3. Hantu di Rumah Angkasa

30.5K 2.5K 44
                                    

GISHA hampir saja berteriak ketika Angkasa tiba-tiba masuk ke kamarnya diikuti dengan suara gebrakan pintu. Perempuan itu tahu ini memang rumah Angkasa, tapi tidak mengetuk pintu dulu ketika masuk ke kamar orang lain adalah sesuatu yang salah. Maksudnya, bagaimana kalau dia sedang dalam keadaan yang tidak pantas dilihat? Ganti baju, misalnya.

            "Nggak sopan banget sih." Gerutu Gisha pelan, masih sambil melanjutkan apa yang sebelumnya dia lakukan, membereskan meja rias.

            "Jangan keluar kamar sampe gue ke sini lagi, oke?"

            Gisha melirik Angkasa malas lalu memutar dua bola matanya, "Loh? Kenapa?"

            Angkasa mendengus, terlihat cemas akan sesuatu. "Ada Dewa di bawah." Katanya sambil sesekali melirik ke arah bawah.

            Lawan bicara Angkasa itu tahu betul siapa Dewa yang dimaksud. Dewa ini adalah sahabat dekat Angkasa. Dari yang Gisha dengar, mereka sudah bersama sejak TK dan masih sampai sekarang mereka sudah duduk di bangku SMA. Berarti sudah lebih dari dua belas tahun. Oh, mereka menghabiskan hampir seluruh hidup mereka bersama.

            "Katanya deket banget, kenapa nggak bilang aja sih gue tinggal di rumah lo?" Gisha menatap Angkasa datar.

            "Banyak nanya banget, sih. Pokoknya tunggu aja di sini." Jawab Angkasa cepat.

            Gisha menghembuskan nafasnya seraya mengangguk pelan, memberi tanda kalau dia menyerah. Lagi pula, dia tidak suka lelaki itu terlalu lama di dalam kamarnya.

            Angkasa baru saja hendak keluar dari kamar itu ketika jemari kecil Gisha menahan pergelangan tangannya. Dan seolah menyadari sesuatu, Gisha langsung menarik tangannya.

            "Apa?" Angkasa melirik Gisha kesal.

            "Kalau gue kebelet gimana?"

            "Tahan."

            "Kalau laper?"

            "Tahan."

            Gisha mendengus, "Gue bisa nahan buang air tapi nggak bisa nahan laper. Jadi—"

            Angkasa menggeram kesal. "Gue bawain, oke? Lo boleh sms gue kalau laper. Nanti gue bawain makanan ke sini. Puas?"

            Gisha tersenyum penuh kemenangan seraya mengangkat ibu jarinya puas. Jarang-jarang bisa menyuruh Angkasa melakukan sesuatu begini.

            Lelaki itu menghela nafas keras sebelum keluar dari kamar Gisha sementara dirinya langsung berbaring di atas ranjang sambil memainkan ponsel. Dan beberapa saat kemudian, rumah Om Krisna sepertinya alih fungsi menjadi stadion sepak bola.

            Gisha menggeram kesal sambil bangun dari posisi tidurnya. Dia tidak bisa melakukan apapun karena di bawah sangat berisik. Mereka itu kenapa sih?

            Gisha benar-benar tidak menyangka Angkasa yang di sekolah seperti orang bisu itu bisa sangat ramai ketika sedang bersama sahabatnya. Perempuan itu berdiri dan melangkah ke arah pintu seraya membukanya dengan gerakan yang sangat pelan, takut ketahuan. Padahal sepertinya kalau pun ada bom di sana, dua lelaki itu akan tetap fokus pada layar di hadapan mereka.

            Gisha berdecak ketika dia sudah berdiri di ambang tangga karena penasaran dengan apa yang membuat mereka berdua sangat ribut. Dan ternyata itu hanya sebuah video game. Mereka sedang main PlayStasion. Apakah harus seribut itu?

            Perhatian Gisha jatuh pada Angkasa yang kini sedang tertawa keras sambil beberapa kali memukul pundak Dewa. Itu benar-benar tidak terlihat seperti Angkasa yang dia kenal. Dia pikir, Angkasa tidak bisa tertawa karena mulutnya bermasalah atau apa lah. Tapi dengan Dewa, sepertinya hal itu menjadi sangat mudah.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang