Jilid 17

3.2K 43 1
                                    

"Dengan caranya rnengolah ini, boleh jadi memang dapat dimakan?" demikian pikir Nyo Ko, akhirnya ia jadi ketarik.

Ia lihat Ang Chit-kong menggodok lagi dua wajan air salju, daging kelabang itu dia cuci bersih tanpa ketinggalan setetes air racun, habis itu ia keluarkan lagi beberapa kaleng kecil dari buntalannya Kaleng2 kecil ini ternyata berisi bumbul masak sebangsa minyak, garam, kecap, cuka dan lain2. Lebih dulu wajan dibikin panas dengan minyak mendidih, kemudian daging kelabang itu dituang ke dalamnya untuk digoreng, begitu daging kelabang itu masuk wajan, maka terciumlah bau sedap yang bikin orang mengilar.

Melihat macamnya Ang Chit-kong yang berulang kali telan air liur, biji lehernya tampak naik turun, sifat rakusnya nyata2 kelihatan, mau-tak-mau Nyo Ko ter-heran2 dan merasa geli pula.
Setelah kelabang2 itu digoreng sampai berwarna kuning, kemudian Ang Chit-kong tambah bumbunya, selesai itu, tanpa tunggu2 lagi ia comot seekor terus dimasukkan ke mulutnya, dengan pelahan ia mengunyah, matanya meram-melek, begitu nikmatnya sampai ia menghela napas, rasanya tiada sesuatu lagi di dunia ini yang lebih nikmat dari pada saat ini.
Sekaligus bet-turut2 ia pindahkan belasan ke-labang ke perutnya, habis itu baru ia katakan pada Nyo Ko: "Hayo, makan! Sungkan2 apa lagi?"
Akan tetapi Nyo Ko menggeleng kepala, "Tidak, aku tak doyan," sahutnya.
Ang Chit-kong tertegun sejenak, tapi segera ia ketawa ter-bahak2.
"Ya, ya, betul, tidak sedikit orang gagah perkasa yang pernah kujumpai sekalipun mereka dipenggal kepala dan alirkan darah tidak nanti mereka mengkerut kening, tetapi kalau bicara soal makan kelabang, tiada seorangpun yang berani tiru aku Ang Chit-kong. Ha, kau bocah ini hanya bermulut besar saja, sesungguhnya kau juga setan cilik bernyali kecil," demikian katanya.
Dikatai bernyali kecil, Nyo Ko menjadi dongkol, pikirnya : "Biar aku pejamkan mata dan tanpa mengunyah terus telan saja beberapa ekor kelabang itu, supaya tidak dipandang rendah olehnya."
Maka dengan menggunakan dua tangkai lidi sebagai sumpit, cepat ia jepit seekor kelabang goreng itu.
Siapa tahu, sebelum kelabang itu masuk mulutnya, rupanya Ang Chit-kong sudah bisa menerka apa yang dia pikirkan tadi.
"Tanpa mengunyah sedikitpun sambil tutup mata kau telan sekaligus belasan kelabang, ini namanya akal bulus dan bukan cara gagah kesatria," kata pengemis tua itu.
"Masakah makan kelabang saja ada soal gagah kesatria segala?" sahut Nyo Ko tertawa dingin.
"Ya, di jagat ini tidak sedikit orang yang tanpa malu2 mengaku dirinya gagah kesatria, tetapi yang berani makan kelabang rasanya tiada seberapa orang," kata Chit-kong.
Nyo Ko menjadi nekat karena dipandang rendah oleh orang, ia pikir paling banyak hanya mati, kenapa harus takut.
Maka kelabang yang dia sumpit tadi segera dimasukkan ke dalam mulut terus dikunyah.
Kalau tak dikunyah masih tak mengapa, tetapi karena jadi dikunyahnya ini, seketika terasa daging kelabang itu sedemikian gurih, begitu wangi dan begitu enak, sungguh selama hidupnya belum pernah mengenyam makanan yang begitu lezat rasanya. Karuan ia tidak mau sudah, cepat ia telan daging kelabang itu, lalu sumpitnya menyamber lagi kelabang yang kedua.
"Em, hebat, sungguh hebat rasanya!" demikian berulang kali ia memuji.
Nampak bocah ini telah kenal rasa dan menjadi tuman, Ang Chit-kong girang sekali, segerapun ia berebut duluan dengan Nyo Ko, hanya sekejap saja ratusan kelabang itu sudah mereka sapu bersih.
Bagi Ang Chit-kong kelabang sebanyak itu rasanya masih belum Cukua, lidahnya menggigit bibir, sungguh kalau bisa ia pingin isi perutnya 100 ekor kelabang lagi.
"Biar aku pendam bangkai jago ini buat pancing kelabang yang Iain," kata Nyo Ko tiba2. ia betul sudah tuman oleh rasa gurihnya kelabang goreng tadi.
"Tak bisa jadi lagi," sahut Chit-kong, "bangkai jago itu sudah hilang daya penariknya, pula di sekitar sini kelabang2 yang gemuk sudah tak tersisa lagi.
Habis berkata, mendadak ia menguap sambil mengulet ngantuk, tahu2 iapun merebahkan diri ke tanah salju.
"Sudah ada 7 hari 7 malam aku tak tidur," demikian ia kata, "setelah makan enak besarZan ini, biarlah aku tidur se-puas2nya selama tiga hari, seandainya langit bakal ambruk juga jangan kau bangunkan aku."
Sembari berkata suara menggeros pun mulai terdengar, ternyata lantas pulas begitu saja.
"Cianpwe ini sungguh orang yang sangat aneh," batin Nyo Ko. "Baiklah akupun tiada tempat tujuan, ia bilang mau tidur tiga hari, biar akupun tunggu tiga hari padanya."
Sementara itu bunga salju terus turun tiada hentinya, seluruh tubuh Ang Chit-kong sudah penuh tertutup salju yang putih seperti kapas.
Tubuh manusia bersuhu panas, bunga salju tentu akan cair karena hawa panas itu, tetapi kenapa bisa tertimbun di atas muka dan tubuhnya, hal ini mula2 bikin Nyo Ko tak mengerti tetapi setelah ia pikir, segera iapun tahulah.
