "Anak sekecil ini tabiatnya sudah begini licin, kalau tidak diberi hukuman yang berat, nanti kalau sudah besar mana bisa dibina lagi?"
Oleh karena itu, dengan menarik muka ia lantas membentak: "Hm, terhadap Suhu sendiri, kau berani berdusta ?"
Karena Nyo Ko menyaksikan sendiri para imam Coan-cin-kau ini kena dihajar hingga tunggang-langgang oleh Kwe Ceng, ia lihat pula Khu Ju-ki dan lain2 kena dilabrak hingga kerepotan oleh Hotu dan Darba dengan begundalnya, semua itu berkat bantuan Kwe Ceng baru mereka bisa terhindar dari bahaya, maka dalam hati dia sudah yakin bahwa ilmu silat para imam ini biasa saja dan tiada yang dapat dikagumi. Terhadap Khu Ju-ki saja dia tidak kagum, apalagi terhadap Thio Ci-keng ?
Memang hal ini adalah kesalahan Kwe Ceng yang telah berbuat teledor, dia tidak menjelaskan dahulu pada Nyo Ko bahwa Coan-cin-kau adalah sumber asli ilmu silat, dahulu ilmu silat Ong Tiong-yang telah diakui sebagai nomor satu di muka bumi ini, tiada satu jago pun dari golongan lain yang mampu melawannya.Sedang Kwe Ceng bisanya kalahkan para imam itu, soalnya karena imam2 itu belum terlatih sampai dipuncaknya ilmu, sekaIi2 bukan ilmu silat Cona-cin-kau yang tak berguna, Oleh karena kekurangan penjelasan dari Kwe Ceng inilah hingga mengakibatkan peristiwa2 yang banyak terjadi di kemudian hari.
Begitulah, ketika Nyo Ko melihat gurunya marah, dalam hati ia pikir: "Aku angkat guru padamu sebenarnya karena terpaksa, sekalipun kelak aku bisa belajar sepandai kau, tetapi apa gunanya kalau cuma sepandai itu saja ? Untuk apa sekarang kau berlagak galak ?"
Oleh karena pikiran yang memandang hina orang ini, maka Nyo Ko telah berpaling kesamping, ia tidak menjawab Thio Ci-keng tadi.
Tentu saja Ci-keng menjadi gusar !
"Aku tanya kau, kenapa kau tidak menjawab?" ia membentak pula dengan suara yang lebih keras.
"Suhu ingin aku menjawab apa, segera akan kujawab apa," demikian sahut Nyo Ko dengan bandel.
Mendengar kata2 yang ketus ini, amarah Thio Ci-peng tak bisa ditahan lagi, tangannya terus me-nampar, "plak", seketika pipi Nyo Ko merah bengap.
Nyo Ko menjerit dan menangis, mendadak ia angkat kaki terus lari pergi.
Akan tetapi dengan cepat Ci-keng dapat menjambretnya, "Hendak kemana kau?" tanyanya.
"Lepaskan aku, tidak sudi aku belajar silat padamu lagi," teriak Nyo Ko.
Tentu saja Ci-keng bertambah panas hatinya.
"Anak haram, kau bilang apa?" bentaknya.
Namun Nyo Ko sudah pepet, ia menjadi nekat
"lmam busuk, imam anjing, boleh kau pukul mati aku saja !" demikian segera ia balas mencaci maki.
Di jaman feodal dulu, hubungan antara guru dan murid dipandang penting sekali, di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, hubungan guru dan murid dipandang seperti ayah dan anak saja, sekalipun sang guru hendak hukum mati muridnya, yang menjadi muridpun tak berani membantah.
Kini Nyo Ko sebaliknya berani mencaci maki gurunya, sungguh ini suatu perbuatan murtad yang terkutuk yang selamanya jarang terlihat dan terdengar.
Karena itu, dalam gusarnya, muka Ci-keng menjadi merah padam, ia angkat tangannya terus hendak menempeleng lagi.
Diluar dugaannya, se-konyong2 Nyo Ko melompat maju terus merangkul lengannya yang terangkat itu, bahkan bocah ini pentang mulutnya menggigit sini sana hingga akhirnya jari Thio Ci-keng kena digigit dengan kencang.
Kiranya sejak Nyo Ko mendapat ajaran rahasia ilmu silat dari Auyang Hong, meski dia berlatih tidak teratur, tapi soal Lwekang sedikit banyak dia sudah punya landasan, Dalam keadaan marah, Thio Ci-keng menganggap Nyo Ko hanya satu anak kecil, maka sedikitpun dia tidak ber-jaga2 hingga kena dirangkul dan dicokot, dia ternyata tak sanggup lepaskan gigitan Nyo Ko meski dia sudah kipat2kan lengannya.
Justru jari tangan adalah anggota badan orang yang paling lemah, sakitnya paling susah di-tahan, Dalam kesakitan Ci-keng angkat sebelah tangan yang Iain terus menggebuk pundak Nyo Ko dengan keras.
"Kau cari mampus ? Hajo, lepas !" ia membentak lagi.
Akan tetapi Nyo Ko dilahirkan dengan watak yang keras dan tidak kenal apa artinya takut, apa lagi kini dalam keadaan murka dan nekad, sekali pun dibawah ancaman senjata belum tentu dia mau lepaskan begitu saja.
Tetapi karena digebuk pundaknya hingga terasa kesakitan, gigitannya semakin tambah kuat, maka terdengarlah suara "kletak", tulang jari kena digigit patah.
Dalam keadaan demikian, Thio Ci-keng tak bisa pikir panjang lagi, ia ayun tinjunya terus me-ngetok dengan gemas ke atas batok kepala Nyo Ko dipentangnya, jari telunjuk tangan kanannya barulah bisa ditarik keluar dari mulut kecil yang masih terkatup kencang itu.
Maka tertampaklah tangannya berlumuran darah, tulang jarinya sudah patah, meski dia bisa gunakan obat luka untuk menyambung tulang jari, tapi sejak itu jarinya tidak bertenaga lagi, dengan sendirinya ilmu silatnya lantas banyak terhalang, Dalam sengitnya, tak tahan lagi Ci-keng tambahi pula beberapa kali tendangan ke tubuh Nyo Ko yang sudah menggeletak di tanah itu.
Kemudian Ci-keng robek sedikit kain baju untuk membalut luka jarinya, waktu dia memeriksa sekelilingnya, untung tiada orang lain, ia pikir kalau kejadian ini sampai dilihat orang luar dan disiarkan ke kalangan Kangouw, pasti dia akan kehilangan muka, Lalu dia ambil satu ember air dingin dan disiram ke muka Nyo Ko.
Tetapi setelah sadar, kembali Nyo Ko menyeruduk maju lagi sambil menghantam kalang-kabut bagai banteng ketaton.
"Binatang, apa betul2 kau tidak ingin hidup lagi ?" bentak Thio Ci-keng sambil jamberet dada Nyo Ko.
Akan tetapi Nyo Ko tetap tidak mau menyerah
"Kau bangsat, imam anjing, imam busuk, kau sendiri yang binatang !" balasnya memaki.
Karena tak tahan gusarnya oleh caci-maki balasan ini, kembali Thio Ci-keng ayun tangannya memberikan sekali tamparan pula, sekarang dia sudah ber-jaga2, jika Nyo Ko berani balas menghantam tentu takkan bisa mendekatinya, Maka dalam sekejap saja Nyo Ko telah ditendang beberapa kali hingga jungkir-balik dan jatuh-bangun.
Dalam keadaan demikian, jika Thio Ci-peng mau melukai Nyo Ko, sebenarnya dengan gampang saja bisa dia lakukan, namun apapun juga anak ini adalah muridnya sendiri, jika gunakan pukulan berat, kemudian kalau ditanya para paman guru dan Suhu, cara bagaimana harus menjawabnya ?
Sebaliknya Nyo Ko masih terus menggeluti orang dengan ngawur dan nekat meski tubuhnya beberapa kali kena digenjot Ci-keng, rasanya juga tidak kepalang sakitnya, tetapi sedikitpun dia pantang mundur.
Akhirnya Thio Ci-keng menjadi kewalahan sendiri, meski ia masih pukul dan tendang Nyo Ko yang masih terus menyeruduk secara membabi-buta, tetapi dalam hati tidak kepalang menyesalnya, ia lihat bocah ini meski tubuhnya sudah babak-belur, tetapi makin lama malah semakin berani sampai akhirnya, karena tiada jalan lain, ia tutuk Hiat-to di bahu Nyo Ko dan membuatnya tidak berkutik lagi
Nyo Ko menggeletak di tanah, tetapi diantara sinar matanya jelas kelihatan penuh mengandung rasa murka.
"Kau murid murtad ini, sekarang kau menyerah tidak ?" kata Thio Ci-keng.
Akan tetapi Nyo Ko hanya menjawab dengan mata melotot, sedikitpun dia tidak unjuk rasa takluk.
Ci-keng duduk di atas sepotong batu, napas nya empas-empis, Kalau dia bertanding dengan jagoan tinggi, meski berlangsung satu jam atau tiga perempat jam, se-kali2 tidak akan memburu, kini kaki-tangannya tidak capek, tetapi dalam hati luar biasa gusarnya hingga dia tak bisa berdiri.
Begitulah guru dan murid ini saling mendelik berhadapan seketika itu Ci-keng menjadi kehabisan akal, ia tidak tahu cara bagaimana agar mendapatkan jalan yang baik untuk membereskan perkara anak binal ini.
Selagi ia merasa kesal, tiba2 terdengar suara genta ditabuh keras, ia kenal itu adalah tanda panggilan Ciangkau mereka, Ma Giok, yang sedang mengumpulkan semua anak murid Coan-cin-kau. Keruan Ci-keng terkejut.
"Jika kau tidak bandel lagi, aku lantas bebaskan kau," katanya pada Nyo Ko, Habis ini ia lantas menutuk pula buat lancarkan jalan darah orang.
Siapa tahu, begitu Nyo Ko melompat bangun, segera ia hendak menyeruduk maju lagi.
"Aku sudah tidak pukul kau, kau mau apalagi ?" dengan gusar Ci-keng membentak.
"Tapi selanjutnya kau pukul aku tidak ?" tanya Nyo Ko.
Sementara suara genta tadi terdengar ditabuh makin riuh, Ci-keng tak berani ayal, terpaksa ia menjawab : "Jika kau berlaku baik2, kenapa aku harus pukul kau ?"""Baiklah kalau begitu, Suhu," kata Nyo Ko. "Kau tidak pukul aku, aku lantas panggil kau Suhu, tetapi sekali kau pukul aku, selamanya tidak nanti aku mau mengaku kau sebagai guru Iagi."
Ci-keng tersenyum getir oleh kepala batu si bocah ini.
"Ciangkau sedang memanggil para anak murid, mari lekas ikut ke sana," katanya kemudian.
Tetapi demi melihat baju Nyo Ko sudah robek dan kumal, mukanya pun babak belur, Ci-keng kuatir kalau ditanya orang, maka dia bersihkan tubuh Nyo Ko, habis ini ia tarik tangan bocah ini terus berlari ke depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu.
Sementara itu tempat bekas Tiong-yang-kiong oleh para imam Coan-cin-kau sudah didirikan belasan buah rumah atap alang2, ketika Ci-keng dan Nyo Ko sampai di sana, para imam yang lain sudah berbaris berdiri di sana dengan teratur, sedang Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga kelihatan berduduk menghadap keluar.
