Jilid 23

3.2K 44 0
                                    

Setelah berlari tak jauh, mendadak nona tadi berhenti termenung di depan sebatang pohon bunga cinta. selang sejenak ia menoleh dan tertawa kepada Nyo Ko, lalu berkata: "Jika kuberi tahukan namaku, tapi kau tidak boleh katakan lagi kepada orang lain, lebih-lebih tidak boleh memanggil aku di depan orang lain."
"Wah, banyak amat syaratnya, baiklah, aku bersumpah." ujar Nyo Ko dengan sikapnya yang kocak

Si nona tertawa pula, lalu berkata : "Ayahku she Kongsun..." dia tetap tak mau mengatakan namanya sendiri secara langsung, tapi sengaja berputar untuk menyebut namanya,

"Dan siapakah she nona?" sela Nyo Ko.
"Entah, boleh kau terka sendiri," jawab si nona sambil tertawa geli, lalu melanjutkan: "Yang jelas ayahku memberikan nama kepada puteri tunggalnya yaitu Lik-oh".
"Sungguh nama yang bagus, secantik orangnya," puji Nyo Ko.
Setelah memperkenalkan namanya. Kongsun Lik-oh menjadi lebih akrab terhadap Nyo Ko, katanya pula: "Sebentar ayah akan bertemu dengan kau, tapi jangan kau tertawa padaku."
"Memangnya kenapa?" tanya Nyo Ko.
"Apabila ayah mengetahui aku pernah tertawa padamu, apalagi mengetahui aku telah memberitahukan namaku padamu, wah, entah cara bagaimana dia akan menghukum diriku," kata Kongsun Lik-oh.
"Masakah begitu bengis ayahmu?" ujar Nyo Ko. "Semalam kalian dihukum panggang di rumah batu itu, masakah dia tidak sayang kepada puterinya yang begini cantik ini?"
Mata Kongsun Lik-oh menjadi merah basah. jawabnya: "Dahulu ayah sangat sayang padaku, tapi sejak ibuku meninggal ketika umurku baru sepuluh tahun, selanjutnya ayah lantas makin bengis padaku, Apalagi nanti kalau ayah sudah punya isteri baru, entah bagaimana nasibku ini kelak." Habis berkata, tak tertahan lagi air matanya lantas menetes.
Nyo Ko berusaha menghiburnya: "Setelah menikah, ayahmu tentu gembira dan pasti akan perlakukan kau dengan lebih baik."
Kongsun Lik-oh menggeleng, katanya: "Aku lebih suka dia terlebih bengis padaku daripada dia mengambil isteri baru lagi."
Karena sejak kecil Nyo Ko sudah ditinggalkan ayah-bundanya. maka perasaan kekeluargaan demikian kurang dipahami olehnya, dia hanya ingin membikin senang hati si nona, maka ia berkata pula: "Ibumu yang baru tentu tiada setengahnya daripada kecantikanmu-"
"Salah kau," cepat Lik-oh menyanggah "Justeru ibuku yang baru itulah seorang wanita cantik sejati. ilmu silatnya juga bagus. Kemarin ketika kami berhasil menangkap pulang Ciu Pek-thong, kalau saja ayah dan ibu baru tidak lagi bertanding silat dan tidak sempat memeriksanya tentu si anak tua nakal tak bakalan bisa kabur."
"llmu silat ayahmu dan ibumu yang baru itu siapa lebih tinggi?" tanya Nyo Ko.
"Sudah tentu ayah lebih tinggi, kalau tidak, masakah ibu baru mau menjadi isterinya?" jawab Lik-oh, "Lusa adalah hari perkawinan mereka, besar kemungkinan ayah akan mengundang kalian tinggal dua-tiga hari lagi di sini untuk menghadiri pesta nikahnya. Ai, aku sendiri lebih baik pergi sejauhnya saja."
Setelah berbicara sekian lama, sementara itu sang surya sudah makin tinggi di ufuk timur, Lik-oh tersadar dan berkata: "Lekas kau kembali ke sana, jangan sampai kita dipergoki para suhengku dan dilaporkan kepada ayah."
Serentak timbul rasa kasihan kepada keadaan si nona, Nyo Ko genggam tangan sebelah tangan nona itu dan tangan lain menepuk pelahan pada bahunya sebagai tanda simpatik, habis itu ia terus melangkah kembali ke rumah batu itu.Belum lagi dia memasuki pintu rumah sudah lantas mendengar suara teriakan Be Kong-co yang lagi mengomel karena makanan tidak enak dan merasa disiksa segala.
Terdengar In Kik-si lagi berkata: "Be-heng, jika kau membawa sesuatu barang yang berharga, kukira kau harus menyimpannya dengan baik, tampaknya Kokcu di sini tidak bermaksud baik."
Be Kong-co tidak tahu In Kik-si sengaja menggodanya ia mengira betul apa yang dikatakan itu, maka berulang mengiakan.
Waktu Nyo Ko masuk rumah, tertampak di atas meja batu tersedia beberapa piring kelopak bunga cinta, sudah tentu tiada seorangpun yang doyan makanan istimewa itu dan karena itu semuanya tampak bersungut.
Pada saat itu juga datanglah seorang berbaju hijau dan memberitahu bahwa sang Kokcu mengundang kehadiran Nyo Ko berenam, Kim-lun Hoat ong, Nimo Singh dan lainnya adalah tokoh terkemuka dunia persilatan, di manapun mereka selalu disambut sendiri oleh tuan rumah, bahkan pangeran yang berkuasa seperti Kubilai juga menghormati mereka, siapa duga sampai di lembah sunyi ini mereka justeru diperlakukan dengan dingin oleh tuan rumahnya, tentu saja mereka sangat mendongkol.
Namun, merekapun penuhi undangan itu, hanya dalam hati mereka sama membatin: "Sebentar kalau sudah bertemu biarlah Kokcu keparat itu disuruh rasakan kelihayanku."
Begitulah mereka berenam terus ikut orang berbaju hijau itu menuju ke belakang gunung, mendadak di depan sana terbentang hutan bambu yang luas, biasanya di daerah utara jarang ada pohon bambu, apalagi hutan bambu selebar ini.
Mereka terus menyusuri hutan bambu itu, terendus bau harum bunga yang menyegarkan semangat. Setelah menembus hutan bambu itu, terlihatlah alam luas sejauh mata memandang penuh Cui-sian-hoa (bunga dewi air) belaka.
Kiranya tanah di situ adalah empang yang dangkal, dalam air cuma sebatas betis saja dan penuh tumbuh bunga yang harum itu.
Padahal Cui-sian-hoa itu adalah tumbuhan khas daerah selatan, entah mengapa bisa muncul di atas gunung daerah utara ini? Kim-lun Hoat-ong pikir tentu di puncak gunung ini adalah sebangsa sumber air panas, karena tanahnya menjadi subur dan hawa hangat, makanya bunga daerah selatan dapat tumbuh dan mekar dengan suburnya.
Pada permukaan empang yang sangat luas itu kelihatan ada tonggak kayu yang berjajar dalam jarak dua-tiga meter, Orang berbaju hijau yang mengantar mereka itu mendahului melompat ke atas tunggak kayu pertama, seterusnya ke tunggak kedua dan ketiga dan begitu selanjutnya seperti di tanah datar saja.
Nyo Ko berenam juga menirukan cara melintasi empang itu seperti orang berbaju hijau, hanya Be Kong-co saja karena tubuhnya segede kerbau, Ginkangnya juga kurang, meski langkahnya lebar, tapi sukar mencapai dua-tiga meter sekali melangkah, akibatnya beberapa tunggak menjadi ambruk terinjak olehnya, akhirnya ia menjadi tidak sabar, diseberanginya empang itu dengan berjalan di air.
Sesudah melintasi empang bunga dewi air, tertampaklah di tempat yang rindang di kejauhan sana enam tamunya. lalu berkata: "Selamat datang, silahkan, kelihatan dua kacung berbaju hiiau dengan memegang kebut yang semula berdiri di depan pintu, seorang diantaranya segera masuk melapor, sedangkan kacung yang Iain lantas membukakan pintu untuk menyambut tamu.
Selagi Nyo Ko ragu apakah tuan rumahnya juga akan muncul menyambut kedatangan mereka atau tidak, sekonyong-konyong bayangan hijau berkelebat di depan mata, tahu-tahu seorang kakek berjenggot panjang dan berjubah hijau sudah berdiri di depan mereka.
Perawakan kakek ini sangat pendek, tidak lebih dari satu meter, mukanya jelek lagi aneh, mulutnya menjengkit, hidungnya pesek, daun telinga lebar seperti kuping gajah, memakai jubah hijau dari kain kasar, ikat pinggangnya adalah tali rumput warna hijau pula, Sungguh istimewa wajah dan dandanannya.
Nyo Ko merasa heran bahwa puterinya begitu cantik, mengapa sang Kokcu begini aneh dan jelek?
Kakek cabol itu memberi hormat kepada ke-enam tamunya, lalu berkata: "Selamat datang, silakan duduk di dalam dan sekadar minum teh !"
Nimo Singh berpikir: "Aku sendiri pendek.. tapi Kokcu di sini ternyata juga cebol, sebentar ingin kutahu apakah cebol macammu lebih hebat atau cebol macamku lebih lihay." Segera ia mendahului ke depan dan mengulurkan tangan sambil berkata: "Selamat bertemu !"
Kakek berjenggot panjang itupun menyodorkan tangannya, begitu tangan berjabat tangan, seketika Nimo Singh mengerahkan tenaganya.
Melihat kedua orang bermaksud menguji tenaga, orang lain cepat menyingkir ke samping, mereka tahu pertandingan dua tokoh lihay tentu tidak boleh diremehkan akibatnya.
Semula Nimo Singh hanya mengerahkan tiga bagian tenaganya, terasa pihak lawan tidak memberi reaksi apapun dan juga tidak balas menggempur. ia rada heran, segera ia tambahi lagi tiga bagian tenaga, terasa yang tergenggam ditangan itu seperti sepotong kayu yang keras, Waktu Nimo Singh menambahi lagi tiga bagian tenaganya, sekilas air muka kakek berjenggot panjang itu bersemu hijau, lalu tenang kembali dan tangannya tetap kaku dan keras.
Nimo Singh sangat heran, sisa tenaganya yang masih sebagian itu tidak berani dikeluarkan lagi, ia kuatir kalau mendadak pihak lawan melancarkan serangan balasan dan diri sendiri sudah tiada tenaga cadangan untuk menghadapi tentu diri sendiri akan celaka. BegituIah ia lantas tertawa, lalu me!epaskan tangan lawan".
Pertarungan halus ini ternyata tidak kelihatan pihak mana yang lebih unggul entah si kakek berjenggot sengaja mengalah atau memang cuma begitu saja kekuatannya. Nimo Singh merasa sia-sia ketika perasaannya tadi, betapa hebat kepandaian lawan ternyata sedikitpun sukar dijajaki.
Kim-lun Hoat-ong berjalan di belakang Nimo Singh, ia sangat cerdik, ia pikir kalau Nimo Singh tak dapat mengukur kepandaian lawan, maka dirinya juga tidak perlu mengujinya Iagi. Dengan tenang ia terus masuk saja kedalam rumah disusul dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si.
Menyusul adalah Be Kong-co, dilihatnya jenggot si kakek yang panjang itu terjulai sampai di atas tanah, Memangnya dia sedang dongkol karena sejak pagi belum makan apapun, rasa lapar ditambah rasa gusar, segera ia sengaja mencari gara-gara.
Waktu melangkah masuk pintu rumah itu, ia berlagak tidak tahu, sebelah kakinya terus menginjak ke atas jenggot si kakek sehingga ujung jenggot terinjak.
Tapi kakek itu tidak berbuat apapun, dia cuma berkata : "Hati-hati tuan."
Kaki Be Kong-co yang lain sengaja menginjak pula di atas jenggot orang, lalu pura-pura tidak tahu dan bertanya : "Ada apa ?"
Si kakek menggeleng pelahan, kontan Be Kong-co tergebat dan jatuh terjengkang.
Jatuhnya sesosok tubuh sebesar itu tentu saja menimbulkan suara gedebuk yang keras.
Nyo Ko berjalan paling belakang, cepat ia memburu maju, --sebelah tangannya menyanggah pantat Be Kong-co terus disodok ke depan, seketika tubuh yang besar itu melayang ke sana, dengan enteng dapatlah Be Kong-co berdiri tegak kembali sambil meraba bckong yang kesakitan itu dengan meIongo.
Si kakek berjenggot anggap tidak pernah terjadi apapun, dia menyilakan keenam tamunya mengambil tempat duduk yang telah tersedia, lalu berseru nyaring: "Para tamu sudah tiba, harap Kokcu suka menemuinya."
Nyo Ko dan lainnya sama terkesiap, baru sekarang mereka tahu bahwa si kakek cebol berjenggot panjang ini kiranya bukan sang Kokcu.
Dalam pada itu dari ruangan belakang telah muncul belasan orang lelaki perempuan berseragam baju hijau dan berdiri berjajar di sebelah kiri, Habis itu dari balik pintu anginpun keluar seorang lelaki, setelah memberi salam kepada tetamunya, lalu iapun berduduk.
Orang terakhir ini adalah sang Kokcu, usianya sekitar 45-46 tahun, wajahnya bagus, dapat dibayangkan 20 tahun yang lalu tentu dia ini seorang pemuda yang cakap, cuma sekarang air mukanya rada pucat kuning dan kurus sehingga sukar diketahui bahwa dia memiliki ilmu silat maha tinggi.
Sesudah Kokcu itu berduduk, beberapa kacung berbaju hijau lantas menyuguhkan teh. Di ruangan tamu ini segala perabotan dan pakaian seluruhnya berwarna Hijau, hanya jubah yang dipakai sang Kokcu berwarna biru manikam sehingga tampaknya sangat menyolok di tengah2 yang segalanya serba hijau itu.
Sejenak kemudian sang Kokcu mengebaskan lengan bajunya yang panjang, lalu angkat mangkok teh dan berseru. "Silakan minum tuan-tuan yang terhormat !"Melihat air teh di dalam mangkok yang di-suguhkan padanya itu sangat cemplang, keruan hati Be Kong-co bertambah dongkol ia terus berteriak: "He, tuan rumah, daging kau tidak doyan, minum teh juga setawar ini, pantas kalau kau selalu kelihatan sakit-sakitan."
Sang Kokcu tidak memperlihatkan reaksi apa-pun, sehabis minum tehnya, ia menjawab : "Selama beberapa ratus tahun hidup di lembah ini kami melulu makan minum cara begini."
"Coba jelaskan, apa paedafanya hidup cara demikian? Apakah bisa menjadikan kau panjang umur?" tanya Be Kong-co.
"Yang pasti pantangan makan barang berjiwa dan hidup sederhana demikian sudah dimulai sejak kakek moyang kami hijrah menetap di sini pada jaman Tong-hian-cong, kami sebagai anak cucunya tiada yang berani melanggar peraturan ini," jawab sang Kokcu.
"Oh, jadi keluarga kalian sudah menetap di sini sejak dinasti Tong, sungguh lama dan kerasan sekali," kata Kim-lun Hoat-ong.
Mendadak Siau-siang-cu ikut bertanya dengan suaranya yang banci: "Eh, jika begitu kakek moyangmu itu tentu pernah melihat Nyo-kuihui (seorang selir kaisar Tong-hian-cong yang sangat cantik)?"
Suara Siau-siang-cu ini kedengaran sangat aneh, sebenarnya suaranya sudah cukup dikenal oleh Nimo Singh, In Kik-si dan lainnya, karena ini mereka menjadi heran, mereka sama memandang wajah Siau-siang-cu, serentak mereka terperanjat ternyata wajah Siau-siang-cu telah berubah sama sekali, mukanya yang memang kaku pucat sebagai mayat kini bertambah aneh luar biasa.
Diam-diam Nimo Singh dan lainnya menjadi jeri, mereka menyangka ilmu yang dilatih Siau-siang-cu itu ternyata begini lihay, apabila dikeluarkan bahkan air mukapun bisa berubah sama sekali. Bahwa sekarang Siau-siang-cu telah mulai mengerahkan ilmunya, tentu segera dia akan mulai melabrak sang Kok-cu. Karena pikiran demikian, Nimo Singh dan lainnya juga sama siap siaga.
Begitulah terdengar sang Kokcu lagi menjawab: "Leluhurku memang pejabat tinggi dan pemindahan leluhur kami ke sini ketika itu memang untuk menghindari keganasan menteri dorna Nyo Kok-tiong yang berkuasa pada masa itu."
Kembali Siau-siang-cu mengakak dan berkata: "Haha, jika begitu leluhurmu itu pasti pernah minum air cuci kaki Nyo-kuihui."
Ucapan ini sungguh membikin kaget semua orang, jelas kata-kata demikian berarti suatu tantangan terhadap sang Kokcu dan pertarungan pasti segera akan terjadi.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa heran, padahal mereka kenal Siau-siang-cu biasanya sangat licik dan licin, segala persoalan lebih suka ditimpakan kepada orang lain, mengapa sekarang dia mau tampil ke muka sendiri?
Kokcu itu ternyata tidak gubris ucapan Siau-siang-ciu itu, dia cuma memberi isyarat kepada si kakek jenggot panjang yang berdiri di belakangnya.
"Hm" kakek berjenggot itu berseru: "Kokcu menghormati kalian sebagai tamu, sebab itulah kalian diperlakukan dengan baik, tapi mengapa kau bicara secara ngawur ?"
Siau-siang-cu terkekeh lagi dan berkata dengan nada suara yang dibuat-buat: "Hehe, leluhurmu itu pastilah pernah minum air cuci kaki Nyo-kui-hui, aku berani bertaruh dengan potong kepalaku ini."
Be Kong-cu merasa terheran-heran, ia bertanya: "Hai, Siau-heng, darimana kau tahu begitu pasti ? Apakah waktu itu kau juga minum air cuci kaki itu bersama dia?"
Kembali Siau-siang-cu tertawa, tapi sekali ini nada suaranya berubah pula, katanya: "Jika bukan lantaran muak terlalu banyak minum air cuci kaki itu, mengapa orang hidup tidak makan minum sebagaimana lazimnya ?"
Kim-lun Hoat-ong dan lainnya sama mengerut kening dan merasa ucapan Siau-siang-cu ini keterlaluan, makan-minum adalah kebiasaan masing2 orang, mana dapat dipersamakan dan dijadikan bahan olok-olok?
Tampaknya si kakek berjenggot panjang tidak tahan lagi, ia melangkah ke tengah ruangan dan berseru : "Siau-siansing, setahuku kami tidak berbuat kesalahan apapun padamu, jika engkau benar-benar ingin coba-coba, marilah maju sini !"
"Boleh!" kata Siau-siang-cu, mendadak orangnya bersama kursinya melompati meja di depannya dan tahu-tahu berduduk di tengah ruangan, "Nah, kakek jenggot panjang, siapa namamu ? Kau kenal namaku, tapi aku tidak tahu namamu, kan tidak adil?"
Ucapan ini seperti tepat tapi juga lucu, keruan kakek berjenggot itu bertambah gusar, tapi diam2 iapun waspada setelah menyaksikan lompatan orang berikut kursinya dengan gaya yang gesit dan lihay itu.
Terdengar sang Kokcu berkata: "Boleh kau beritahukan dia, tidak soal."
"Baik," jawab si kakek berjenggot panjang, "Nah, dengarkan, aku she Hoan bernama It-hong. sekarang silakan berdiri dan marilah kita mulai!"
"Kau menggunakan senjata apa? Coba perlihatkan padaku dahulu !" kata Siau-siangcu.
"Kau ingin bertanding dengan bersenjata? Boleh juga !" ucap Hoan It-hong. Mendadak sebelah kakinya memukul lantai sambil berseru : "Ambilkan sini!"
Serentak dua kacung berbaju hijau tadi berlari ke ruangan dalam, keluarnya kedua kacung itu sudah menggotong sebatang tongkat yang pangkalnya berukirkan kepala naga, panjang tongkat sekitar, dua meter.
Tentu saja Nyo Ko dan lainnya terperanjat, mereka tidak habis paham mengapa si kakek cebol itu menggunakan senjata yang panjangnya hampir dua kali daripada panjang badannya, cara bagaimana akan dapat dimainkannya?
Ternyata Siau-siang-cu tidak ambil pusing terhadap senjata orang, ia sendiri lantas mengeluarkan dari dalam bajunya yang longgar itu sebuah gunting raksasa dan berkata: "lni senjataku, apakah kau tahu kegunaannya ?"
Kalau semua orang paling-paling cuma heran saja atas gunting besar itu, tidak demikian dengan Nyo Ko, ia terperanjat sekali, tanpa meraba rangselnya iapun yakin bahwa gunting besar miliknya itu sudah hilang.
Gunting raksasa itu khusus dipesannya pada pandai besi Pang dan ingin digunakan untuk memotong ujung kebut Li Bok-chiu, kini ternyata kena dicuri oleh Siau-siang-cu di luar tahunya?
Sementara itu Hoan It-hong telah pegang tongkat panjang yang digotong keluar kedua kacung tadi, dia pegang bagian tengah tongkat, lalu di-jungkirkan, pangkal tongkat dipukulkan pelahan pada lantai.
Karena ruangan tamu rumah batu itu sangat luas, ketokan tongkat baja itu dengan sendirinya menimbulkan suara gemerantang yang nyaring mengejutkan.
Dengan tangan kanan Siau-siang-cu memegangi guntingnya, jarinya dikerjakan sekuatnya barulah gunting itu dapat terbuka dan terkatup, lalu ia berseru : "He, orang cebol berjenggot, tentunya kau tidak kenal nama guntingku ini, apakah kau perlu kuberitahukan dahulu ?"
"Huh, senjata rombengan entah kau temukan dari mana, masakah punya nama yang baik?" jengek si kakek alias Hoan It-ong dengan mendongkol.
"Benar, namanya memang kurang enak di-dengar," ujar Siau-siang-cu dengan bergelak tertawa, "Gunting ini disebut Kau-mo-cian (gunting bulu anjing)."
Nyo Ko merasa kurang senang, pikirnya : "Brengsek ! Masakah guntingmu itu kauberi nama begitu ?"
Dalam pada itu terdengar Siau-siang-cu lagi berkata : "Karena kutahu di sini ada makhluk aneh berjenggot panjang, maka sengaja kupesan gunting bulu anjing ini untuk memotong jenggotmu".
Berbareng Nimo Singh dan Be Kong-co bergelak tertawa, In Kik-si dan Nyo Ko juga ikut tertawa walaupun tidak keras, Hanya Kim-lun Hoat-ong dan sang Kokcu saja yang tetap duduk tenang berhadapan seperti tidak mendengar apa yang terjadi itu.
Segera Hoan It-ong angkat tongkatnya dan diputar sedikit, serentak berjangkit angin keras, lalu ia berkata: "Memangnya jenggotku ini sudah terlalu panjang, jika kau ingin menjadi tukang cukur, wah, kebetulan bagiku, Nah silakan mulai !"
Siau-siang-cu seperti terkesima memandangi dinding ruangan itu dan sama sekali tidak mendengarkan ucapan Hoan It-ong, tapi begitu orang selesai bicara, mendadak guntingnya menyambit ke depan secepat kilat, "creng", kontan ia menggunting jenggot lawan.
Sama sekali Hoan It-ong tidak menyangka dalam keadaan masih berduduk mendadak Siau-siang-cu dapat melancarkan serangan, untuk menghindar jelas tidak keburu lagi, terpaksa ia menggunakan gerakan istimewa, sekuatnya tangan menahan batang tongkatnya, tubuhnya terus meloncat ke atas.Dalam sekejap itu kedua orang telah sama2 memperlihatkan gerak kilat yang mengejutkan namun Hoan It-ong tetap rugi dalam keadaan diserang lebih dulu tanpa terduga, meski guntingan itu dapat dihindarkan, tidak urung ujung beberapa utas jenggotnya masih tergunting putus juga.
Siau-siang-cu tampak sangat senang, jenggot yang putus itu disambernya terus ditiupnya, tiga-tmpat utas jenggot itu lantas terbang ke arah mangkok teh sendiri yang terletak di meja, menyusul terdengarlah suara nyaring, mangkok teh itu jatuh dan pecah berantakan.
Nyo Ko dan lainnya cukup paham bahwa pecahnya mangkok itu adalah disebabkan hawa yang ditiupnya Siau-siang-cu itu. Tapi Be Kong-co tidak tahu hal ikhwalnya, ia mengira mangkok teh itu jatuh lantaran tersodok oleh samberan bulu jenggot yang ditiup itu. Segera ia berteriak: "Wah, hebat benar jenggotmu itu, Siau-siang-cu !"
Sambil tertawa Siau-siang-cu mengacipkan guntingnya beberapa kali hingga menimbulkan suara "creng-creng", katanya: "Hayo maju sini, jenggot cebol!"
Semua orang kini dapat melihat lebih jelas ketika Siau-siang-cu tertawa ternyata kulit mukanya sama sekali tidak bergerak keruan semua orang bertambah kejut dan heran, Bahwa orang yang memiliki Lwekang maha tinggi memang sanggup tidak memperlihatkan sesuatu tanda gusar atau gembira, tapi air muka Siau-siang-cu yang kaku dan seram meski dalam keadaan gembira, hal ini sungguh luar biasa dan belum pernah mereka alami.
Berulang kali dipermainkan, Hoan It-ong semakin murka, ia memberi hormat kepada sang Kokcu dan berkata: "Suhu, terpaksa Tecu tidak dapat menghormati tamu kita secara layak."
Nyo Ko heran mendengar kakek cebol berjenggot itu memanggil sang Kokcu sebagai Suhu, padahal umurnya jauh lebih tua, masakah malah menyebutnya sebagai guru?
Terlihat sansi Kokcu memanggut sekalian sambil melambaikan tangannya, Segera Hoan It-ong mengayun tongkatnya, "wuttt", kontan kursi yang diduduki Siau-siang-cu itu dihantam. Meski tubuhnya pendek, tapi tenaganya luar biasa hebatnya, tongkat baja yang bobotnya ratusan kati itu, bila sampai kursi itu kena dihantam, tentu akan hancur berkeping.
Walau Nyo Ko dan lainnya datang bersama Siang-siang-cu, tapi sampai di mana kepandaian smjati kawannya itu hakikatnya merekapun tidak tahu persis, Maka mereka lantas mengikuti pertarungan itu dengan penuh perhatian.
Kelihatan tongkat si kakek sudah dekat dengan kaki kursi, mendadak tangan kiri Siau-siang-cu menjulur ke bawah, ternyata tongkat itu hendak dipegangnya. Malahan sekaligus gunting di tangan lain terus menyamber ke depan untuk menggunting jenggot lawan yang panjang itu.
Tidak kepalang gusar Hoan It-ong karena merasa orang terlalu meremehkan dirinya, cepat ia miringkan kepalanya hingga jenggotnya yang panjang itu melayang ke samping dan tongkatnya tetap dipukulkan ke tangan Siau-siang-cu yang hendak menangkap senjatanya itu, serangan ini dengan tepat mengenai telapak tangan, serentak semua orang bersuara kaget dan berbangkit.
Hoan It-ong menduga tangan orang pasti akan patah kena dihantamnya, tak tahunya ketika menyentak sasarannya, rasanya tongkat seperti menghantam air, lunak dan enteng, ia sadar keadaan bisa runyam, cepat ia menarik kembali tongkatnya, namun sudah terlambat, tongkat sudah tergenggam kencang oleh tangan Siau-siang-cu.
Segera Hoan It-ong merasakan pula lawan sedang membetot, segera ia dorong sekalian tongkatnya ke depan, Tongkat itu amat panjang, maka dorongannya itu sangat kuat, tampaknya Siau-siang-cu pasti akan terdesak meninggalkan kursinya jika tidak mau roboh terjungkal.
Tak terduga sedikit Siau-siang-cu kencangkan pantatnya, serentak orang berikut kursinya meloncat lagi ke samping, seketika dorongan tongkat Hoan It-ong tidak mencapai sasarannya, sedangkan pegangan Siau-siang-cu pada tongkatnya juga lantas dilepaskan.
Cepat Hoan It-ong memutar tongkatnya yang panjang itu dan kembali menyabet ke kepala lawan, Agaknya Siau-siang-cu sengaja hendak pamer kepandaiannya kembali orang bersama kursinya meloncat setingginya dan melayang lewat di atas samberan tongkat musuh.
Melihat gerakannya yang aneh lagi gesit itu, meski duduk di atas kursi, tapi tiada bedanya seperti orang berdiri saja, tanpa terasa semua orang sama bersorak memuji.
Hoan It-ong tak berani ceroboh lagi menghadapi lawan yang lihay itu, ia putar tongkatnya sedemikian cepat, ia pikir untuk menghantam tubuh orang jelas sukar, kalau dapat menghancurkan kursinya rasanya lebih baik. Karena itu tongkatnya terus mengincar untuk menyabet kursi lawan.
Siapa tahu ilmu silat Siau-siang-cu sungguh maha sakti, gunting di tangan kanan terus mengincar jenggot lawan, sedangkan tangan kiri selalu berusaha hendak merampas tongkat baja. Kedua orang terus berkisar kian kemari di ruangan tamu yang luas itu, dalam sekejap saja berpuluh jurus sudah berlangsung, tampaknya kedua orang sama kuat dan belum ada yang lebih unggul, tapi Siau-siang-cu yang tetap berduduk saja di kursinya, serangan Hoat It-ong ternyata disepelekan olehnya.
Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya terkejut, mereka tidak mengira Siau-siang-cu yang lebih mirip mayat hidup itu ternyata memiliki kepandaian sehebat ini.
Setelah belasan jurus lagi, tongkat Hoan It-ong masih terus mengincar dan menyabet kursi lawan, terdengar suara kaki kursi yang mengetok lantai riuh ramai tiada hentinya dan makin lama makin cepat.
Mendadak sang Kokcu berseru kepada Hoan It-ong: "Jangan hantam kursinya, kau pasti bukan tandingannya !"
Hoan It-ong melengak, tapi segera ia menyadari peringatan sang guru, ia pikir: "Ya, dia duduk di atas kursi barulah aku sanggup menandingi dia dengan sama kuat, apabila kursinya hancur dan dia berdiri di tanah, mungkin dalam beberapa jurus saja jenggotku pasti sudah terpotong oleh guntingnya."
Cepat ia ganti permainan tongkatnya dan diputar semakin cepat sehingga tubuhnya yang pendek itu se-olah2 terbungkus oleh sinar tongkat, sedangkan di luar gulungan sinar perak itu adalah sesosok bayangan orang yang mirip mayat hidup sedang berlompatan, pemandangan demikian menjadi sangat aneh dan menarik
Rupanya sang Kokcu tahu Siau-siang-cu sengaja hendak mempermainkan lawannya, kalau berlangsung lagi, sebentar Hoan It-ong pasti akan kecundang.
Segera ia berbangkit dan melangkah maju, katanya: "lt-ong, kau bukan tandingan orang kosen ini, mundur saja kau !"
Karena perintah sang guru itu, Hoan It-ong mengiakan dengan suara keras, tongkatnya ditarik dan segera ia hendak mengundurkan diri.
Tak terduga Siau-siang-cu terus berteriak: "Tidak boleh ! Tidak boleh !" - Mendadak tubuhnya melayang maju meninggalkan kursinya terus menubruk ke atas batang tongkat.
Terdengarlah suara "krak" yang keras, kursi terhantam hancur oleh ujung tongkat Hoan It-hong, namun berbareng itu batang tongkat juga kena ditahan ke bawah oleh tangan kiri Siau-siang-cu terus diinjak dengan kaki kiri, menyusul gunting raksasa di tangan kanan terbuka, jenggot Hoan liong yang panjang legam itu sudah terjepit pada mata guntingnya, sekali gunting dikasipkan, tanpa ampun jenggot yang indah menarik itu pasti akan putus.
Tak tahunya jenggot panjang yang dipelihara Hoan It-ong itu sesungguhnya juga semacam senjata yang maha lihay, daya gunanya serupa dengan ruyung, cambuk dan sebagainya, Terlihat sedikit Hoan It-ong menggeleng kepalanya, serentak jenggotnya yang panjang itu terus menguntir dan terlepas dari mata gunting, malahan sempat pula balas melilit gunting lawan, menyusul kepalanya mendongak ke belakang, dengan tenaga maha kuat ia membetot untuk rebut gunting musuh.
"Haya, cebol tua, jenggotmu sungguh lihay, kagum sekali aku !" seru Siau-siang-cu sambil bertahan sekuatnya.
Begitulah jadinya jenggot seorang membelit pada gunting dengan kencang, sebaliknya seorang lain menahan batang tongkat dengan sebelah kaki dan tangan, seketika keduanya sukar melepaskan diri.
"Haha ! Menarik ! Menarik !" seru Siau-siang-cu dengan tertawa gembira.
Pada saat itulah sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan orang, cepat luar biasa seorang telah menerjang masuk, sekaligus kedua tangannya menghantam punggung Siau-siang-cu.
"Siapa itu?" bentak sang Kokcu.
Sergapan yang cepat dan ganas itu tampaknya pasti akan kena pada sasarannya, Namun kembali Siau-siang-cu memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa, tangan kirinya membalik ke belakang, dengan mudah saja ia telah dapat mematahkan tenaga pukulan musuh yang menyerangnya itu."Keparat, jahanam !" teriak penyergap itu dengan gusar "Biar kuadu jiwa dengan kau !"
Waktu Nyo Ko dan lainnya mengawasi penyergap ini, mereka menjadi kaget dan heran, "He, Siau-siang-cu !" seru mereka berbareng.
Kiranya penyergap ini juga Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal itu, mengapa dia bisa berubah menjadi dua dan sebab apa dia menyergap pada dirinya sendiri yang kembar itu? seketika mereka menjadi bingung.
Setelah diamat-amati pula, orang yang lagi bergelut dengan Hoan It-ong itu memang jelas memakai dandanan Siau-siang-cu, pakaiannya, sepatunya dan topinya, semuanya persis, tapi wajahnya ternyata berbeda daripada wajah asli Siau-siang-cu meski air mukanya juga kaku pucat sebagai mayat sebaliknya wajah orang yang datang belakangan itu persis dengan Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal hanya baju yang dipakainya berwarna hijau seperti seragam yang dipakai orang-orang di Cui-sian-kok ini.
Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong sama2 dapat berpikir cepat, sejenak saja mereka sudah dapat menerka apa yang terjadi sebenarnya.
