Kakek itu menengadah pula, mulutnya menggumam: "Jik-lian-coa apa ?" mendadak ia ketuk tongkat besinya di atas tanah, teriaknya keras: "Pastilah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu adanya !"

"Betul, betul!" Bu Siu-bun bersorak gembira, "Memang Jik-lian-sian-cu"

Karena tebakan si kakek yang tepat itu, maka ia kegirangan, namun si kakek ternyata sangat tegang, katanya: "Kalian berdua boleh bermain di sini, setapakpun jangan meninggalkan tempat ini, biar kutengok kesana !"

"Kongkong, aku ikut kau !" rengek anak perempuan tadi.

Kakek itu menjadi gugup: "Ai, ai, tidak boleh ! iblis perempuan itu sangat jahat, aku sendiri bukan tandingannya. Soalnya tahu teman baik sedang menghadapi bahaya, terpaksa aku harus menyusul kesana, Kalian harus menurut kataku. Habis berkata segera ia berlalu dengan langkah terincang-incut.

Meski pincang, tapi dengan bantuan tongkat besi segera ia kembangkan Ginkang, larinya amat cepat, tidak kalah dari pada tokoh2 silat kelas tinggi

Tatkala itu hari sudah terang, para petani sudah bekerja di sawah, dengan riang gembira sedang menuai padi sambil berdendang, Kakek itu berlari bagai terbang tanpa hiraukan suasana gembira kaum tani yang bekerja keras itu. sekejap saja dia sudah tiba di depan Liok-keh-cheng. Kedua matanya memang buta, namun daya pendengarannya amat tajam, jaraknya masih kira2 satu li, namun dari kejauhan ia sudah mendengar suara bentrokan senjata keras, suara orang sedang bertempur dengan sengit.

Ia tidak kenal keluarga Bu atau keluarga Liok dan tiada hubungan, iapun tahu ilmu silat sendiri jauh bukan tandingan Jik-lian-sian-cu, kedatangan dirinya ini mungkin hanya mengantar jiwa belaka, namun selama hidupnya selalu bantu kaum lemah demi kebenaran dan keadilan, selamanya ia tidak hiraukan keselamatan diri sendiri, Maka langkah kakinya dipercepat waktu tiba di depan perkampungan didengarnya di atas genteng ada empat orang sedang bertempur dengan seru. Sebelah kanan satu orang melawan tiga orang, tapi agaknya ketiga orang itu terdesak di bawah angin malah.

Ternyata setelah Bu Sam-thong membawa pergi Tun-ji dan Siu-bun, Liok Lip-ting - suami isteri semakin cemas dan heran, mereka tidak tahu apa maksud orang gila itu. sebaliknya Bu Sam-nio menjadi senang, katanya tertawa: "Selamanya suamiku bertindak angin2an, kali ini ternyata bisa tahu kasih sayang dan dapat melihat bahaya."

Liok-toanio mohon keterangan, tapi Bu Sam-nio hanya tersenyum saja, katanya: "Nanti sebentar kau akan tahu sendiri."

Waktu itu sudah larut malam, Liok Bu-siang sudah tertidur dalam pangkuan ayahnya, Thia Engpun sudah kantuk dan tidak kuasa membuka matanya lagi. Liok-toanio berdiri hendak membawa kedua anak itu masuk kamar, lekas Bu Sam-nio berseru mencegah: "Tunggulah lagi sebentar".

Benar juga tak lama kemudian, terdengar suara di atas genteng: "Lemparkan ke atas !"
Itulah suara Bu Sam-thong. Pergi datangnya ternyata tidak berbekas, Liok Lip-ting suami istri sebelumnya tidak tahu sama sekali.

Segera Bu Sam-nio bopong Thia Eng keluar terus dilemparkan ke atas, Bu Sam-thong ulur tangan meraihnya. Baru saja Liok Lip-ting berdua kaget dan ingin tanya, Bu Sam-nio sudah lemparkan Liok Bu-siang ke atas pula, Keruan Liok Lip-ting kuatir, serunya: "Apa yang kau lakukan ?" - segera ia melompat ke atas genteng, namun sekelilingnya sunyi sepi, bayangan Bu Sam-thong dan kedua anak perempuan itu sudah tidak kelihatan Baru saja Liok Lip-ting hendak mengejar, dari bawah Bu Sam-nio keburu berteriak: "Liok-ya tidak perlu kejar, dia bermaksud baik,"

Liok Lip-ting ragu2, segera ia turun ke pelataran tanyanya kuatir: "Maksud baik apa ?"
Liok-toanio sudah maklum lebih dulu, katanya: "Bu-samya kuatir iblis perempuan itu turun tangan keji kepada anak2, maka sebelumnya hendak disembunyikan di tempat yang rahasia!"

Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali - Chin YungWhere stories live. Discover now