Kemudian Ma Giok menepuk tangan sekali, seketika keadaan menjadi sunyi senyap, para imam tak berani berisik lagi.
"Kita telah terima berita dari Tiang-seng cinjin dan Jing-ceng Sanjin yang dikirim dari Soasay, katanya urusan di sana sangat sulit diselesaikan, maka Tiang-jun Cinjin dan Giok-yang Cinjin (Khu Ju-ki dan Ong Ju-it) berdua hari ini juga akan berangkat membantu ke sana, untuk itu mereka perlu membawa serta sepuluh anak murid," demikian dengan suara lantang Ma Giok berpidato,
Karena pengumuman ini, para imam banyak yang saling pandang, ada yang kaget dan heran, ada pula yang murka.
Kemudian dengan suara keras Khu Ju-ki lantas menyebut nama sepuluh anak murid Coan-cin-kau, ia pesan: "Lekas masing2 menyiapkan apa yang perlu, supaya besok pagi2 bisa lantas ikut berangkat. Yang 1ain2 bolehlah bubar sekarang !"
Sesudah itu, maka suara berisik segera terdengar iagi, para imam itu sama mempercakapkan tentang urusan penting itu yang ternyata ada hubungannya dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu.
Tengah mereka saling berunding, Khu Ju-ki sendiri telah mendekati Thio Ci-keng dan berkata padanya: "Sebenarnya aku hendak bawa serta kau, tetapi karena kuatir pelajaran Ko-ji terhalang, maka sekali ini tidak perlu kau ikut pergi!"
Habis ini sekilas tertampak olehnya muka Nyo Ko babak-belur dan matang-biru, tentu saja ia kaget.
"He, kenapa kau ? Dengan siapa kau telah berkelahi ?" tanyanya cepat.
Keruan Thio Ci-keng kerupekan, ia gugup sekali, ia kuatir kalau2 Nyo Ko menceritakan apa yang terjadi dengan terus terang, tentu paman gurunya ini akan mendamperat habis2an padanya, maka lekas2 ia mengedipi mata memberi tanda pada Nyo Ko agar jangan bilang.
Akan tetapi Nyo Ko sudah mengambil keputusannya sendiri, waktu melihat Ci-keng kerupekan, ia pura2 tidak tahu, dia sengaja bicara dengan tidak jelas dan tidak menjawab pertanyaan orang, Dengan sendirinya Khu Ju-ki menjadi gusar.
"Siapakah yang berani pukul kau sedemikian rupa ? Hayo katakan, sebenarnya siapa yang salah ? Lekas bilang !" bentaknya Ju-ki lagi.
Mendengar suara Khu Ju-ki yang makin bengis ini, dalam hati Ci-keng semakin ketakutan.
"Bukan berkelahi, tetapi Tecu sendiri jatuh kesandung dan tergelincir ke jurang," sahut Nyo Ko kemudian.
Sudah tentu Khu Ju-ki tidak gampang percaya.
"Kau bohong, tanpa sebab kenapa bisa jatuh kesandung?" desaknya lagi.
"Tadi Co-su-ya telah ajar Tecu agar belajar secara giat..."
"Ya, kenapa ?" sela Khu Ju-ki.
"Dan sesudah Co-su-ya pergi, Tecu pikir memang benar apa yang Co-su-ya ajarkan itu," demikian Nyo Ko menyambung, "maka selanjutnya Tecu pasti akan giat belajar supaya lekas maju, dengan begitu baru tidak mengecewakan harapan Co-su-ya."
Dengar obrolan Nyo Ko ini, lambat laun air muka Khu Ju-ki berubah tenang kembali, ia bersuara sekali lagi tanda membenarkan.
"Tapi siapa duga mendadak datang seekor anjing gila," demikian sambung Nyo Ko lagi, "tiba2 anjing gila itu menubruk ke arah Tecu sambil mencakar dan menggigit serabutan, Tecu balas tendang dan hantam untuk mengusir anjing gila itu, tetapi makin lama anjing gila itu semakin ganas. Karena Tecu takut kena digigit, maka terpaksa angkat langkah seribu, dan karena kurang hati2, Tecu telah tergelincir ke jurang, Syukur Suhu keburu datang hingga aku dapat ditolongnya."
Atas keterangan ini Khu Ju-ki masih setengah percaya dan separoh sangsi, ia coba pandang Thio Ci-keng, maksudnya bertanya apa yang dituturkan Nyo Ko itu betul atau tidak ?
Dalam hati tidak kepalang gusar Thio Ci-keng, ia sedang membatin: "Bagus, kau anak busuk ini berani mencaci maki aku sebagai anjing gila?"
Akan tetapi karena keadaan terdesak, ia tak berani menyangkal pembohongan Nyo Ko tadi maka terpaksa ia mengangguk dan menjawab : "Yar memang Tecu yang menolongnya."
Karena kepastian ini barulah Khu Ju-ki mau percaya.
"Sesudah aku berangkat, kau harus ajarkan ilmu dasar aliran kita padanya dengan sesungguh hati, tiap2 sepuluh hari Ma-supek akan mengadakan pemeriksaan ulang untuk memberi petunjuk tempat2 yang penting," demikian ia memberi pesan pula sebelum melangkah pergi.
Dalam hati Ci-keng sebenarnya seribu kali tidak rela, tetapi kata2 sang paman gurunya ini, mana ia berani membantah, terpaksa ia mengangguk mengiakan.
Sebaliknya Nyo Ko merasa sangat senang karena berhasil paksa gurunya menyerah dengan mengaku diri sebagai anjing gila, maka apa yang dikatakan Khu Ju-ki tadi boleh dikatakan tiada yang dia dengar.
Begitu Khu Ju-ki bertindak pergi beberapa puluh langkah Thio Ci-keng tak bisa menahan api amarahnya yang membara, tanpa pikir segera tangannya diangkat terus hendak menghantam batok kepala Nyo Ko.
"Khu-suco !" cepat Nyo Ko memanggil Khu Ju-ki sebelum tangan orang mampir di kepalanya.
Mendengar teriakan ini, Khu Ju-ki menoleh dengan bingung, "Apa apa ?" tanyanya.
Dalam pada itu tangan Ci-keng masih terangkat ke atas, karena menolehnya sang paman guru, tak berani ia menabok terus, keruan lagaknya menjadi kikuk dan serba salah, terpaksa ia pura2 meng-garuk2 rambut di pelipisnya.
Sedang Nyo Ko lantas berlari pada Khu Ju-ki, katanya "Co-su-ya, nanti kalau kau pergi, karena tiada yang melindungi aku, banyak Supek dan susiok di sini akan menggebuki aku."
Tentu saja pengaduan ini bikin Khu Ju-ki menarik muka. "Ngaco-belo, mana bisa terjadi begitu !" bentaknya.
Akan tetapi meski di luarnya dia bersikap bengis, dalam hati sebenarnya Khu Ju-ki orangnya welas-asih, tiba2 ia jadi teringat Nyo Ko memang sudah piatu dan harus dikasihani, maka segera ia pesan lagi dengan suara keras: "Ci-keng, kau harus menjaga bocah ini dengan baik, jika terjadi apa2 atas dirinya, sekembaliku hanya kau yang kumintai pertanggungan jawab."
Terpaksa, kembali Ci-keng menyanggupi lagi.
Begitulah, petang harinya sehabis bersantap malam, dengan perasaan masih kebat-kebit kuatir dihajar gurunya lagi, Nyo Ko datang di ruangan tempat sang Suhu, sesudah berhadapan dengan Ci-keng, ia memanggil dengan tangan lurus ke bawah: "Suhu !"
