Chapter 9 | Meet Cece

Beginne am Anfang
                                    

“Zia, aku mengerti perasaanmu. Tapi jangan lupakan kenyataan bahwa orang seperti Luke mudah sekali memikat hati wanita. Kau tahu maksudku.”

“Maksudmu Luke seorang player? Bisa dibilang, Michie juga player. Tetapi aku tidak melihatmu sedikitpun membenci dirinya atau perbuatannya.”

“Mereka berdua sangat berbeda, Zee. Michie tidak mendekati gadis, tetapi gadis-gadislah yang mendekatinya. Michie bersikap baik kepada gadis-gadis itu hanya karena ia tidak tega mengabaikan mereka. Dan Luke, well semua gadis mendekatinya, tetapi ia mendekati mana yang ia suka hanya untuk memikat hatinya lalu mematahkannya.”

“Oke, itu cukup. Kau berlebihan.” Dengusku dengan wajah datar.

“Aku tidak berlebihan. Itu fakta, Zee. Fakta!” suara Cory yang cempreng itu naik satu oktaf di kata terakhir yang ia ucapkan. Aku memutar mata, dan ia mendesah pelan. “Terserahlah kalau kau tidak percaya.”

Jelas sekali jika aku tidak percaya Luke tipe pria seperti itu. Maksudku, well ia memang terlihat lihai memikat hati gadis, itu benar. (Lagipula gadis mana yang tidak terpikat dengan postur tubuh, rambut yang keren, dan mata hazel yang indah itu?) Tapi memikat gadis hanya untuk mematahkan hatinya? Tidak, aku rasa Cory berlebihan. Tapi entahlah. Aku hanya tidak yakin dengan yang Cory katakan itu benar. Dan aku tidak akan mempercayainya jika tidak melihat buktinya dengan mata kepalaku sendiri.

***

Aku melangkah sendirian menyusuri koridor, membalas senyuman dan sapaan teman-teman yang melintas dan mengabaikan orang-orang yang berbisik-bisik, menatapku dengan tatapan tajam penuh kebencian saat aku melintasi mereka. Aku heran, dimana letak kesalahan seorang gadis yang suka berpenampilan sedikit punk—kubilang sedikit karena aku tidak memakai aksesoris piercingku, sekolah tidak mengijinkannya—dan memotong rambutnya seperti potongan laki-laki, hingga mereka menatapnya seperti itu? Kenapa sibuk sekali menilai orang yang bahkan tidak mereka kenal dekat dan tidak mereka ketahui kepribadiannya? Begitu pentingkah penampilan seseorang bagi seluruh murid di sekolah ini? Persetan. Umpatku dalam hati.

“Hey.” Seorang gadis bertubuh tinggi menyapaku dengan senyuman ramah. Entah kenapa aku tidak suka dengan senyumnya itu. Jika saja ia menyeringai dan mendelik, aku yakin profil wajahnya akan menjadi sangat antagonis. Hanya saja senyum ramah itu membuatnya terlihat manis, walaupun tetap saja aku sama sekali tidak menyukainya. Entahlah, ada sesuatu dibaliknya yang membuatku tidak suka, yang aku tidak bisa menunjuknya dengan jari telunjukku. Perhatianku terarah pada rambut pirangnya yang bergelombang, menjuntai di depan dada. Berkilau, terlihat sangat terawat. Cara ia berdiri didepanku membuatku tidak bisa pergi kemana-mana.

“Hai.” Balasku pendek, berusaha tersenyum sebisaku. Aku tidak bisa menahan diri, tetapi selalu saja bersikap dingin pada orang yang tidak kukenal.

“Hey, Zoe. Apa kabar?” Tanyanya ramah. Zoe? The fuck?

“Namaku Zia. Dan aku baik.” Kataku dengan senyum terpaksa, sama sekali tidak ada keinginan untuk balik bertanya.

“Oh, maaf. Zia.” Katanya tersenyum minta maaf. “Aku juga baik.” Tambahnya. Yang kuingat tadi aku sama sekali tidak bertanya? Serius, aku benar-benar tidak peduli bagaimana keadaanmu, pretty lady.

And, hell. Aku benci seseorang yang berusaha ramah dan selalu tersenyum. Maksudku, jika itu terlihat natural tidak menjadi masalah. Tetapi cara gadis ini berbicara dan tersenyum membuatku muak. Terlalu dibuat-buat. Entah apa maksudnya, agar terlihat lebih cantik atau menarik, aku tidak mengerti. Aku selalu benci gadis cantik yang segala tingkahnya terlalu dibuat-buat. Ditambah, sorot tajam mata biru itu seakan berkata, “Minggir, semuanya. Akulah gadis tercantik disini.”

Perfect FamilyWo Geschichten leben. Entdecke jetzt