"Kau... kau tidak marah bukan?" tanyanya kemudian.

"Sudah tentu aku tak marah, bolehlah kau rawat lukamu tenang2 di sini," sahut si gadis tertawa, "Nanti bila lukamu sudah sembuh, boleh segera kau pergi mencari kokoh-mu."
Beberapa kata2 itu diucapkannya dengan begitu halus dan ramah, sama sekali berbeda dengan gadis2 lain yang dikenal Nyo Ko, kedengarannya begitu nyaman dan segar, rasanya bila gadis ini berada di sampingnya, segalanya menjadi aman dan damai, ia tidak lincah dan nakal seperti Liok Bu-siang, juga tidak secantik tapi tinggi hati seperti Kvve Hu.
Pula tidak sama dengan Yali Yen yang gagah terus terang atau Wanyan Peng yang lemah dan harus dikasihani Apalagi watak Siao-liong-li lebih2 lain daripada yang lain, mula2 ia bisa sedingin es, tapi akhirnya karena pengaruh cinta asmara iapun tidak segan2 ikat janji sehidup semati, wataknya itu sesungguhnya terlalu aneh dan extrim.
Hanya si gadis baju hijau inilah ternyata sangat ramah tamah dan prihatin, pintar meladeni orang, setiap kata2nya selalu memikirkan kepentingan Nyo Ko, ia tahu pemuda ini merindukan "Kokoh", lantas ia menghiburnya agar rawat lukanya baik2 dan supaya lekas sembuh dan segera pergi men-carinya.
Begitulah sesudah ia ucapkan kata2 tadi, kembali ia angkat pit dan menulis lagi.
"Cici, siapakah she-mu yang mulia?" tanya Nyo Ko.
"Ada apa kau tanya ini itu, lekas kau rebah yang tenang dan jangan berpikir yang tidak2 lagi," sahut si gadis.
"Baiklah," kata Nyo Ko, "memangnya akupun tahu percuma bertanya, wajahmu saja tak mau perlihatkan padaku, jangankan namamu."
"Parasku sangat jelek, toh bukannya kau tak pernah melihatnya," sahut gadis itu menghela napas.
"Tidak, tidak, hal itu disebabkan kau memakai kedok kulit," ujar Nyo Ko.
"Kalau wajahku secantik Kokohmu, buat apa aku memakai kedok ?" kata si gadis.
Mendengar orang puji kecantikan Siao-liong-Ii, senang sekali Nyo Ko. "Darimana kau tahu kokoh ku cantik? Apa kau pernah melihat dia?" tanyanya.
"Tak pernah aku melihatnya," kata gadis itu. "Tapi begitu kau rindu padanya, dapat dibayangkan pasti dia wanita cantik nomor satu di jagat ini."
"Jika kau pernah melihat dia, pasti kau akan lebih memuji kecantikannya," ujar Nyo Ko gegetun.
Kata2 Nyo Ko ini kalau didengar Kwe Hu atau Liok Bu-siang pasti akan dibalas dengan sindiran dan olok2, tapi gadis ini ternyata sangat jujur, ia malah berkata: "Ya, hal itu tak perlu di-sangsikan lagi." - Habis berkata kembali ia menunduk menulis pula.
Nyo Ko ter-mangu2 sejenak memandangi langit kelambunya, tak tahan lagi ia berpaling dan memandang potongan tubuh orang yang ramping itu dari belakang, "Cici, apa yang kau tulis? Apa sangat penting?" tanyanya pula.
"Aku lagi melatih tulisan," sahut si gadis.
"Kau memakai tulisan gaya apa?" tanya Nyo Ko.
"Ah, tulisanku terlalu jelek, mana bisa dibilang gaya apa segala?" kata si gadis.
"Kau suka merendah diri saja, aku menduga pasti tulisanmu sangat indah," kata Nyo Ko.
"Aneh, darimana kau bisa menduganya?" sahut gadis itu tertawa.
"Gadis sepintar kau ini, pasti gaya tulisanmu pun lain dari pada yang lain," ujar Nyo Ko. "Cici, bolehkah tulisanmu itu diperlihatkan padaku."
Gadis itu tertawa lagi, "Ah, tulisanku se-kali2 tak bisa dilihat orang, nanti bila lukamu sudah sembuh, aku masih harus minta petunjukmu," demikian katanya.
Diam2 Nyo Ko malu diri, karena itu juga ia sangat berterima kasih pada Ui Yong yang telah mengajarnya membaca dan menulis di Tho-hoa-to dulu, kalau waktu itu ia tidak giat belajar, jangan kata membedakan tulisan bagus atau jelek, mungkin sampai kini ia akan tetap buta huruf.
Setelah ter-menung2 sebentar, ia merasa dadanya rada sakit, lekas2 ia jalankan Lwekangnya hingga darah jalan lancar, pe-lahan2 ia merasa segar kembali dan akhirnya iapun tertidur.
Waktu ia mendusin, hari sudah gelap, gadis itu telah taruh nasi dan lauk pauk di atas meja teh yang terletak ditepi ranjangnya agar si Nyo Ko dahar sendiri.
Lauk-pauk itu hanya sebangsa sayur mayur, tahu, telur dan beberapa potong ikan, tapi cara mengolahnya ternyata sangat lezat sekaligus Nyo ko habiskan tiga mangkok penuh nasi ke dalam perutnya tanpa berhenti, habis itu barulah ia memuji ber-ulang2.
Meski muka gadis itu memakai kedok kulit hingga tak kelihatan sesuatu perubahan emosinya, tapi dari sinar matanya tertampak juga, menyorot cahaya yang senang.
Besok paginya keadaan luka Nyo Ko tambah baikan, gadis itu ambil sebuah kursi dan duduk di depan ranjang untuk menambal bajunya yang compang-camping tak terurus, semuanya ia tambal dengan baik."Orang secakap kau kenapa sengaja pakai baju serombeng ini?" kata si gadis kemudian.
Sembari berkata iapun berjalan keluar, waktu kembali, ia membawakan satu blok kain hijau, ia ukur menurut baju Nyo Ko yang sobek itu dan di-potongnya untuk membuatkan baju baru.
Dari lagu suara nona ini dan perawakan serta tingkah lakunya, umurnya tentu tidak lebih 18 -19 tahun saja, tapi terhadap Nyo Ko bukan saja mirip kakak terhadap adik, bahkan penuh kasih seorang ibu kepada anaknya.
Sudah lama Nyo Ko ditinggalkan ibundanya, kini ia menjadi terbayang masa anak2nya dahulu, ia sangat berterima kasih dan heran juga, "Cici," tanyanya, "kenapa kau begini baik padaku, sungguh aku tak berani menerimanya."
"Hanya membikinkan sepotong baju, apanya yang baik?" sahut si gadis, "Kau mati2an menolong jiwa orang tanpa pikirkan diri sendiri, itu baru pantas dibilang baik budi."
Pagi hari itu berlalu dengan tenang, lewat lohor kembali si gadis menghadapi meja dan melatih tulis pula, pingin sekali Nyo Ko hendak melihat apakah sesungguhnya yang ditulisnya, tapi beberapa kali ia memohon selalu ditolak si gadis.
Kira2 ada sejam gadis itu tekun menulis, habis selembar ditulisnya, lalu ia ter-menung2, ia robek kertasnya dan kembali menulis lagi, tapi tetap seperti tak memuaskan tulisannya, maka habis tulis lantas dirobek pula, sampai akhirnya terdengar ia menghela napas, lalu tak menulis lebih lanjut.
"Kau pingin makan apa, biar kubuatkan," tanyanya kemudian pada Nyo Ko.
Tergerak pikiran Nyo Ko tiba2. "Terima kasih, hanya membikin repot kau saja," sahutnya.
"Apakah, coba bilang," kata si gadis.
"Aku sungguh ingin makan bakcang," ujar Nyo Ko.
Gadis itu rada tertegun, tapi segera iapun berkata: "Repot apa, hanya membungkus beberapa kue bakcang saja! Aku sendiri memang juga pingin makan, Kau suka yang manis atau yang asin?"
"Boleh seadanya, asal ada makan aku sudal puas, mana berani pilih2 lagi?" sahut Nyo Ko.
