58. Saatnya Eksekusi

19.8K 2K 171
                                    

DENGAN jantung yang berpacu lebih cepat dari cahaya—ini Gisha yang berlebihan–perempuan itu membuka pagar rumah Om Krisna. Demi apapun. Demi apapun di dunia ini Gisha gugup setengah mati!

            Sambil sesekali berdeham dan tangan yang menggenggam erat tumpukan post-it, Gisha akhirnya membuka pintu rumah Om Krisna. Tapi, tidak ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa juga.

            "Eh lo di situ dong."

            Loh? Ini kenapa Gisha seolah dengar suara Kaila, sih? Apa dia berhalusinasi atau semacamnya?

            "Nah, iya pegang itunya."

            Loh? Ini kenapa suara Kaila kedengaran lagi?

            "Buruan duduk kenapa, Sa? Mondar-mandir mulu kayak tukang sayur."

            Bukannya itu suara Dewa?

            Ini hanya pendengaran Gisha yang sedang aneh atau dia memang mendengar suara orang-orang?

            Gisha masih mencari asal suara-suara itu ketika telinganya kemudian mendengar permainan piano.

            Angkasa, kah?

            Sambil senyum-senyum sendiri, Gisha menajamkan pendengarannya agar bisa menemukan dari mana suara piano itu berasal. Dan semakin Gisha merasa dirinya semakin dekat dengan suara piano itu, semakin dia sadar lagu apa yang tengah mengalun tersebut.

            It's 1, 2, 3, 4 (I Love You) by Plain White s.

            Lagi, senyum Gisha semakin merekah saja setelah tahu itu lagu apa.

            Gisha sampai di depan sebuah pintu di lantai dua. Bukan pintu kamarnya, bukan juga pintu kamar Angkasa. Tapi sejak awal memang ada pintu lain di sana. Meskipun Gisha tidak pernah satu kali pun masuk ke dalam sana.

            Dengan jantung berdebar, Gisha meraih pegangan pintu dan memutarnya. Tangannya mulai mengeluarkan keringat dingin sampai pintu itu benar-benar terbuka.

            Dan di sanalah mereka.

            Ternyata ruangan itu berukuran sama dengan kamar yang Gisha tempati selama ini. Hanya saja, di dalam ruangan itu hanya ada sebuah grand piano hitam dan beberapa kursi empuk persegi panjang di dua sudutnya. Seperti sengaja disimpan untuk menyaksikan permainan piano itu.

            Gisha menutup mulutnya tak percaya.

            Di dalam sana, ada Angkasa yang tengah bermain piano dengan semangat. Dengan senyuman yang tak kunjung pudar dari wajahnya. Dan, matanya tak beranjak sedetik pun dari Gisha semenjak Gisha masuk. Lalu, di belakang Angkasa, berdiri kedua orang tua Gisha, Papi Maminya. Gisha sampai terharu mereka datang ke sini. Ada juga Om Krisna dan Tante Anggi. Juga Bintang. Dan ada Kaila yang sedang memegang kue. Gisha yakin itu cheesse cake. Kue kesukaannya. Ada juga Dewa. Dan bahkan Glory!

            Ruangan itu juga sudah dihias dengan balon-balon berbagai macam bentuk, dan mereka semua memegang lilin. Totalnya ada sembilan belas lilin.

            Manis sekali.

            Mereka semua tersenyum ke arah Gisha.

            Demi apapun di dunia ini, jika ini hanya mimpi, Gisha tidak pernah mau bangun dari mimpi terindahnya ini.

            Gisha melangkah maju. Hendak meraih satu lembar post-it terakhir yang ternyata ditempel di grand piano Angkasa.

            Gisha mengambilnya dengan gugup dan mulai membaca.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang