7. Rahasia Gisha Terbongkar

23.9K 2.2K 18
                                    

ANGKASA Dirgantara menatap lengan kanannya yang kini sudah berada dalam balutan kain kasa putih. Saat ini dia menyadari kalau seharusnya dia mengikuti otaknya saja. Lihat apa yang terjadi ketika dia memaksakan mengikuti kehendak hatinya. Dia malah kecelakaan.

            Angkasa baru saja hendak meninggalkan ruang yang penuh pasien itu ketika suara langkah kaki yang berlari ke arahnya menghentikan gerakannya. Matanya lalu mendapati Gisha yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan nafas terengah. Tak lupa juga dengan wajah cemasnya yang mengeluarkan beberapa tetes peluh.

            "Lo abis maraton?" tanya Angkasa sarkastik.

            Gisha menelan ludah lalu menyentuh kedua pundak Angkasa panik. "Lo nggak apa-apa? Kenapa bisa jatoh? Apanya yang sakit?"

            Angkasa tertegun. Lalu berdeham sebelum kembali menetralkan ekspresi wajahnya. "Apa deh."

            "Seriusan, kenapa bisa sampe jatoh, sih?" Gisha bertanya tidak sabar.

            "Keserempet mobil." Jawab Angkasa seadanya.

            Gisha membelalakkan matanya. "Terus kemana sekarang mobilnya? Kok dia bisa nyerempet lo? Lo udah minta tanggung jawab? Mau gue bantu nuntut nggak?"

            Alih-alih ikut dalam kepanikan Gisha, Angkasa malah tertawa. "Gue nggak apa-apa, Gisha. Nih, cuma tangan gue doang."

            "Tapi tetep aja—"

            Angkasa berdiri. "Lo bukannya mau nonton sama Dewa?"

            Gisha mengerjap. Seolah menyadari sesuatu. Matanya lalu menatap jam dinding di belakang meja resepsionis dan dia meringis. Sudah hampir pukul lima. Tadi dia benar-benar seperti orang yang kehilangan akal sehatnya dan hanya berpikir bagaimana caranya agar dia bisa bertemu dan melihat keadaan Angkasa secepat mungkin.

            "Bentar. Gue telpon dia dulu." Ujar Gisha yang dibalas oleh anggukan Angkasa.

            Angkasa memerhatikan Gisha yang sedang menelpon lalu gadis itu kembali menghampirinya. "Ayo."

            "Dewa gimana?"

            "Udah balik kok, katanya. Pas gue lama nggak dateng dia bilang mungkin gue ada urusan atau ketiduran jadi dia balik." Jelas Gisha.

            "Oh," Angkasa mengangguk. "Dia emang nggak suka nunggu, sih."

            "Ya udah, ayo. Tangannya bener nggak apa-apa? Seriusan nggak perlu lapor polisi?" Gisha menatap tangan Angkasa ngeri.

            Angkasa memutar kedua bola matanya. "Ampun deh ibu-ibu cerewet banget."

            Gisha masih ragu tapi akhirnya mengangguk juga. "Gue urus administrasinya dulu. Sekalian ngambilin handphone lo. Masih di perawatnya, kan?"

            Mengangguk menjadi jawaban Angkasa.

            "Lo duduk dulu aja di sini, ya." Ujar Gisha sambil menekan kedua bahu Angkasa agar lelaki itu duduk di salah satu kursi tunggu.

            Angkasa mau tak mau tertawa juga melihat Gisha yang sudah seperti Mamanya saja. Oh iya. Benar. Mamanya. Perempuan itu pasti luar biasa cemas jika tahu dia mengalami kecelakaan, walaupun tidak terlalu parah.

            Manik cokelat Angkasa memperhatikan Gisha yang saat ini tengah mengisi formulir di meja resepsionis, perempuan itu lalu mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompetnya dan menerima bungkusan obat dan sebuah ponsel. Gisha memasukkan obat dan ponsel itu ke dalam tas selempangnya dan menghampiri Angkasa.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang