Pertama kali aku menemukan sebuah ruang tamu dengan sofa warna peach dan meja bundar dari kaca hitam. Menarik pandangan disebelah kanan, bukan tembok kayu yang aku temui melainkan jendela kaca tinggi yang menampakkan hutan dengan jajaran pohon yang rindang.

Kedua kalinya aku melihat rentetan kabinet-kabinet cantik dengan buku-buku tebal tertata rapi di dalamnya. Lagi saat mataku menghadap pada ruang yang bisa disebut sebagai ruang tengah untuk bersantai karena terdapat sebuah televisi besar juga karpet warna coklat yang tampak empuk dan lembut.

"So warm." bisikku terdengar pelan di telinganya.

"Hey Nathalie! Pleasant to meet you here." tukas Louis yang baru saja keluar dari sebuah kamar di samping kiriku.

"Hey Lou. Pleasant to meet you too." sahutku segera. Sebuah senyum manis terpancar dari dirinya.

"Nathalie?" seru Zayn dan Niall bersamaan. Aku tak menyadari keberadaan mereka sebelumnya. Mereka terduduk pada mini bar yang letaknya dekat dengan tangga menuju lantai dua.

"Yes Zayn and Niall. This is me."

"Oh ayolah, kalian sudah saling kenal 'kan? Lebih baik kita ke kamarku saja." Liam langsung meraih pinggangku seakan ingin segera menuntunku pergi dari sini.

Aku langsung mengangguk dan Liam membawaku ke lantai dua melewati tangga spiral yang terbuat dari kayu. Semuanya memang masih tampak alami. Di beberapa sudut, ada lukisan yang menghias ruangannya.

Di lantai dua ada setidaknya 6 ruang, aku dapat menemukan sebuah game room di sisi paling pojok. Empat diantaranya aku yakini sebagai kamar karena tertutup rapat. Liam membawaku menuju kamar paling ujung atau tepatnya dekat dengan balkon.

"Ini kamarmu?" tanyaku dan ia mengangguk.

"Oh ya, sebenarnya masih ada beberapa ruangan di bawah. Kami punya mini bioskop dan ruangan lain. Di lantai dua ada kamarku serta Harry dan Zayn." terangnya. Aku mengangguk mengerti.

"Kalian bilang ini flat? Yang ada dibayanganku sebelumnya bahwa kalian akan hidup dalam bangunan yang sempit dan tidur sekamar dengan sahabatmu. Tapi nyatanya? Ini bahkan lebih mirip apartemen yang dibangun di tengah hutan." Aku menyeringai tajam kearahnya sementara Liam mendorongku untuk segera masuk.

Ada satu bed dan beberapa furniture mahal lainnya. Ini fasilitas lengkap. Ada sebuah ruang kecil yang aku yakini sebagai kamar mandi. Kali ini berbeda, di sekitarnya bukan lagi tembok kayu melainkan tembok bata. Cat kamarnya penuh dengan nuansa grey dan glossy black. Saat mataku menatap lurus kedepan, sebuah jendela kaca tinggi dibiarkan terbuka lebar. Sejenak, rasa hangat menyergap dari luar. Lagi-lagi aku menemukan jajaran pepohonan rindang dari sini.

"The most beautiful bed room I've ever see. Bahkan kamarku tak sebagus dan serapi kamarmu." aku berdecak kagum dengan jemariku yang menelusuri sebuah kabinet kecil disudut sebelah pintu dari kamarnya.

"Tidak, kamarmu jauh lebih baik dibanding kamarku. Meja riasmu pasti selalu tertata rapi. Apalagi sepatu converse milikmu."

Aku menatapnya penuh keterkejutan. Liam belum pernah sama sekali masuk ke kamarku. Lalu, dari mana ia tau soal sepatu converse yang selalu aku tata dengan rapi pada sebuah rak dekat lemari pakaianku? Maksudku—bahkan orang yang masuk ke kamarku belum tentu dapat menemukannya.

"Bagaimana kau tau soal koleksi converse milikku?"

Mata Liam membulat, ia tampak terkejut dengan ucapanku. "Umm—kau tau jika aku hanya sedang menebak soal itu. Apa kau pikir aku tak pernah melihatmu memakai converse yang berbeda hampir tiap harinya?" ujarnya dengan nada yang tenang dan sama sekali tak ada kepanikan.

Aku langsung terduduk pada sebuah sofa warna keunguan yang letaknya dekat dengan balkon. "Nice. Kau memang tau segalanya tentangku, Babe." tukasku. Liam ikut terduduk disampingku lantas meraih pinggangku dan membawaku dalam pangkuannya.

"Aku bisa merasakannya. Kau selalu dingin dan menurutku—kau terlalu kuat." bisikku lembut di telinganya. Aku setengah memeluk tubuh kekar Liam dan lelaki itu langsung mengecup bibirku perlahan.

"Aku harap kau nyaman berada ditempat ini."

"Of course." dan aku mulai membenamkan kepalaku di dadanya sembari berpikir bagaimana caranya aku mencari tau soal jati diri mereka.

Aku melihat beberapa barang disekitar bed miliknya. Sebuah meja kecil dengan lampu tidur dan sebuah alarm digital disampingnya. "Kau sering telat bangun?" tanyaku.

"Tidak juga, memang kenapa?" ia balik bertanya sambil mengelus untaian rambutku dan menyelipkannya di belakang telingaku—masih dalam keadaanku yang terduduk di pangkuannya.

"Tidak. Kau menaruh alarm digital di situ, aku pikir kau susah bangun pagi." aku sempat memandang kearah alarm digitalnya dan Liam terkekeh pelan sembari memandangku.

"Hanya sebagai pemanis. Aku pikir kamarku terlalu kosong."

Tiba-tiba ponsel dalam sakunya berdering, ia meminta izin untuk menerima telponnya. Aku mengangguk tanda setuju lantas segera beranjak dari pangkuannya. Liam beranjak dari sofa dan berjalan keluar kamar.

Kesempatan,

Aku segera mencari sesuatu yang setidaknya akan jadi bukti untukku. Pandanganku langsung tertuju pada sebuah lukisan besar yang tergantung ada tembok sebelah kiri bed. Disana terlihat jelas gambaran tentang sebuah kota yang settingnya sekitar tahun 1900-an. Aku pernah melihat pemandangan kota yang khas ini saat History Class.

Saat mataku melihat tiap detailnya, aku menangkap gambaran sosok yang tak asing lagi. Liam, Zayn, dan Louis; sosok itu tampak sedang mengamati dari balkon sebuah rumah. Mereka bertiga dengan pakaian ala bangsawan kuno. Sementara di lain sisi lukisan itu menggambarkan sebuah perayaan yang entah dinamakan apa, yang jelas mereka berkumpul dan seperti saling melemarkan sesuatu.

"Sweetheart, sudah cukup untuk hari ini. Kita harus pergi." Liam mengejutkanku dengan tiba-tiba muncul sampingku.

"Ada apa? Kenapa kau tampak tergesa?" tanyaku penuh tanda tanya. "Ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Perrie dan Sarah yang akan mengantarmu."

Ada apa ini? Kenapa Liam berubah panik? Dan kenapa ia menyuruh Perrie dan Sarah yang memgantarku, kenapa bukan dirinya sendiri?

"Okey—jangan berpikir lagi, aku sedang ada urusan mendadak." Liam langsung membawaku pergi dari kamarnya.

Perrie dan Sarah tengah terduduk pada sofa ruang tengah, Perrie terlebih dahulu menyapaku dengan senyumnya yang manis. Jujur, kali ini aku tak berharap bahwa Sarah mau sekedar tersenyum kecil padaku. Tapi nyatanya ia tersenyum lebar kearahku.

"Berhubung Liam harus pergi, kami akan mengantarmu pulang. Kau mau 'kan?"

"Of course, why not Perrie?" aku terkekeh pelan. Dan kami bertiga langsung melangkah meninggalkan flat.


»»»»»»»»»»»»»»««««««««««««««


Kalo dijelasin sih, ini story udah mencapai saat-saat menegangkan. Banyak konflik dan rahasia-rahasia yang bakal kebuka.

Tapi maaf banget, mungkin aku gak bakal update dalam waktu yang berdekatan. Bisa seminggu dua kali atau bahkan seminggu sekali. Harap maklum ya, soalnya mulai banyak jadwal try out. Maklum lah, udah kls 9 *kagak ada yg tanya*

Tetap setia nungguin next part kan?

NEED YOUR VOTE AND COMMENT(S)

~Big hug, Mrs. Payne {}

Bloodstains (1D's Vampire Story) ✅Where stories live. Discover now