Tatkala itu adalah waktunya mengajarkan ilmu silat, Thio Ci-keng duduk semadi di pembaringannya, sejak tadi ia sudah ber-pikir2: "Anak ini begini nakal, kalau kini tidak dikendalikan dengan baik, kelak kalau ilmu silatnya sudah tinggi, siapa lagi yang sanggup pengaruhi dia ? Akan tetapi Khu-supek dan Suhu justru perintahkan aku mengajarkan ilmu silat padanya, jika aku tidak mengajarkan, hal ini tak boleh jadi pula."
Begitulah lama ia pikir dan masih belum ambil sesuatu keputusan, ketika melihat datangnya Nyo Ko yang seperti takut2, tapi sinar matanya mengerling terang, wajahnya seperti ketawa tetapi tidak ketawa, keruan lagak Nyo Ko ini semakin bikin marah padanya.
"Ah, ada satu akal," tiba2 tergerak pikirannya, "sementara ini sedikitpun dia belum paham akan ilmu kepandaian golongan sendiri, asal aku melulu mengajarkan dia istilah2nya, tetapi caranya berlatih sedikitpun tidak kukatakan padanya, dengan demikian meski beratus kali dia ingat akan istilah2 ilmu Lwekang yang aku ajarkan juga tiada gunanya. Dan kalau, Suhu dan para Supek menanyakan, aku boleh pakai alasan bahwa dia sendiri I yang tidak mau giat belajar."Begitulah, setelah ambil ketetapan ini, lalu dengan tersenyum dan suara halus ia memanggil: "Ko-ji, maju sini!"
"Kau akan pukul aku tidak ?" tanya Nyo Ko ragu-ragu.
"Aku akan ajarkan ilmu padamu, untuk apa pukul kau ?" sahut Ci-keng.
Nampak sikap orang yang berubah ramah tamah ini, hal ini sama sekali tak Nyo Ko duga. Maka dengan pelahan ia melangkah maju, hanya dalam hati ia tetap waspada dan ber-jaga2 akan segala kemungkinan, ia kuatir kalau orang pakai tipu muslihat
Sudah tentu kelakuan bocah ini dapat dilihat Thio Ci-keng, namun ia pura2 tidak tahu,
"llmu kepandain Coan-cin-kau kita harus dilatih mulai dari dalam sampai keluar, berbeda sekali dengan ilmu Gwa-keh yang melatihnya justru dari luar kedalam," demikian kemudian ia berkata, "Dan kini aku akan ajarkan intisari ilmu kita padamu, kau harus meng-ingat2nya dengan baik"
Habis ini dia lantas uraikan istilah kunci berlatih Lwekang dari Coan-cin-kau pada Nyo Ko.
Dasar kecerdasan Nyo Ko memang melebihi orang biasa, meski hanya mendengarkan sekali saja, namun dia sudah bisa ingat betul Dia juga berpikir sendiri: "Suhu terang benci dan marah padaku, mana bisa dia ajarkan aku ilmu kepandaian sejati ? Jangan2 dia sengaja ajarkan aku dengan segala istilah2 palsu yang tak berguna ?"
Oleh karena itulah, lewat tak lama, ia pura2 lupa apa yang diajarkan padanya tadi, ia meminta petunjuk lagi pada Thio Ci-keng. Namun Ci-keng dapat mengulangi lagi sama seperti semula.
Besoknya, ketika Nyo Ko pura2 tanya pula, ia dengar Ci-keng menguraikan lagi tetap sama dengan yang kemarin, barulah dia mau percaya ajaran bukanlah palsu, Sebab kalau palsu atau bikinan belaka, be-runtun2 menyebut tiga kali pasti tidak sama tiap2 kata atau istilahnya.
Begitulah, ber-turut2 sudah lewat sepuluh hari, selama itu Ci-keng hanya ajarkan istilah kosong saja pada Nyo Ko, tetapi cara atau praktek belajarnya sama sekali tidak diajarkannya.
