Chapter 8 | Just Dreaming

Start from the beginning
                                    

Lidah Luke menyentuh bibir bawah dan atasnya dengan cepat, sebelum ia kembali berbicara tanpa suara. “Jadi, bagaimana?”

Aku mengangguk, seraya berusaha menahan sebuah senyuman, agar tidak terlihat begitu bersemangat. “Aku akan mengganti pakaian. Tunggu sebentar.” Kataku sebelum menutup gordennya, tidak sempat menatap Luke lagi. Aku mengganti celana pendekku dengan celana pensil panjang motif kotak-kotak hitam dan merah, tidak mengganti kaos hitam yang sedang kupakai, lalu memakai hoodie hitam kesayanganku. Terakhir, kupakai Converse putihku dan mengikat talinya sambil berjalan keluar kamar, berusaha untuk tidak membuat kegaduhan saat menuruni tangga. Aku menempelkan kupingku di pintu kamar Toby. (Ia mendengkur sangat keras saat sudah tertidur nyenyak, jadi aku tidak perlu repot untuk membuka pintu). Dan benar saja, Toby sudah mendengkur dengan keras. Bagus. Tetaplah tidur dengan nyenyak kakakku sayang. Aku pergi sebentar. Bisikku, sebelum beranjak pergi.

Aku mengunci pintu depan saat sudah berada di luar, karena meninggalkannya tanpa dikunci akan sangat berbahaya. Kalaupun aku belum tiba dirumah saat ia bangun, setidaknya jika ingin keluar ia bisa memanjat pagar belakang rumah. (Salahnya sendiri terus saja lupa menggandakan kunci.) Kurasa itu lebih baik dibandingkan televisi yang dibuat pada zaman batu itu (Televisiku bukan layar plasma, meskipun layarnya sudah datar.) dan Playstation kesayanganku (Walaupun itu milik Toby.) raib dibawa pencuri saat aku kembali sepulangku nanti.

“Hey.” Sapaku dengan suara pelan, seraya memasukkan kedua tanganku ke saku hoodie yang ada didepan perutku. Udaranya sangat dingin diluar sini.

“Siap untuk pergi?” katanya berbisik. Astaga, suara Luke seksi saat berbisik-bisik. Zia. Jangan mulai.

“Baiklah, dimana motormu?” tanyaku seraya mengikutinya dari belakang.

“Itu dia.” Ia menunjuk motornya yang terparkir tiga rumah dari rumahku. Pantas saja suara mesinnya tidak terdengar.

Aku terkekeh. “Jadi, mau kemana kita?”

Luke tersenyum penuh rahasia. “Nanti juga kau tahu.” Ia mengedipkan sebelah matanya.

Tanpa menunggu komando dari Luke, aku memeluknya sejak bokongku menyentuh jok motornya, dan ia tidak keberatan. Malah di sepanjang perjalanan ia berusaha memberikan kehangatan pada punggung tanganku dengan cara menggosok-gosokkan telapak tangan kirinya yang bebas. Suara motor Luke yang keras seakan memecahkan kesunyian di sepanjang jalan. Laju motor  ini tidak begitu pelan atau kencang. Bisa kukatakan, ini adalah perjalanan paling menyenangkan bersama Luke; memeluknya di bawah cahaya bintang-bintang dengan suasana malam yang sangat sunyi. Aku sudah sangat hafal jalanan ini. Menuju rumah pohon? Hell, Apa yang ia rencanakan sebenarnya? Aku mulai penasaran, dan well, sedikit ketakutan. Sedikit.

Meskipun gelap, dan hanya diterangi cahaya bulan diatas sana, dan juga cahaya lampu dari rumah-rumah dibawah sana, aku bisa bilang di rumah pohon ada seseorang. Tunggu, sepertinya mereka lebih dari satu. Dan aku kenal betul siapa pemilik rambut pirang itu, juga dua lainnya yang sudah tertebak ciri-cirinya. Sedang apa mereka? Sebenarnya apa yang sedang Luke rencanakan?

“Luke, sebenarnya apa yang akan kau lakukan padaku?” tanyaku, terdengar antara takut, bingung dan penasaran.

“Yang jelas bukan hal yang buruk.” Ia tersenyum misterius. Sikapnya terlihat sedikit canggung. Baiklah, ada apa ini sebenarnya?

Saat jarak kami dua meter dari rumah pohon Luke menghentikan langkahnya, membuatku melakukan hal yang sama. Ia menatapku seraya menghembuskan nafas. Apa ia gugup?

Tidak lama kemudian kembang api yang tergantung di atap dan bagian bawah rumah pohon, menyala satu persatu. Berkilauan indah, menghias rumah berwarna cokelat pucat dengan cahayanya yang putih keemasan. Jumlahnya ada puluhan atau ratusan, entahlah. Tetapi jumlahnya cukup untuk membuat pohon itu berubah menjadi pohon kembang api. Wajah Ashton, Calvin dan Don terlihat jelas sekarang, menatap kami dari atas sana dengan kedua jempol teracung. Luke menggumamkan “Terima kasih.” Pada mereka bertiga seraya tersenyum, sebelum tatapannya kembali diarahkan padaku.

Perfect FamilyWhere stories live. Discover now