"Ya, ya, tentu diwaktu tidur ia telah keluarkan tenaga sakti untuk menghimpun suhu panas ke dalam badannya, Seorang yang masih hidup segar waktu tidur ternyata bisa kaku seperti mayat, lwekang semacam ini sesungguhnya sangat hebat, mungkin mendiang Suhu Ong Tiong-yang hidup kembali juga tidak selihay dia ini," demikianlah pikirnya.
Sementara itu hari sudah hampir pagi, tubuh Ang Chit-kong telah terkubur di dalam salju, di atas tanah hanya kelihatan sedikit tonjolan, bekas badannya sudah tak kelihatan lagi
Nyo Ko sendiri tidak merasa letih, waktu ia mendongak, ia lihat keadaan gelap gulita dan-sunyi senyap.
Mendadak ia dikejutkan oleh suara gemerisik seperti orang berjalan di jurusan timur gunung itu, Waktu ia tegasi, dari jauh kelihatan mendatangi lima bayangan orang dengan kecepatan luar biasa, terang sekali semuanya berilmu silat amat tinggi
"Ah, tentu inilah Ngo-kui dari daerah Tibet yang dikatakan Locianpwe ini tadi," pikiran Nyo Ko tergerak tiba2. Karena itu, lekas2 ia sembunyi di belakang batu padas.
Tidak lama kelima orang itu sudah sampai di depan batu padas tempat sembunyi Nyo Ko, seorang diantaranya terdengar bersuara heran.
"He, wajan pengemis tua itu ada di sini, pasti dia berada di sekitar sini saja," kata orang itu.
Rupanya kelima orang itu merasa heran dan jeri, lalu mereka berkumpul untuk berunding dengan bisik2. Habis ini, mendadak mereka terpencar pergi buat memeriksa keadaan sekitar tempat ini.
Karena tempat di atas puncak gunung itu memang sempit, maka tidak seberapa langkah mereka mencari, seorang di antaranya kena injak badan Ang Chit-ong yang tertutup salju itu. Karena kakinya tiba2 menginjak tempat Iunak, dalam kagetnya sampai ia menjerit.
Dengan serta merta keempat saudaranya lantas merubung dan menggali timbunan salju itu, maka tertampaklah Ang Chit-kong yang kaku dan seperti sudah mati. Tentu saja kelima orang itu sangat girang, mereka coba periksa pernapasan Ang Chit-kong, terasa sudah berhenti tubuhpun dingin membeku.
"Pengemis tua ini terus menguntit aku sepanjang jalan hingga aku menjadi sebal digodanya, tak tahunya kini sudah mampus di sini," kata seorang diantaranya.
"Orang ini sangat hebat ilmu silatnya, tanpa sebab kenapa mati?" ujar yang lain ragu2.
"ilmu silat bagus apa tidak bisa mati?" debat yang kin pula, "Pikir saja, umurnya kini sudah berapa?"
Karena kata2 terakhir ini, empat orang yang lain menyatakan benar, kata mereka: "Ya, beruntung ia telah dipanggil raja akherat, kalau tidak, sesungguhnya sukar dilawan."
"Hayo, kita masing2 bacok tua bangka ini sekali buat lampiaskan mendongkol kita! Biarkan dia gagah perkasa, sesudah mati mayatnya pun tak bisa utuh," ajak orang yang pertama tadi.
Saat itu sebenarnya Nyo Ko sudah siapkan segenggam Giok-hong-ciam, ia pikir untuk melawan lima orang agak sulit, tiada jalan lain kecuali cari kesempatan menyerang dulu dengan Am-gi, kalau dua-tiga orang sudah dirobohkan, sisanya tentu akan menjadi gampang dibereskan.
Tetapi dasar usianya masih muda dan kurang sabar, ketika didengarnya orang bilang hendak bacok tubuh Ang Chit-kong, ia kuatir orang benar2 mencelakai pengemis tua itu, maka Am-gi belum sempat dihamburkan satupun, dengan sekali gertak ia sudah melompat keluar dari tempat sembunyinya.
Karena tak bersenjata, terpaksa Nyo Ko samber sekenanya dua tangkai kayu dan digunakan sebagai Boan-koan-pit, begitu kedua tangannya bergerak be-runtun2 ia menyerang lima kali, tiap2 serangannya mengincar Hiat-to kelima orang itu.Lirna serangannya ini boleh dikatakan dilakukan secepat kilat, cuma sayang ia telah membentak dahulu hingga Ngo-kui keburu ber-jaga2, kalau tidak, sedikitnya satu-dua orang diantara mereka pasti ada yang dirobohkan.
Sekalipun begitu, tidak urung Ngo-kui kaget hingga berkeringat dingin, lekas2 mereka melompat.
Ngo-kui semuanya memakai senjata golok tebal, ilmu silat mereka didapat dari satu guru, meski kepandaian masing2 ada beda antara tinggi dan rendah, tetapi cara2nya adalah sama.
Ketika mereka berpaling dan melihat Nyo Ko hanya satu pemuda "ingusan" yang bajunya rombeng, senjata yang dipakai hanya dua kayu bakar, sikapnya kikuk-kikuk, wajahnya biasa, seketika rasa kaget mereka pun hilang.
"Hai, anak busuk, apa kau adalah pengemis kecil dari Kay-pang?" segera Tay-kui, si Kui (setan jelek) tertua membentak: "Cosuya-mu sudah melayang jiwanya, lekas kau berlutut dan minta ampun saja."
"Ya, baik, biar aku menjura padamu", sahut Nyo Ko tiba2.
Tadi waktu menyaksikan caranya Ngo-kui berkelit Nyo Ko sudah dapat meraba sampai dimana ilmu silat mereka. ia menaksir kalau seorang lawan seorang, kelima orang ini tiada yang bisa menangkan dirinya, tetapi kalau main keroyok, ia sendiri pun tak ungkuIan.
Tetapi Nyo Ko memang anak cerdik, ketika mendengar Tay-kui berteriak agar menjura padanya, segera ia sambut baik terus melangkah maju dan berlagak menjura. Tak terduga mendadak kedua tangannya terus menyabet ke samping secepat kilat dengan gerak tipu "tui-jong-bong-goat" (mendorong jendela memandang rembulan).
Waktu itu yang berdiri di sisi kirinya adalah Go-kui dan sisi kanan Sam-kui.