Sementara itu Siau-siang-cu yang berbaju hijau tua dengan kedua tangan yang kurus laksana cakar itu kembali mencengkeram lagi ke punggung Siau-siang-cu yang memegang gunting sambil berteriak: "Keparat ! Main curang, jago macam apa kau?"
Hoan It-ong heran dan kejut juga meski mendapatkan bala bantuan, walau orang mengenakan seragam hijau, tapi mukanya tak dikenal sementara ia mundur ke pinggir dan menyaksikan kedua orang yang menyerupai mayat hidup itu saling labrak dengan serunya.
Kini Nyo Ko sudah dapat menduga bahwa orang yang memegang gunting itu pasti telah mencuri kedok kulit manusia pemberian Thia Eng tempo hari dan dipakainya, lalu ganti pakaian Siau-siang-cu dan sengaja mengacau ke ruangan ini soalnya wajah Siau-siang-cu memang kaku seperti orang mati, maka sejak mula tiada orang yang memperhatikannya.
Setelah mengamat-amati sekian lama dan dapat mengenali gaya ilmu silat orang bergunting itu, segera Nyo Ko berseru : "Hai, Ciu Pek-thong, kembalikan kedok dan guntingku !" - Berbareng ia melompat maju untuk merebut gunting.
Kiranya orang itu memang betul Ciu Pek-thong adanya, Dia tertawan oleh keempat murid Cin-sian-kok dengan jaring ikan, Meski wataknya nakal dan jahil, tapi ilmunya memang maha sakti, sedikit meleng saja keempat orang itu segera Ciu Pek-thong berhasil lolos dengan membobol jaring, akibatnya sang Kokcu menghukum keempat orang itu dengan hukum panggang.
Ciu Pek-thong tidak lantas kabur, dia sembunyi di suatu tempat, dia memang sengaja hendak mengobrak-abrik lembah sunyi itu. Tapi segera dia lihat Nyo Ko berenam juga datang ke situ, Malamnya dia melakukan sergapan, Siau-siang-cu diculiknya hingga tak bisa berkutik, lalu dipindahkan ke luar rumah dan dilucuti pakaiannya untuk dipakai sendiri.
Karena Ginkangnya maha sakti, pergi datang tanpa suara dan tak meninggalkan bekas, maka dalam tidurnya Siau-siang-cu kena dikerjai, bahkan Kim-lun Hoat-ong dan lainnya juga tidak mengetahui akan kejadian itu.
Setelah mengganti pakaian Siau-sian cu, lalu Ciu Pek-thong masuk lagi ke rumah itu dan tidur di sisi Nyo Ko, kesempatan itu digunakan pula untuk menggerayangi rangsel pemuda itu, gunting dan kedok kulit dapat dicurinya. Esoknya ternyata semua orang juga belum menyadari akan perbuatan Ciu Pek-thong itu.
Sudah tentu Siau-siang-cu berusaha melepaskan diri dari tutukan Ciu Pek-ehong, tapi lantaran ilmu Tiam-hiat yang digunakan Ciu Pek-thong itu sangat lihay, sampai tiga-empat jam kemudian barulah Siau-siang-cu berhasil melancarkan jalan darah dan dapat bergerak kembali sementara itu tubuhnya hanya memakai baju dan celana dalam saja, sudah tentu dia sangat dongkol dan murka. Ketika kebetulan seorang murid Cui-sian-kok lewat di situ, secepat kilat ia merobohkannya dan merampas bajunya untuk dipakai, lalu memburu ke rumah batu yang besar itu.
Pada saat itu dilihatnya Ciu Pek-thong dengan memakai bajunya sendiri sedang bertempur sengit dengan Hoan It-ong, dengan murka ia terus menerjang maju, sekaligus ia ingin membinasakan Ciu-Pek-thong dengan pukulannya yang dahsyat, beberapa jurus kemudian lalu Nyo Ko juga ikut maju mengeroyok.
Tapi Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian khas yang dilatihnya ketika dia disekap di Tho hoa-to dahulu oleh Ui Yok-su, yaitu dua tangan memainkan silat yang berbeda, Maka dengan tangan kiri ia layani Nyo Ko, sedang tangan kanan dengan gunting ia lawan Siau-siang-cu, guntingnya sebentar terbuka dan sebentar terkatup, betapapun Siau-siang-cu tidak berani sembarangan mendekat.
Maklumlah, gunting itu amat besar, kalau mata gunting terbuka, jaraknya hampir setengah meter, kalau saja leher tergunting, mustahil kepala takkan berpisah dengan tuannya, Karenanya, meski Siau-siang-cu sangat murka, tapi iapun tidak berani sembarangan melancarkan serangan.
Dalam pada itu sang Kokcu masih terus mengikuti pertarungan sengit itu. Sudah turun temurun Kokcu itu menetap di lembah sunyi ini, ilmu silat keluarganya juga turun-temurun semakin hebat.
Pada umumnya ada kebiasaan buruk dalam dunia persilatan, lantaran kuatir muridnya kelak berkhianat atau murtad, maka seringkali sang guru menyimpan beberapa jurus rahasia untuk menjaga kemungkinan penghianatan murid. Karena itu, beberapa keturunan saja ilmu silatnya semakin berkurang dan akhirnya habis sama sekali.
Ciri demikian tak berlaku dalam ilmu silat keturunan. Sang ayah mengajarkan kepada anak atau sang kakek mengajarkan kepada cucu pasti takkan menahan jurus simpanan, malahan setelah beberapa keturunan seringkali timbul satu-dua angkatan yang berbakat dan pintar menciptakan jurus baru sehingga satu turunan lebih hebat daripada angkatan yang lebih tua.
Begitulah dengan Kokcu ini, ilmu silatnya kini boleh dikatakan jauh lebih lihay daripada leluhurnya, ia yakin bila dirinya keluar lembah, ilmu silatnya pasti dapat menjagoi dunia.
Siapa duga lembah yang aman tenteram ini mendadak kedatangan Ciu Pek-thong sehingga suasana menjadi kacau balau, ia sudah kagum ketika menyaksikan pertarungan Ciu Pek-thong dengan Hoan It-ong, kini melihat anak tua nakal itu menempur dua orang dengan dua tangan yang bermain silat dengan cara yang berbeda, malahan sedikitpun tidak tampak lebih lemah dari kedua Iawannya, sungguh sang Kokcu menjadi kagum tak terhingga.
Dilihatnya pula ilmu silat Siau-siang-cu sangat ganas, serangannya tak kenal ampun. sedangkan gerak-gcrik Nyo Ko tenang halus dan tenang, tapi tidak kurang lihaynya. Diam-diam Kokcu itu harus mengakui bahwa dunia seluas ini ternyata tidak sedikit terdapat orang kosen.
Segera ia berdiri dengan suara lantang ia berkata : "Harap kalian bertiga suka berhenti dulu !".
Berbareng Nyo Ko dan Siau-siang-cu melompat mundur," Ciu Pek-thong lantas menanggalkan kedok kulit, berikut guntingnya terus dilemparkan kepada Nyo Ko sambil berkata: "Permainanku sudah cukup, aku hendak pergi saja!"
Sekali mengenjot kaki seperti anak panah cepatnya dia terus meloncat ke atas belandar rumah..
Karena kedoknya ditanggalkan, dengan sendirinya wajah aslinya lantas kelihatan. Keruan gemparlah para anak murid Cui-sian-kok setelah mengenali siapa dia.
"Ayah, orang tua inilah !" seru Kongsun Lik-oh.
Sementara itu Ciu Pek-thong sedang bergelak tertawa sambil duduk mengangkang di atas belandar.
Tinggi belandar rumah itu sedikitnya lima-enam, meter dari permukaan tanah, biarpun di ruangan itu tidak sedikit terdapat tokoh terkemuka, terasa sukar juga kalau ingin sekali lompat mencapai belandar itu.
Hoan It-ong adalah murid pertama Cui-sian-kok, usianya bahkan lebih tua daripada sang guru, dalam hal ilmu silat, kecuali sang Kokcu dialah terhitung nomor satu, Kini berulang dia dipermainkan oleh Ciu Pek-thong, tentu saja dia murka. walaupun tubuhnya cebol, tapi dia mahir memanjat sekali lompat ia rangkul erat-erat tiang ruangan itu terus memanjat ke atas segesit kera..
Dasar watak Ciu Pek-thong paling suka cari gara2, dia paling senang kalau ada orang mau main gila dengan dia, maka ia menjadi gembira melihat Hoan It-ong memanjat ke atas, belum lagi kakek cebol itu mencapai belandar, lebih dulu ia sudah menjulurkan tangannya untuk menariknya ke atas.
Sudah tentu Hoan It-ong tidak tahu tujuan Ciu Pek-thong sebenarnya baik, melihat tangan orang menjulur, segera ia menutuk Tay-leng-hiat pada pergelangan tangannya.
Namun ilmu silat Ciu Pek-thong sudah mencapai tingkatan yang maha sakti sedikit merasakan sesuatu, segera ia menutuk Hiat-to yang hendak ditutuk itu dan mengendorkan urat dagingnya, Karena itu tusukan Hoan It-ong itu laksana mengenai kapas yang lunak, cepat ia menarik kembali tangannya..."Tapi Ciu Pek-thong sempat membaliki tangannya dan menepuk sekali pada tangan Hoan It-ong sambil berseru: "Keplok ami-ami! Kakak makan nasi adik cebol minta isteri!"
Dengan murka Hoan It-ong menggelengkan kepalanya, jenggotnya yang panjang itu terus menyabet ke dada lawan, Mendengat samberan angin yang keras itu, Ciu Pek-thong tahu betapa lihaynya jenggot lawan, cepat ia melompat mundur, dengan tangan kiri berpegangan pada belandar, tubuhnya bergantungan seperti anak sedang main ayunan.
Siau-siang-cu yakin Hoan It-ong pasti bukan tandingan anak tua nakal itu, sekalipun dirinya ikut mengerubut juga sukar mengaIahkannya. Segera ia berpaling kepada Nimo Singh dan Be Kong-co, katanya: "Saudara Singh dan Be, tua bangka ini tidak memandang sebelah mata kepada kita berenam sungguh keterlaluan !"
Watak Nimo Singh paling berangasan dan tidak tahan dibakar, sedangkan pikiran Be Kong-co sangat sederhana dan tidak dapat menimbang antara baik dan buruk, demi mendengar rombongannya berenam tidak dipandang sebelah mata, serentak mereka menjadi gusar dan melompat ke atas untuk menangkap kaki Ciu Pek-thong.
Namun dengan jenaka Ciu Pek-thong mengayun kakinya untuk menggoda, tapi sebenarnya menendang dengan tepat ke arah yang mematikan pada tangan Nimo Singh dan Be Kong-co sehingga gagal total usaha kedua orang itu.
"ln-heng, apakah kau sendiri hanya mau menonton saja?" jengek Siau-siang-cu terhadap In Kik-si tersenyum dan menjawab : "Baiklah, siakan Siau-heng maju lebih dulu, segera aku menyusul !"
Siau-siang-cu bersuit aneh menyeramkan, mendadak ia melompat ke atas, kedua kakinya tidak nampak tnemekuk, tubuhnya kaku lurus, kedua tangan juga menjulur lempeng ke atas terus mencengkeram ke perut Ciu Pek-thong, gaya ilmu silat yang diperlihatkannya ini ternyata tiada ubahnya seperti mayat hidup.
Melihat tibanya serangan, cepat Ciu Pek-thong mengerutkan tubuhnya, tangan kiri berganti tangan kanan dan tetap bergelantungan di belandar.
Serangan Siau-siangcu menjadi luput, ia tak dapat berhenti diudara, terpaksa anjlok ke bawah.
Siapa saja kalau jatuh ke bawah dari ketinggian begitu tentu kedua kakinya akan menekuk agar tidak keseleo dan terluka, tapi gaya Siau-siang-cu sungguh istimewa, seluruh tubuhnya tetap, kaku seperti sepotong kayu saja, begitu kaki menyentuh lantai, "tok", kembali ia meloncat lagi ke atas.
Begitulah, jadinya Hoan It-ong merangkul pada tiang dan mengayun jenggotnya untuk menyerang, sedangkan Siau-siang-cu, Nimo Singh dan Be Kong-co bertiga berloncatan naik turun bergantian menyerang dari bawah ke atas.
"Si tua ini sungguh luar biasa, biar akupun ikut bikin ramai!" kata In Kik-si, tangannya merogoh saku sejenak kemudian tertampaklah sinar kemilauan menyilaukan mata, tahu2 tangan In Kik-si sudah bertambah sebuah ruyung lemas yang terbuat dari benang emas dan perak penuh bertaburkan batu permata pula.
Sebenarnya tokoh selihay In Kik-si, melulu bertangan kosong saja sudah jarang ada tandingannya, ruyung bertaburkan batu permata demikian tidak lebih hanya pameran akan kekayaannya saja.
Ia pikir untuk menyerang Ciu Pek-thong yang berada tinggi di atas itu jelas tidak mudah, maka dengan ruyungnya itu ia coba menyerang bagian bawah lawan.
Nyo Ko tertarik" oleh pertarungan lucu ini, ia-pikir dengan kepandaian kelima orang itu ternyata tidak mampu mengalahkan seorang Lo-wan-tong, kalau aku tidak dapat menang dengan cara istimewa tentu takkan membikin takluk orang Iain.
Setelah berpikir begitu, segera ia memakai kedoknya yang tipis itu, menirukan gaya Siau-siang-cu yang mengatakan itu, ia jemput tongkat baja Hoat It-ong tadi sekali tongkat itu menahan dilantai, tubuhnya terus mengapung ke atas.
Panjang tongkat itu dua meteran, ditambah loncatannya, maka tubuh Nyo Ko kini hampir sama tingginya dengan Ciu Pek-thong yang bergelantungan di belandar itu.
"Awas gunting, Lo-wantong" seru Nyo Ko samibil mengarahkan guntingnya untuk memotong jenggot Ciu Pek-thong."
Bukannya marah, sebaliknya Ciu Pek-thong malah senang akan serangan itu, ia miringkan kepalanya untuk menghindari guntingan itu dan berseru : "Bagus sekali caramu ini, adik cilik !"
"Lo-wan-tong, aku kan tidak bersalah pada-mu, mengapa kau main gila dengan aku ?" kata Nyo Ko.
"Ada ubi ada tales, diberi harus membalas !" jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, "Kau kan tidak rugi, mungkin mendapat untung malahan tidak tahu."
"Ada ubi ada talas apa maksudmu ?" tanyanya.
"Kelak kau tentu akan tahu sendiri sekarang tidak perlu banyak omong," jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, sementara itu ruyung "in Kik-si sedang menyamber ke arahnya, segera sebelah tangannya meraup untuk menangkapnya.
Namun ruyung In Kik-si yang lemas itu terus membelit untuk menghantam punggung tangannya, sedangkan tubuhnya telah anjlok ke bawah.
Dalam pada itu jenggot Hoan it ong yang panjang juga telah menyabet tiba, kini Hoan It-ong juga bergelantungan pada belandar, kedua tangannya memegang belandar itu, melulu jenggotnya saja yang digunakan menyerang musuh.
"Eh kiranya jenggotmu sebanyak ini pula daya gunanya," ujar Ciu Pek-thong tertawa, iapun menirukan cara orang dan mengayunkan jenggot sendiri ke arah lawan. Tapi panjang jenggotnya tiada separuh panjang jenggot Hoan It-ong, pula tak pernah berlatih akan kegunaannya sebagai senjata, dengan sendirinya sabetan jenggotnya ini tidak berguna, "sret", pipinya malah kena tersabet oleh jenggot lawan sehingga terasa panas pedas kesakitan, untung lwekangnya sangat tinggi kalau tidak pasti akan kelengar seketika dan terbanting ke bawah.
walaupun merasakan pil pahit, tapi lo wan tong tidak menjadi gusar, sebaliknya malah timbul rasa laparnya kepada Hoan It-ong, katanya: "jenggot panjang, sungguh lihay kau, jenggotku tak dapat menandingi jenggotmu, sudahlah, kita tak perlu bertanding lagi !"
Tapi Hoan It-ong ternyata tidak mau kompromi, kembali jenggotnya menyabet pula, Kini Ciu Pek-thong tak berani melawannya lagi dengan jenggot, segera ia melancarkan gaya pukulan "Khong-beng-kun" angin pukulannya yang keras membikin jenggot Hoan It-ong terpencar dan melayang ke samping, kebetulan saat itu Be Kong-co lagi meloncat ke atas untuk menyerang Ciu Pek-thong, maka jenggot Hoan It-ong tepat menyabet pada muka Be Kong-co.
Cepat Be Kong-co pejamkan mata, muka terasa gatal pedas pula, dalam keadaan mata tertutup Be Kong-co memegang sekenanya sehingga jenggot Hoan It-ong itu kena dicengkeramnya.
Sebenarnya jenggot Hoan It-ong dapat melilit seperti barang hidup, tapi lantaran tenaga pukulan Ciu Pek-tiong tadi, Hoan It-ong tak dapat mengendalikan lagi jenggotnya, sehingga kena dipegang Be Kong-co, dalam kagetnya cepat Hoan It-ong membetot sekuatnya, tapi Be Kong-co juga menarik sekencangnya ketika tubuhnya anjlog ke bawah sehingga kedua orang akhirnya terbanting ke tanah.
Tubuh Be Kong-co segede kerbau, kulit kasar daging tebal, dia tidak teriak merasakan sakit, Tubuh Hoan It-ong tepat terbanting menindih badan Be Kong-co, ia menjadi gusar dan membentak : "He, apa-apaan kau? Lekas lepaskan jenggotku !"
Duduk diatas berlandar, Cui Pek-thong mempermainkan lawan2 yang terdiri dari tokoh2 dunia pesilatan secara lucu dan nakal.
"Bantingan itu tidak dirasakan oleh Be Kong-co, tapi perutnya terinjak oleh Hoan It-ong, rasanya tentu tidak enak, ia menjadi gusar juga dan batas membentak : "Aku justeru tidak mau lepas, kau mau apa?" - Berbareng itu tangannya terus memutar sehingga jenggot orang malahan melilit beberapa kali lagi pada tangannya.
Dengan gemas Hoan It-ong terus memukul ke muka lawan, Be Kong-co cepat miringkan kepalanya tak terduga pukulan Hoan It-ong itu cuma pura-pura saja, kepalan lain mendadak menyamber tiba, "plok", dengan tepat hidung Be Kong-co kera ditonjok sehingga berdarah, Sambil berkaok-kaok kesakitan Be Kong-co juga balas menjotos satu kali.Bicara tentang ilmu silat sebenarnya Hoan It-ong jauh lebih tinggj, celakanya jenggotnya terlilit pada tangan lawan sehingga kepalanya tidak leluasa bergerak, karena itu jotosan Be Kong-co juga tepat mengenai tulang pipinya dan matang biru.
Begitulah yang satu tinggi dan yang lain pendek lantas main baku hantam, meski tubuh Hoan It-ong menindih di atas, tapi tetap sukar meloloskan diri dari betotan lawan yang terus menarik kencang jenggotnya itu.
Melihat suasana kacau balau, rombongannya berenam ternyata tidak dapat berkutik menghadapi seorang anak tua nakal, betapapun terasa memalukan maka Kim-lun Hoat-ong tidak dapat tinggal diam Iagi, segera ia mengeluarkan dua buah gelang, satu perak dan satu lagi tembaga, sekaligus kedua gelang. atau roda itu disambitkan dari kanan kiri dan menerbitkan suara mendenging.
"Barang apa ini?" kata Ciu Pek-thong, ia tidak tahu lihaynya senjata orang, maka tangannya terus meraih dan bermaksud menangkapnya.
Betapapun Nyo Ko menaruh simpatik kepada Ciu Pek-thong yang polos itu, cepat ia memperingatkan: "Hei, jangan dipegang!" Berbareng pula ia lemparkan tongkat baja yang dipegangnya itu ke atas, Maka terdengarlah suara gemerantang nyaring, tongkat baja yang panjang itu tertumbuk hingga terpental ke sudut ruangan sana, sebaliknya arah gelang tembaga yg terbentur itu tidak berubah dan masih tetap berputar menyamber ke atas be-landar.
Baru sekarang Ciu Peh-thong tahu si Hwesio besar ini tidak boleh diremehkan, ia pikir kalau dikerubuti jelas dirinya sukar melayani Segera ia berjumpalitan turun ke bawah dan berseru: "Maaf, Lo-wan-tong tak dapat menemani lebih lama, besok saja kita main-main lagi."
Habis berkata ia terus berlari ke pintu ruangan tamu, tapi dilihatnya empat orang berseragam hijau telah mengadangnya di situ dengan mementang sebuah jaring ikan.

Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali - Chin YungOù les histoires vivent. Découvrez maintenant