Betul juga, malam itu si gadis telah membuatkan beberapa buah kue bakcang pada Nyo Ko, yang manis berisi kacang ijo gula putih, yang asin pakai daging samcan bercampur ham, rasanya lezat tiada bandingan. Keruan saja beruntung sekali mulut si Nyo Ko, sembari makan iapun tiada hentinya memuji-muji.
"Kau sungguh pintar, akhirnya dapat kau menerka asal usul diriku," kata gadis itu kemudian sambil menghela napas.
Nyo Ko menjadi heran, ia tidak sengaja menerka, kenapa bilang asal-usul orang kena diterkanya? Namun begitu, ia toh berkata: "Kenapa kau bisa tahu?"
"Ya, kampung halamanku Ohciu tersohor karena makanan kue bakcang, kau tidak minta yang lain tapi justru ingin makan bakcang," sahut si gadis.
Tergerak pikiran Nyo Ko. Teringat olehnya beberapa tahun yang lalu di Ohciu telah dijumpai Kwe Cing dan Ui Yong, pertemuannya dengan Auwyang Hong dan perkelahiannya melawan Li Bok-chiu, tapi siapakah gerangan si gadis di depan mata ini tetap tak dapat mengingatnya.
Mengenai permintaannya ingin makan bak-cang adalah karena dia mempunyai tujuan lain, pada waktu hampir selesai makan, ketika gadis itu sedikit meleng, mendadak ia lekatkan sepotong bakcang di telapak tangannya dan sedang si gadis bebenah mangkok sumpit ke dapur, cepat sekali ia ambil seutas benang yang ketinggalan ketika gadis itu menjahit baju untuknya tadi, ujung benang ia ikat bakcang yang ia sisakan tadi terus disambitkan ke meja, sepotong kertas robekan telah melekat oleh kue bakcang itu, lalu ia tarik benang-nya dan membacanya, tapi ia menjadi melongo, kiranya di atas kertas itu tertulis 8 huruf yang maksudnya terang sekali berbunyi: "Jika sudah kutemukan dikau, betapa aku tidak senang?"
Lekas2 Nyo Ko sembunyikan kertas itu, ia lemparkan ujung benang dan memancing pula selembar kertas, ia lihat tetap di atasnya tertulis 8 huruf tadi, cuma ada satu huruf yang ikut tersobek.
Hati Nyo Ko memukul keras, be-runtun2 ia sambitkan bakcang itu dan belasan lembar kertas robekan itu kena dipancingnya, tapi apa yang tertulis di atasnya bolak-b"alik tetap 8 huruf itu2 juga, ia coba selami maksud apa yang terkandung dalam tulisan itu, tanpa terasa ia ter-mangu2 sendiri. Tiba2 didengarnya suara tindakan orang, gadis tadi telah masuk kamar lagi.
Lekas2 Nyo Ko selusupkan kertas2 itu ke dalam selimutnya. sementara si gadis kumpulkan sisa2 kertas robekan tadi dan dibakarnya keluar kamar.
"Kata2 "dikau" yang ditulisnya itu jangan2 maksudkan aku?" demikian diam2 Nyo Ko berpikir sendiri, "Tapi bercakap saja belum ada beberapa patah kata aku dengan dia, apanya yang menyenangkan dia akan diriku ini? Bila bukan maksudkan diriku, toh di sini tiada orang lain."
Sedang ia ter-menung2, gadis itu telah masuk kamar lagi, setelah berdiri sejenak di pinggir jendela, kemudian api lilin disirapnya. Sinar rembulan remang2 menyorot masuk melalui jendela.
"Cici," Nyo Ko memanggil pelahan.
Tapi gadis itu tak menjawabnya, sebaliknya ia berjalan keluar, Selang tak lama, terdengar di luar ada suara seruling yang ulem, sebuah lagu merdu gayup2 berkumandang.
Pernah Nyo Ko rnelihat gadis itu memakai seruIing sebagai senjata menempur Li Bok-chiu, ilmu silatnya tidaklah lemah, siapa duga seruling yang ditiupnya ternyata juga begini enak didengar.
Dulu waktu tinggal di kuburan kuno, di kala iseng ia sering mendengarkan Siao-liong-li mena-buh khim, (kecapi) dan pernah belajar juga beberapa waktu padanya, maka boleh dikatakan iapun sedikit paham seni suara.

Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali - Chin YungWhere stories live. Discover now