Pada hari kesepuluh Ci-keng membawa Nyo Ko pergi menemui Ma Giok dan melaporkan bahwa dia sudah mengajarkan bocah itu dengan dasar2 ilmu silatnya bahkan dia suruh Nyo Ko membaca diluar kepala dihadapan Ciangkau Co-su-ya. Melihat Nyo Ko betul2 membaca diluar kepala dengan tepat, satu huruf saja tiada yang salah, keruan Ma Giok menjadi senang, berulang kali ia puji anak ini memang pintar.
Ma Giok adalah seorang imam berilmu dan tidak suka berpikir kearah yang jelek, dengan sendirinya dia tidak menyangka akan tipu muslihat Thio Ci-keng.
Begitulah, sang tempo berlalu dengan cepat, sekejap mata saja beberapa bulan sudah lalu. Selama ini, Nyo Ko boleh dikatakan sudah kenyang mengapal istilah2 Lwekang yang diajarkan Thio Ci-keng, akan tetapi prakteknya sedikitpun belum pernah diajarnya, maka soal ilmu silat hakekatnya dia masih sama saja seperti mula2 naik gunung, Tetapi Nyo Ko pintar luar biasa, mana bisa dia tidak tahu bahwa kepandainya terhalang ? Hanya dalam belasan hari saja dia lantas tahu bahwa gurunya sengaja mempermainkan dirinya, tetapi kalau orang tak mau memberi pelajaran, iapun tak berdaya, terpaksa ia harus menunggu kembalinya Khu Ju-ki untuk melaporkan padanya.
Tetapi tunggu sampai sekian lama, belum juga Khu Ju-ki kembali Meski usia Nyo Ko masih kecil, tetapi dia pintar membawa diri, kalau dalam hati rasa bencinya terhadap Suhu semakin hebat dan makin menjadi, sebaliknya diluar dia justru bertambah menghormat dan menurut.
Diam2 Thio Ci-keng menjadi senang melihat tipu muslihatnya berhasil, katanya dalam hati: "Hm, kau berani membangkang terhadap guru, lihat saja, akhirnya siapa yang rugi ?"
Sementara itu tibalah waktunya akhir tahun, menurut kebiasaan Coan-cin-kau yang turun temurun sejak Ong Tiong-yang, tiap2 tahun, tiga hari sebelum tahun baru, para anak murid harus mengadakan pertandingan besar dari ilmu silat yang mereka latih, dengan demikian untuk mengetahui sampai dimana kemajuan masing2.
Dan karena temponya sudah dekat, maka para anak murid Coan-cin-kau itu kelihatan sibuk sekali berlatih diri siang dan malam.
Hari itu adalah sepuluh hari sebelum tiba hari pertandingan, para anak murid Coan-cin-kau biasanya pada membagi diri dalam kelompok2 kecil untuk saling latih, ini disebut "repetisi", Begitu pula, hari itu Thio Ci-keng dan Cui Ci-hong cs. yang menjadi muridnya Ong Ju-it telah berkumpul disuatu lapangan di sebelah timur untuk berlatih,
Oleh karena Ong Ju-it tiada di rumah, dengan sendirinya urusan diserahkan dibawah pimpinan murid yang tertua, ialah Thio Ci-keng. Di samping sana anak murid angkatan keempat sedang sibuk sendiri, ada yang terlatih ilmu pukulan, ada yang main senjata atau pertunjukan Lwekang mereka.
Ada pula yang melepaskan Am-gi atau senjata rahasia, semua ini diunjukkan dihadapan Thio Ci-keng untuk diberi penilaian siapa diantaranya yang paling bagus.
Apa yang disebut anak murid angkatan ke-empat itu yalah seangkatan dengan Nyo Ko. Oleh karena Coan-cin-kau didirikan oleh Ong Tiong-yang, maka dia adalah cakal-bakalnya, sedang Ma Giok bertujuh yang disebut Coan-cin-chit-cu itu adalah muridnya Ong Tiong-yang, mereka disebut anak murid angkatan kedua: Thio Ci-keng, In Ci-peng, Cui Ci-hong dan Nyo Khong, mendiang ayah Nyo Ko, mereka adalah murid Coan-cin-chit-cu, maka disebut angkatan ketiga: akhirnya tingkatannya Nyo Ko inilah yang disebut angkatan keempat.
Oleh karena Nyo Ko paling lambat masuk perguruan, maka dia menduduki tempat yang paling belakang, bila dia menyaksikan para imam kecil yang umurnya sebaya dengan dirinya itu semua pandai pukulan dan paham silat, masing2 mempunyai kemahirannya sendiri, dalam hati kecilnya bukannya merasa kagum dan iri, sebaliknya dia justru merasa dendam dan sakit hati.
Di lain pihak Ci-keng dapat melihat wajah-Nyo Ko yang mengunjuk rasa penasaran, maka dia sengaja hendak bikin malu anak ini dihadapan orang banyak, ia menanti sesudah selesai pertandingan dua imam kecil, lalu dengan suara keras ia memanggil namanya Nyo Ko.
Mendengar dirinya disebut, Nyo Ko menjadi tertegun "Sedikitpun kau tidak ajarkan ilmu silat padaku, untuk apa kau panggil aku maju kedepan ?" demikian ia pikir.
Akan tetapi Thio Ci-keng sudah mengulangi teriakannya lagi: "Ko-ji, kau dengar tidak ? Hayo lekas maju !"
Terpaksa Nyo Ko tampil ke muka, ia membungkuk badan memberi hormat sambil berkata : "Tecu Nyo Ko menghadap Suhu disini!"
"Umurnya tidak seberapa tua dari pada kau, bolehlah kau bertanding dengan dia," demikian Ci-keng menunjuk salah satu imam kecil yang menang dalam pertandingan tadi.
"Tecu sama sekali tidak bisa silat, mana sanggup bertanding dengan Suheng ?" sahut Nyo Ko.
Thio Ci-keng menjadi marah. "Telah setengah tahun aku mengajar padamu, kenapa kau bilang tak bisa silat ? Lalu apa yang kau lakukan selama setengah tahun ini ?" demikian ia mendamperat.
Nyo Ko tak bisa menjawab dan menunduk.
"Kau sendiri yang malas, tak mau giat belajar, dengan sendirinya kau ketinggalan jauh," demikian kata Ci-keng pula, "Sekarang aku ingin tanya kau apa yang sudah kuajarkan dan kau harus menjawab."
Habis ini berulang kali ia menyebut empat istilah yang pernah dia ajarkan pada Nyo Ko, dengan sendirinya semuanya dijawab Nyo Ko dengan tepat.
"Nah, bagus, sedikitpun tidak salah, maka bolehlah kau pergunakan intisari keempat istilah itu untuk turun kalangan dan bergebrak dengan Suheng," dengan tersenyum Ci-keng berkata.
Kembali Nyo Ko tercengang, "Tecu tidak bisa," jawabnya lagi.
Dalam hati Thio Ci-keng menjadi senang melihat kelakuan Nyo Ko yang serba susah itu, tetapi wajahnya sebaliknya dia sengaja unjuk rasa gusar..
"Kau sudah apalkan istilah2 penting tadi tapi kau tidak berlatih, sekarang kau pakai alasan segala, hayo, lekas saja turun kalangan," bentaknya pula.
Para imam mendengar sendiri Nyo Ko mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala tanpa sedikitpun yang salah, tapi kini tak berani maju ke tengah kalangan, maka diantaranya sama menyangka anak ini merasa jeri, diantaranya ada yang berhati baik lantas menganjurkan maju saja, sebaliknya banyak pula yang tak suka padanya lantas pada bergirang, bahkan diam2 mentertawai.

Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali - Chin YungWhere stories live. Discover now