Tipu serangan "Tui-jong-bong-goat" ini dilontarkan secara tak kenal ampun, Sam-kui lebih tinggi kepandaiannya ia sempat angkat goloknya buat menangkis, tetapi begitu punggung goloknya kena disabet tangkai kayu Nyo Ko, ia merasa lengannya kesakitan hingga goloknya hampir tak kuat digenggam Iagi.
Sebaliknya Go-kui telah kena disaber tulang kakinya, terdengar suara "keletak", meski tulang kaki tak sampai patah, namun saking sakitnya Go-kui telah berjingkrak memegangi kakinya.
Empat saudaranya menjadi gusar, senjata mereka menyamber menghujam Nyo Ko dengan kalap.
Tetapi dengan gesit Nyo Ko dapat lompat kian kemari untuk berkelit hingga seketika empat "Kui" itu tak mampu berbuat apapun.
Tak lama dengan kaki pincang Go-kui ikut masuk kalangan pertempuran lagi. ia adalah jagoan Bu-lim, tetapi kena dikibuli seorang anak kemarin, tentu saja gusarnya bukan buatan.
Nyo Ko sudah mendapatkan pelajaran asli Giok-li-sim-keng, Ginkangnya jauh di atas Ngo-kui dari Tibet ini, kalau ia niat lari, sebenarnya tidak sukar baginya, tetapi ia kuatir Ang Chit-kong kalau ditinggal pergi tentu dicelakai Ngo-kui, oleh karena itu ia tak berani menyingkir jauh hingga sebab itu pula ia tak bisa bertempur secara Ieluasa, akhirnya ia sendiri berulang kali harus menghadapi serangan bahaya.
Tetapi kemudian terpikir lagi olehnya, tiada jalan lain kecuali melarikan diri, maka pada suatu kesempatan se-konyong2 ia samber tubuh Ang Chit-kong, ia putar tangkai kayu terus menerjang pergi sekaligus ia berlari sampai beberapa tombak jauhnya.
Tentu saja Ngo-kui lantas mengudak, cuma kepandaian mereka ada yang tinggi dan ada yang rendah, maka sekejap saja yang tiga orang berada di depan dan yang dua ketinggalan di belakang.
Merasakan tubuh Ang Chit-kong yang dia kempit itu sedingin es, mau-tak-mau Nyo Ko menjadi kuatir, ia pikir betapapun nyenyak tidurnya seharusnya akan terbangun juga, aku diudak musuh, kenapa ia diam saja tak mau menolong? Jangan2 pengemis tua ini memang benar2 telah mati?
"Locianpwe, Locianpwe!" ia coba teriaki Ang Chit-kong.
Tetapi pengemis tua ini tetap tak bergerak sedikitpun seperti mayat saja, cuma tidak kaku.
Dan karena sedikit merandeknya Nyo Ko, di belakang Tay-kui sudah menyusul datang, karena takut pada kepandaian Nyo Ko yang lihay, seorang diri Tay-kui tak berani terlalu dekat, ketika ia tunggu datangnya kedua saudaranya yang lain, sebaliknya Nyo Ko sudah lari lagi sejauh beberapa puluh tombak.
Melihat jalan yang diambil Nyo Ko yalah panjat terus ke puncak gunung, puncak itu melulu ada satu jalan kecil, maka Ngo-kui menjadi heran, apa bocah ini bisa terbang ke langit?
Sebab itulah merekapun tak perlu buru2 mengejar mereka menyusul dari belakang dengan pelahan saja.
Jalan pegunungan itu makin jauh makin curam, sampai suatu tempat tikungan, tiba2 Nyo Ko melihat di kedua samping adalah jurang yang beribu tombak dalamnya, di tengah hanya ada sebuah jembatan batu sempit yang hanya cukup dilalui seorang saja.
"Aha, bagus sekali tempat ini, biar disini juga aku tahan mereka selama tiga hari," demikian pikir Nyo Ko. "Tetapi kalau hari ke-4 Locianpwe ini masih belum bangun, aku... aku..."
Sampai disini ia tak berani berpikir lagi, sungguh ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya apa bila sampai saatnya Ang Chit-kong masih belum sadar.
Segera pula ia percepat larinya melintasi jembatan batu ciptaan alam itu, ia rebahkan Ang Chit-kong di bawah satu batu padas di ujung jembatan sana, lalu dengan cepat ia putar balik, sementara itu Tay-kui sudah menyusul sampai di ujung jembatan.
"Siluman jelek, berani kau maju?" bentak Nyo Ko tiba2 sambil menerjang ke depan.
Karena takut ketumbuk dengan Nyo Ko hingga ke-dua2nya tergelincir masuk jurang, lekas2 Tay-kui mundur ke belakang.
Waktu itu fajar sudah menyingsing, sang surya sudah menampakkan diri di ufuk timur dengan cahayanya yang kuning ke-emas2an, salju sudah berhenti turun, lapisan salju yang menutupi seluruh gunung di bawah sorotan sinar matahari, sungguh pemandangan indah yang tiada bandingannya.
Dengan berdiri di tengah jembatan langit itu, tiba2 Nyo Ko pasang kedok kulit manusia di mukanya.
"Hayo, siapa yang lebih jelek, kau atau aku?" bentaknya.
Wajah Ngo-kui dari Tibet ini semuanya memang sangat jelek, tetapi lebih jelek lagi adalah sepak terjang mereka yang jahat, Kini mendadak melihat Nyo Ko berubah wajah yang lain, pucat kuning, kaku tanpa perasaan, mirip seperti mayat hidup yang baru muncul dari kuburan, Seketika Ngo-kui saling pandang dengan kaget.
Pelahan Nyo Ko mundur ke tengah jembatan batu itu, dengan gaya "Kim-ke-tok-lip" atau ayam emas berdiri dengan kaki tunggal, ia berdiri dengan kaki kiri dan kaki kanan sengaja menendang pelahan ke atas sambil ber-gerak.2 diantara hembusan angin pegunungan yang silir, tampaknya alangkah gembiranya pemuda ini.
"Darimanakah Kay-pang mendadak bisa muncul seorang kesatria muda ini?" demikian diam2 Ngo-kui berpikir.
Dan karena tak berani menerjang ke jembatan alam itu, kemudian mereka lantas berunding. Keputusan diambil: mereka akan berjaga secara bergilir untuk mencari bahan makanan ke bawah gunung, dengan demikian tidak sampai dua hari "mereka yakin pemuda itu pasti akan kewalahan karena kelaparan.
Begitulah, lalu empat saudara mereka menjaga rapat di ujung jembatan alam itu dan Ji-kui yang diutus pergi mencari bahan makanan ke bawah gunung.
Dengan cara demikian kedua pihak saling bertahan sampai setengah harian, Nyo Ko tak berani menyeberang ke sana, sebaliknya Su-kui juga tak berani menyeberang kesini."
Sampai lewat lohor, Nyo Ko duduk bersemadi untuk kumpulkan tenaga. Sampai besok paginya, Ji-kui datang kembali dengan membawa makanan, kelima saudara itu sengaja makan dengan bernapsu untuk meng-iming2 Nyo Ko.
Memangnya Nyo Ko sudah kelaparan, tentu saja ia mengiler, menyaksikan orang makan begitu enak. Waktu ia Berpaling memandang Ang Chit-kong, ia lihat pengemis tua ini masih tetap serupa saja seperti hari pertama, pikirnya: "Jika betul2 tidur, adalah lazim kalau suatu ketikapun akan membalik tubuh, tetapi ia justru tidak bergerak sedikitpun jangan2 memang benar2 telah mati? Kalau aku bertahan lagi satu hari, bila lebih lapar dan tak bertenaga, tentu lebih susah lagi untuk lawan kelima musuh itu. Tidaklah lebih baik terjang pergi sekarang saja mungkin masih bisa menyelamatkan diri."
Pelahan2 Nyo Ko berdiri, tetapi lantas terpikir lagi olehnya: "la bilang akan tidur selama tiga hari, kini baru hari kedua, lebih baik jangan kutinggalkan pergi begitu saja."Maka dengan menahan perut yang keroncongan tiada hentinya, ia pejamkan mata melatih lwekang sendiri, tak dipandangnya lagi Ngo-kui yang sedang makan itu.
Sampai hari ketiga, Ang Chit-kong masih merebah saja seperti hari pertama, makin melihat Nyo Ko menjadi semakin sangsi.
"Sudah terang ia telah mati, kalau aku berkeras tak mau pergi, sesungguhnya terlalu bodoh, kalau sampai kelaparan setengah hari lagi, tanpa mereka turun tangan, mungkin aku sendiri akan mati kelaparan," demikian Nyo Ko membatin.
Namun ia tidak putus asa, ia telan dua kepal salju untuk sekedar mengisi perut yang kosong itu, lalu terpikir lagi olehnya: "Terhadap negara aku belum bersetia, terhadap ayah-bunda akupun tak berbakti, pula aku tak punya sanak saudara sekedar menyampaikan rasa hatiku, kini soal "kepercayaan" ini betapapun juga jadinya aku harus menjaganya sampai saat terakhir, apalagi aku Nyo Ko selama hidup ini selalu dipandang hina saja oleh orang, kalau aku tak bisa tepati janji ini, lebih2 aku akan dibuat buah tertawaan mereka, sekalipun aku harus mati, janji tiga hari ini harus kulaksanakan."
Dan karena keputusannya ini, rasa menderitanya lapar menjadi rada ringan.
Sehari semalam ini dengan cepat dilalui lagi, pagi hari keempat, segera Nyo Ko mendekati tubuh Ang Chit-kong, ia raba badan pengemis tua itu dan terasa tetap dingin seperti es. Tanpa tertahan pemuda ini menghela napas.
"Locianpwe," demikian ia memberi hormat kepada badan Ang Chit-kong, "janji tiga hari ini sudah kulakukan, cuma sayang cianpwe sudah terlanjur meninggal dunia, Tecu kuatir tak sanggup menjaga keutuhan jenazahmu, maka terpaksa melemparkan kau ke dalam jurang supaya tidak dibuat hinaan orang2 jahat itu."
Habis ini, dengan cepat ia angkat tubuh Ang Chit-kong dan berjalan ke jembatan alam, tubuh pengemis tua itu hendak dilemparkannya ke jurang.
Pada saat itu juga, melihat Nyo Ko tiba2 hendak tinggalkan jembatan alam itu, Ngo-kui menyangka pemuda ini tak tahan lapar, maka ingin melarikan diri. Dengan cepat mereka saling memberi tanda, segera mereka merubung maju memapaki Nyo Ko.
Tatkala itu Nyo Ko sudah menerjang ke tengah jembatan, sementara itu Tay-kui juga sudah menghadang di tengah jembatan
Dengan sekali gertak mendadak Nyo Ko melemparkan Ang Ching-kong ke bawah jembatan, menyusul ini Tay-kui pun diterjangnya secara be-ringas.
Tak terduga mendadak angin santar berkesiur, tahu2 ada seorang telah melayang lewat melalui kepalanya terus tancapkan kaki di tengah2 antara Nyo Ko dan Ngo-kui.
"Haha, tidurnya Lokiauhoa sekali ini sungguh nyenyak dan puas sekali!" kata orang itu sambil bergelak ketawa, Nyata ia bukan lain dari pada Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong.
Kejadian ini sungguh membikin Nyo Ko girang tidak kepalang, sebaliknya Ngo-kui terkejut dan ketakutan
Kiranya pada waktu Ang Chit-kong dilemparkan ke bawah jembatan tadi, pada saat hampir terjerumus ke bawah, mendadak ia mendusin dan dengan tepat lengannya yang panjang keburu menahan di atas jembatan, berbareng itu orangnya pun melompat lewat di atas kepala Nyo Ko.
Maka tertampaklah Ang Ching-kong menggerak tangan kiri ke depan, menyusul tangan kanan didorong maju, ini adalah satu diantara tipu serangan "Hang-liong-sip-pat-ciang" atau delapan-belas tipu pukulan penakluk naga, yang menjadi kebanggaan hidupnya, yakni yang disebut "kang-liong-yu-hwe".
Tay-kui yang berhadapan pertama dengan Ang Chit-kong, hendak menghindarkan diri juga tak ke buru lagi meski insaf serangan pengemis tua ini tak sanggup disambutnya secara keras, namun tiada jalan lain kecuali berbuat sehisanya, terpaksa ia gunakan kedua telapak tangan untuk tangkis pukulan Ang Chit-kong tadi.
Walaupun begitu toh Tay-kui merasakan kedua lengannya kaku kesemutan dan dada sakit.
Nampak gelagat jelek, kuatir kalau saudara tuanya dihantam terjungkal ke dalam jurang, lekas2 Ji-kui ulur tangannya mendorong punggung sang toako. namun demikian, ketika Ang Chit-kong tambahi tenaga telapak tangannya, tiba2 Ji-kui kena didorong mendoyong ke belakang dan hampiri terbanting jatuh.
Si-kui yang berdiri di belakang Ji-kui, terpaksa pula maju mendukung kedua saudaranya, Dan karena menempel tangannya ini, ia menjadi ikut kontak oleh tenaga pukulan Ang Chit-kong, menyusul mana Si-kui menular pada Sam-kui dan paling akhir Sam-kui menularkan juga pada Go-kui
Kelima orang ini hendak lari tak bisa lari, mau hindarkan diri tak dapat menghindarkan diri, sekejap itu saja, bila Ang Chit-kong tambahi tenaganya sedikit, sekaligus mereka pasti akan kena dipukul mati oleh tenaga pukulan raksasa si pengemis tua itu.
Menyaksikan betapa hebat daya pukulan itu, Nyo Ko menjadi tercengang sambit ternganga kagum.
"Kalian berlima setan jahat ini selamanya melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman, kini terpukul mati di bawah tangan Lokiauhoa, agaknya mati pun tidak penasaran," kata Ang Chit-kong dengan tertawa.
Namun Ngo-kui tak menyerah mentah2, mereka pasang kuda2 dengan kuat, dengan mata mendelik mereka melawan telapak tangan Ang Chit-kong yang tunggal itu dengan gabungan tenaga mereka berlima.
Siapa tahu daya tekanan Ang Chit-kong makin Iama makin berat hingga dada Ngo-kui terasa sesak, buat bernapas saja rasanya sukar.
Pada saat yang sangat genting itu, tiba2 dari jauh sana berkumandang suara "tok-tok-tok" yang keras, dari tikungan jalan sana tahu2 muncul seorang aneh yang berjalan dengan kepala, Siapa gerangan dia kalau bukan Auwyang Hong.
"Ayah!" seru Nyo Ko tanpa pikir.
Akan tetapi Auwyang Hong seperti tak dengar saja, mendadak ia melompat ke belakang Go-kui.
Ia ulur kaki kanan terus menahan kepunggungnya, maka- terasalah tiba2 satu kekuatan yang maha besar telah disalurkan melalui tubuh kelima orang itu.
Melihat Auwyang Hong mendadak muncul di sini, Ang Chit-kong menjadi kaget, apalagi Nyo Ko memanggil padanya "ayah", diam2 pengemis tua ini pikir kiranya bocah ini adalah anak Auwyang Hong, pantas memiliki ilmu silat tinggi.
Dalam pada itu tangannya sudah terasa berat, tenaga pukulan pihak lawan telah menembus datang melalui tubuh Ngo-kui, mau-tak-mau Ang Chit-kong tambahi tenaga dan balas menghantam.
Sejak "Hoa-san-lun-kiam" kedua rampung, selama belasan tahun ini Ang Chit-kong dan Auwyang Hong belum pernah bertemu lagi Meski otak Auwyang Hong rada kurang waras, tetapi karena ia melatih Kiu-im-cin-keng secara terbalik hingga ilmu silatnya makin dilatih makin aneh dan kuat.
Sebaliknya Ang Chit-kong sendiri pernah mendengar sebagian isi kitab Kiu-im-cin-keng itu dari Kwe Cing serta Ui Yong yang ternyata banyak persamaannya dengan dasar ilmu silatnya sendiri, maka iapun sudah jauh lebih maju.
Kini satu sama lain bertemu lagi, apapun juga yang baik selalu mengalahkan yang jahat, meski isi Kiu-im-cin-keng yang asli tak banyak di-pahami Ang Chit-kong, tapi sudah tak kalah dengan Se-tok Auwyang Hong, Si racun tua dari barat.
Beberapa puluh tahun yang lalu kedua orang ini sudah sukar dibedakan siapa yang lebih unggul, sesudah itu masing2 pun bertambah lebih hebat lagi kepandaiannya sendiri2, kini untuk ketiga kalinya mereka bersua di Hoa-san, sesudah saling gebrak, keadaan masih tetap sama kuatnya.
Sudah tentu yang paling celaka adalah Ngo-kui yang tergencet di tengah, mereka menjadi terombang-ambing diantara aduan kekuatan dua "raksasa" ini, tubuh mereka sebentar dingin, sebentar lagi panas, napas merekapun sebentar kencang sebentar kendur, sungguh penderitaan yang mereka rasakan waktu itu beribu kali lebih hebat melebihi siksaan badan.
Beberapa kali Ang Chit-kong mengerahkan tenaganya, secara keras dan secara pelahan, tetapi setiap kali kena dipatahkan oleh tenaga kaki Auw-yang Hong yang memancal di sebelah sana, Ketika kakinya bertambah kuat memancalnya, namun sukar juga bikin Ang Chit-kong mundur sedikitpun
Sesudah saling adu kekuatan ini, kedua orang pun sama kagumnya, maka berbareng mereka melompat ke belakang sambil ketawa ter-bahak2.
Dan karena "lepas tangan" kedua "raksasa" ini, daya tekanan pada Ngo-kui tadi seketikapun hilang hingga tubuh kelima orang itu ter-huyung2 kehilangan imbangan bagai orang mabuk saja.
Sesudah badan kelima orang itu kena digencet ke sana ke mari oleh tenaga raksasa Ang Chit-kong dan Auwyang Hong, isi perut mereka sudah menderita luka parah semua, otot tulang mereka pun lemas dan menjadi orang cacat, sekalipun menghadapi seorang biasa merekapun tak sanggup melawan lagi."Bangsat, hitung2 ajalmu belum sampai, baiknya selanjutnya kalian tak bisa membikin celaka orang lagi, lekas enyah dari sini!" demikian Ang Chit-kong membentak
Maka dengan Iesu dan tindakan sempoyongan, Ngo-kui bertindak pergi pelahan dengan saling dukung-mendukung.
Dalam pada itu, setelah Auwyang Hong berdiri tegak, ia lirik Ang Chit-kong dan lapat2 seperti pernah kenal, maka segera ia menegurnya: "Hai, bagus amat ilmu silatmu, siapakah nama-mu?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat air muka orang yang linglung, Ang Chit-kong tahu selama belasan tahun ini Auwyang Hong masih belum waras dari otaknya yang miring.
"Aku bernama Auwyang Hong, dan kau siapa?" demikian sengaja Ang Chit-kong menjawab.
Hati Auwyang Hong tergetar, ia merasa nama "Auwyang Hong" itu seperti sudah dikenalnya betul, cuma dirinya sendiri bernama apa, itulah ia tak bisa ingat lagi.
"Entah, aku lupa," demikian sahutnya kemudian "Eh, ya, siapakah namaku ya?"
"Hahahaha!", Ang Chit-kong tertawa geli. "Namamu sendiri kenapa tak tahu? lekas kau pulang saja buat meng-ingat2nya".
Auwyang Hong menjadi gusar ditertawai orang.
"Tentu kau tahu, hayo beritahukan padaku," bentaknya.
"Baiklah, aku kasih tahu, kau bernama Hamo katak busuk," sahut Ang Chit-kong.
"Ha-mo, Ha-mo", nama ini memang sangat dikenal Auwyang Hong, kedengarannya rada mirip namanya sendiri, tetapi bila dipikir lagi, rasanya pun bukan.
Seperti diketahui ilmu mujijatnya Auwyang Hong yang sangat diunggulkan yalah "Ha-mo-kang" atau ilmu weduk katak, bila digunakan harus berjongkok seperti lakunya katak Oleh sebab itu Ang Chit-kong sengaja goda dan olok2 padanya.
Auwyang Hong dan Ang Chit-kong adalah musuh kebuyutan selama berpuluh tahun, rasa benci masing2 sudah tertahan dalam di hati mereka, meski dalam keadaan linglung, namun dengan sendirinya Auwyang Hong menjadi gusar demi melihat macamnya Ang Chit-kong.
Di lain pihak demi nampak orang berdiri menjublek, habis itu matanya tiba2 menyorotkan sinar bengis, diam2 Ang Chit-kong telah ber-jaga2.
Betul saja, sekejap kemudian, mendadak terdengar Auwyang Hong menggeram sekali dengan kalapnya ia menubruk maju. Ang Chit-kong tak berani ayal, sekali tangannya bergerak, segera "Hang-liong-sip-pat-ciang" dikeluarkannya.
Cara begitulah kedua jago tua ini memulai dengan pertarungan yang maha sengit di atas jembatan alam di puncak tertinggi dari Hoa-san itu, di kedua sisi mereka adalah jurang yang dalamnya ber-ribu2 tombak, asal sedikit ada yang berlaku meleng, tentu orangnya akan hancur lebur tergelincir ke dalam jurang.
Oleh karena resiko itulah, maka begitu saling gebrak, segera kedua orang mengeluarkan tipu serangan yang paling hebat untuk mengadu jiwa, kalau dibanding dengan pertandingan Hoa-san-lun-kiam yang dilakukan secara halusan, terang sekali ini sudah lain keadaannya.
Kedua jago tua ini kini sudah lanjut umurnya, meski ilmu silat yang dilatih semakin sempurna, tetapi soal tenaga justru berkurang daripada tadinya. Oleh sebab itu, pertarungan sekali ini terutama tidak ditentukan oleh besar-kecilnya tenaga masing2, tetapi semuanya ingin menang dengan tipu2 pukulannya sendiri yang paling bagus.
Dan karena inilah rasanya yang paling untung ialah si Nyo Ko, ia bisa menyaksikan segala kebagusan dari tiap2 ilmu pukulan kedua jago tua itu hingga tidak sedikit intisari yang dia petik, apa lagi dasarnya Nyo Ko memang pintar, pula sudah memahami inti2 Giok-li-sim-keng dan Kiu-im-cin-keng, sudah tentu ia menjadi lebih gampang menerima dimana letak inti ilmu silat kedua jago tua yang hebat itu.
Sewaktu kedua jago tua itu mulai bergebrak Nyo Ko rada kuatir Auwyang Hong akan terjerumus ke dalam jurang mengingat tempat pertempuran yang berbahaya itu, tetapi sesudah saling gebrak, kadang2 ia malah melihat Ang Chit-kong terdesak di pihak terserang, tanpa terasa ia mengharap agar pengemis tua itu diberkahi selamat.
Harus diketahui bahwa Auwyang Hong adalah ayah angkatnya, perasaan kekeluargaan mereka sudah begitu rapat dan melekat, tetapi tindak tanduk Ang Chit-kong juga membawa semacam perbawa yang besar dan agung, hal ini mau-tak-mau membikin Nyo Ko menjadi kagum dan menghormat padanya.
Begitulah sesudah beratus jurus kedua jago tua itu bergebrak, meski kedua orang berulang kali sama2 menghadapi serangan lihay, namun selalu mereka sanggup menyelamatkan diri dengan baik, maka Nyo Ko akhirnya tak perlu berkuatir lagi atas keselamatan kedua orang tua itu, ia justru memusatkan pikirannya untuk mengingat baik2 tipu silat yang diunjuk mereka.
Sudah lama Nyo Ko apalkan isi Kiu-im-cin-keng dengan baik, kini menyaksikan setiap gerak-gerik tipu yang dikeluarkan kedua jago tua itu ternyata cocok sekali dengan intisari pelajaran kitab sakti itu, sungguh bukan buatan rasa girang Nyo Ko, pikirnya: "Satu istilah saja dalam kitab yang disangka cuma biasa saja, siapa tahu mempunyai perubahan2 yang begini luas dan banyak,"
Dan sesudah ribuan jurus pertandingan itu berlangsung, meski kepandaian kedua jago tua itu belum habis dikeluarkan, namun, karena usia yang sudah lanjut, mau-tak-mau napas mereka mulai memburu dan jantung memukul cepat, gerak-gerik merekapun mulai kendur.
"Kalian berdua sudah setengah hari berkelahi, tentunya perut sudah lapar, marilah kita makan yang keyang dulu, nanti bertanding lagi!" demikian Nyo Ko coba teriaki mereka.
Bagi Auwyang Hong segala makanan itu tidak menarik, lain halnya dengan Ang Chit-kong, begitu mendengar kata2 "makan", segera ia melompat mundur sambil berseru: "Bagus, bagus! Memang harus makan duIu!"
Tadi Nyo Ko melihat bakul bambu berisi barang makanan yang dibawa Ngo-kui itu masih berada di situ, maka dengan cepat bakul itu disambernya ke hadapan Ang Chit-kong, waktu ia buka tutup bakul bambu itu, ternyata isinya banyak sekali, ajam-daging komplit dengan nasi dan arak segala.
Soal makan, selamanya Ang Chit-kong tak pernah sungkan2, tanpa permisi lagi ia samber seekor ayam beku, baik daging berikut tulangnya terus dilalap semua hingga bersuara keletak-keletuk.
"Ayah, selama ini berada di manakah kau?" dengan suara lembut Nyo Ko bertanya sambil menyodorkan sepotong daging beku pada Auwyang Hong.
"Aku mencari kau," sahut Auwyang Hong dengan mata mendelong.
Nyo Ko jadi terharu oleh jawaban orang, ia pikir di dunia ini ternyata masih ada juga seorang yang begini cinta padaku dengan sesungguh hati.
Maka sambil merangkul tangan orang, Nyo Ko berkata lagi: "Ayah, Ang-locian-pwe ini adalah orang baik, janganlah kau berkelahi lagi dengan dia."
"Dia, dia ialah Auwyang Hong, Auwyang Hong adalah manusia jahat," kata Auwyang Hong sambil tuding Ang Chit-kong.
Melihat pikiran orang memang abnormal, sungguh pedih sekali hati Nyo Ko.
"Ya, ya, betul Auwyang Hong adalah manusia busuk dan janat, Auwyang Hong pantas mampas!" Ang Ching-kong ter-bahak2 geli.
Tentu saja Auwyang Hong semakin bingung, ia pandang Ang Chit-kong, lalu pandang lagi pada Nyo Ko, matanya menyorotkan sinar yang guram dan hampa, pikirannya pun menjadi kacau, sebisanya ia bermaksud meng-ingat2 sesuatu, tetapi selalu tak bisa mengingatnya.
"Ang-locianpwe," kata Nyo Ko sesudah melayani Auwyang Hong memakan sedikit, "dia adalah ayah angkatku, harap engkau kasihan dia sedang menderita sakit ingatan, sukalah jangan bikin susah lagi padanya."
Ang Chit-kong adalah seorang berbudi demi mendengar permohonan Nyo Ko, berulang kali ia mengangguk "Anak baik, anak baik," demikian pujinya.
Siapa tahu Auwyang Hong yang abnormal itu mendadak melompat bangun lagi.
"Hayo, Auwyang Hong, sekarang maju lagi." demikian ia ber-teriak2 atas nama sendiri kepada Ang Chit-kong, "Daiam hal pukulan kita sama kuat, kini kita boleh coba2 senjata."
"Tak usahlah sudah, anggaplah kau yang menang", sahut Ang Chit-kong sambil geleng2 kepala.
"Menang apa segala? Aku justru ingin bunuh kau," teriak Auwyang Hong tiba-tiba.
Habis itu, ia samber sepotong kayu digunakan sebagai pentung terus menghantam ke atas kepala Ang Chit-kong.
Dahulu, dengan tongkat ular, senjata khasnya, pernah Auwyang Hong malang melintang di dunia persilatan, ilmu permainan tongkatnya itu lihay luar biasa, kini meski tongkatnya tak berular pada ujungnya, namun hantamannya sekali ini ternyata sangat keras, belum tiba pentungnya atau Nyo Ko sudah merasakan samberan angin yang menekan dada.Lekas2 Nyo Ko melompat minggir, waktu ia pandang Ang Chit-kong, dilihatnya pengemis tua ini sudah samber juga sepotong kayu pendek dan dipakai sebagai senjata, lalu kedua jago tua itupun saling labrak lagi dengan serunya.
"Pak-kau-pang-hoat", ilmu permainan pentung pemukul anjing yang dimiliki Ang Chit-kong adalah ilmu silat yang tiada bandingannya di kolong langit ini, cuma tidak sembarangan mau dia keluarkan selain ini iapun punya ilmu permainan pentung lain yang bagus dan lihay, kini satu persatu ia keluarkan untuk labrak Auwyang Hong, maka pertarungan sekali ini menjadi berbeda lagi dengan gebrakan dengan tangan dan kaki tadi, begitu hebat samber-menyambernya tongkat dan pentung hingga Nyo Ko yang menonton di samping ikut berdebat dan ternganga.
Pertarungan sengit ini terus berlangsung sampai magrib, tetapi masih tiada yang lebih unggul atau asor.
Melihat keadaan tempat itu sangat berbahaya, seluruh gunung hanya tanah salju belaka yang halus licin, kedua jago tua itu sudah lanjut usianya, kalau terjadi sedikit meleng, mungkin akan menjadikan penyesalan selama hidup, maka dengan suara keras Nyo Ko ber-teriak2 minta mereka berhenti.
Namun Ang Chit-kong dan Auwyang Hong sedang bertempur dengan napsunya, mana bisa mereka berhenti begitu saja?
Kemudian Nyo Ko dapat akal, ia ingat kegemaran Ang Chit-kong satu2nya: "makan", ia pikir kalau pancing pengemis tua ini dengan makanan enak tentu orang akan mengiler dan boleh jadi untuk sementara bisa diadakan "gencatan senjata".
Maka dengan cepat ia pergi mencari di alas belukar pegunungan itu, ia dapatkan beberapa potong ubi dan singkong, segera ia nyalakan api dan dibakar hingga menguarkan bau sedap.
Betul saja, demi bau sedap itu, segera Ang Chit-kong berteriak: "Ha-mo, busuk, tak mau lagi berkelahi dengan kau, makan dulu paling perlu !"
Habis itu, iapun mendekati Nyo Ko terus samber saja dua potong ubi bakar itu terus digeragoti meski mulutnya sakit kebakar oleh panasnya ubi itu, sambil tiada hentinya ia puji Nyo Ko yang pintar cari barang santapan.
Di sebelah sana Auwyang Hong tidak mau berhenti begitu saja, ia susul Ang Chit-kong terus mengemplang kepala orang dengan tongkatnya.
Namun sama sekali Ang Chit-kong tak berkelit sebaliknya ia samber sepotong singkong bakar terus dilemparkan ke arah Auwyang Hong sambil berseru : "Nih, makanlah !"
Auwyang Hong menjadi tertegun sebelum tongkatnya diayunkan, sebelah tangannya otomatis pun tangkap singkong yang dilemparkan padanya itu terus dimakan, seketika iapun lupa pada pertarungan sengit tadi.
Malam itu mereka bertiga pun tidur di dalam suatu gua, Nyo Ko berusaha agar Auwyang Hong bisa ingat kembali pada kejadian2 masa dahulu, maka beberapa kali ia sengaja memancingnya, tetapi Auwyang Hong selalu hanya ter-menung2 saja tanpa menjawab Kadang2 orang tua ini ketok2 batok kepalanya sendiri dengan kepalan, tampaknya sebisanya hendak mengingat, namun percuma saja karena otaknya se-akan2 sudah pantul ia menjadi sangat masgul.
Karena kuatir orang makin pikir makin gila, lekas2 Nyo Ko menghibur Auwyang Hong buat tidur saja, sebaliknya ia sendiri hanya guIang-guling tak bisa pulas, ia sedang pikirkan ilmu pukulan kedua jago tua yang dilihatnya siang tadi, makin mengingatnya makin bersemangat, sampai akhirnya diam2 ia bangun sendiri dan menjalankan gerak-gerik pukulan itu menurut apa yang dilihatnya, ia merasakan kebagusan ilmu silat yang tiada taranya itu, sampai tengah malam, sesudah sangat lebih, barulah Nyo Ko pergi tidur.
Besoknya pagi2 sekali, waktu Nyo Ko masih layap2 dalam tidurnya, tiba2 didengarnya diluat gua ada suara samberan angin yang men-deru2 di selingi dengan suara bentakan dan lompatan, Lekas Nyo Ko meloncat bangun, di depan gua terlihat Ang Chit-kong dan Auwyang Hong kembali sedang saling labrak dengan ramainya.
Melihat kebandelan kedua orang tua itu, Nyo Ko menghela napas tanpa berdaya, dengan kesal ia duduk menunggu di samping, diam2 iapun ingat baik2 gerak tipu permainan tongkat kedua orang itu, ia merasa setiap gerakan Ang Chit-kong semuanya dapat dibedakan dengan jelas, sebaliknya ge-rak-gerik Auwyang Hong sangat sulit diduga, seringkali kalau Ang Chit-kong berada di atas angin, tahu2 Auwyang Hong keluarkan tipu gerakan aneh dengan cepat, lalu kedudukan merekapun berubah sama kuat Iagi.
Begitulah cara pertandingan mereka yang ber-larut2 ini, siang berkelahi dan malam tidur, terus-menerus berlangsung selama enam hari, begitu payah keadaan dua orang tua ini hingga semangat lesu dan tenaga habis, namun toh masih tiada satupun yang mau mengalah barang sekali serangan saja.
"Jika pertarungan secara demikian berlangsung lagi, dua harimau bertengkar, akhirnya tentu ada satu yang celaka," demikian Nyo Ko membatin.
Karena itu, malamnya ia tunggu sesudah Auwyang Hong tidur, diam2 ia berkata pada Ang Chit-kong : "Marilah Locianpwe keluar, ingin aku bicara sedikit."
Ang Chit-kong tak menolak permintaan itu, ia ikut Nyo Ko keluar gua, mendadak pemuda ini berlutut di hadapannya sambil menjura tiada hen-tinya, tetapi sepatah katapun tak dikatakannya.
Ang Chit-kong adalah orang pintar, segera ia pun tahu maksud hati orang, ia tahu pemuda ini memohon agar kasihan pada Auwyang Hong yang menderita sakit ingatan itu dan suka mengaku kalah saja padanya.
"Baiklah, aku turut permintaanmu," demikian katanya kemudian sambil ketawa ter-bahak2.
Habis itu, dengan menyeret pentungnya iapun bertindak pergi turun ke bawah gunung.
Tak tahunya, baru beberapa langkah ia ber-tindak, se-konyong2 dari belakang ada angin me-nyamber, ternyata Auwyang Hong sudah melompat keluar dari gua terus menyabet dengan tongkatnya.
"Bangsat tua, kau mau lari ya?" bentak Auwyang Hong dengan gusar.
Ang Chit-kong hindarkan tiga serangan orang ber-ulang2, ia bermaksud cari jalan buat pergi, siapa tahu selalu dicegat dan kena dikurung oleh tongkat Auwyang Hong hingga tak sempat meloloskan diri.
Pertandingan silat diantara jago kelas tinggi sebenarnya sedikitpun tidak boleh saling mengalah, kini karena Chit-kong bermaksud mengalah, keruan saja ia menjadi kececar, beberapa kali ia malah hampir dicelakai oleh tongkat lawannya.
Pada suatu ketika, ia lihat Auwyang Hong menyodok cepat dengan tongkatnya ke perutnya, Chit-kong tahu di belakang serangan ini masih disusul serangan yang lebih lihay dan se-kali2 tak boleh dihindari begitu saja, maka terpaksa ia angkat tongkatnya sendiri buat menangkis.
Tak terduga, tiba2 terasa olehnya pada tongkat Auwyang Hong membawa semacam tenaga dalam yang maha kuat dan lihay, sungguh tidak kepalang kejut Ang Chit-kong. "He, kau hendak adu lwekang dengan aku?" demikian sekilas pikiran ini terlintas olehnya.
Betul saja, baru tergerak pikirannya, tahu-tahu tenaga dalam musuh sudah mendesak, dalam keadaan demikian, kecuali melawannya juga dengan tenaga dalam, memang tiada jalan lain Iagi. Segera iapun kumpulkan Lwekangnya buat lawan serangan tenaga dalam Auwyang Hong itu.

Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali - Chin YungUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum