12. Bermalam di Jakarta (II)

21.2K 2K 48
                                    

SETELAH mengantarkan Kaila pulang, Angkasa dan Gisha sekali lagi menjenguk Mama Gisha dengan membawa sekeranjang buah anggur hijau kesukaan wanita itu, kalau kata Gisha. Dan setelah dipaksa Papanya untuk kembali ke rumah—karena pada awalnya Gisha bersikeras ingin menginap dan menemani Maminya malam itu—akhirnya perempuan itu setuju untuk pulang mengingat dia bersama Angkasa. Dan saat ini, sekitar pukul sembilan malam, mereka sedang dalam perjalanan pulang dan terjebak macet. Membuat Angkasa tak berhenti mencak-mencak sepanjang jalan. Masalahnya, tingkat kemacetan di Jakarta benar-benar berbeda dengan di Bandung.

"Kita kapan nyampenya kalau jalannya aja lima belas menit sekali gini?" Angkasa kembali menggerutu.

Gisha yang sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti itu malah tertawa, "Ya sabar aja, Sa." Jawabnya untuk ke sekian lagi. "Mau tukeran? Gue yang nyetir?"

Angkasa melirik Gisha sebentar lalu menghela nafasnya dan bersandar di jok mobil sambil memijat pelipisnya. "Nggak, lah. Masa cewek yang bawa."

"Mau maen dulu? Kalau belok kanan di perempatan depan, nggak jauh loh ke Sency." Tawar Gisha. "Kita bisa nonton dulu, tuh. Lumayan lah, beres jam 11 atau jam 12, jalanan pasti nggak serame ini." Lanjutnya.

Angkasa mengerjap lalu menatap Gisha tak percaya. "Dasar, anak metropolitan. Kayaknya biasa banget ya, pulang tengah malem?"

Gisha tersenyum sebelum menatap jalanan di hadapannya. "Bukan biasa, Sa. Tapi jadi dengan sendirinya terbiasa. Ditambah lagi, banyak yang kayak gitu. Jadi, hal yang menurut lo nggak biasa itu di sini jadi hal yang biasa banget. Dan rasanya, bukan cuma berlaku buat gue. Tapi semua orang Jakarta."

Angkasa terdiam beberapa detik sebelum menyadari kalau ucapan Gisha ada benarnya juga. Ralat, bukan hanya ada benarnya tapi memang benar. Biasa dan tidak biasanya sesuatu itu kan, merupakan perspektif setiap orang. Dan itu adalah opini, di mana dia tidak bisa memaksakan apa yang menurutnya "iya" harus "iya" juga bagi orang lain.

Kalau dilihat dengan sudut pandang yang lebih terbuka, sepertinya Gisha tidak seburuk yang Angkasa bayangkan selama ini.

"Gue mau deh, tapi ke toko buku aja."

"Sa—"

"Mau nggak?"

Gisha memberengut tapi akhirnya menyerah juga. "Ya udah deh." Katanya.

Setelah sampai di perempatan yang Gisha maksud, Angkasa mebelokkan mobilnya ke arah kanan dan gedung besar Senayan City sudah terlihat. Hanya membutuhkan dua puluh lima menit bagi mereka untuk sampai di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta itu.

Ketika mobilnya sudah dengan aman terparkir di basement, mereka berdua masuk lewat pintu yang ada di basement dan menuju lift. Kebetulan sekali salah satu lift terbuka, membuat Angkasa langsung masuk diikuti Gisha.

Tanpa basa-basi, Angkasa langsung menekan tombol lantai tempat di mana toko buku berada. Gisha hanya geleng-geleng dibuatnya.

Ketika sampai di tempat tujuan, Angkasa seperti menemukan rumah tempatnya pulang. Dia terlihat sangat senang melihat tumpukan buku di mana-mana.

"Gue pilih-pilih dulu, nanti gue kasih tau kalau udah." Katanya yang dibalas anggukan terpaksa oleh Gisha.

Seolah tidak menghiraukan wajah duh–gue–mesti–ngapain–di sininya Gisha, lelaki itu dengan ringan meninggalkan Gisha dan mulai menjelajah buku. Dari mulai serial komik favoritnya sampai bacaan seberat filsafat. Setelah kurang lebih satu jam Angkasa memilih buku yang hendak ia beli, lelaki itu menuju kasir dan memandang sekeliling, mencari Gisha. Lalu dia menemukan perempuan itu sedang berada di rak tempat aksesoris—pembatas buku, gantungan-gantungan kecil, post it, dan sebagainya—sambil memeluk sebuah majalah fashion. Angkasa berjalan menghampiri Gisha yang sedang serius memilih gantungan-gantungan kunci di hadapannya. Dia lalu mengambil salah satunya dan wajahnya luar biasa kaget begitu melihat Angkasa sudah ada di sana.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang