21. Mauren di Mata Angkasa

21.3K 1.8K 41
                                    

LANGKAH kaki Angkasa terhenti di depan pintu kamarnya, lelaki itu kemudian duduk di lantai dan bersandar di depan pintu. Tidak pernah terpikir di benaknya kalau dia akan bertemu Mauren seperti ini. Terakhir kali dia melihatnya pun, ketika makan malam keluarga saat Mauren mengkhianatinya. Padahal, itu sudah berlalu cukup lama. Tapi, dia tidak tahu kalau melihat Mauren lagi ternyata membuat hatinya sakit. Melihat Mauren lagi, ternyata membawa luka lamanya kembali ke permukaan. Kedatangan mereka seolah menabur garam dalam luka Angkasa.

Selama ini, Angkasa sedang mempersiapkan diri.

Mempersiapkan diri agar ketika dia bertemu lagi dengan Mauren, dia bisa menyapanya tanpa beban.

Mempersiapkan diri agar dia bisa kembali bersenda gurau dengan Kakaknya seperti dulu tanpa terbesit rasa sakit dalam hatinya.

Mempersiapkan diri agar dia bisa benar-benar tersenyum ketika hari di mana Kakaknya telah memiliki Mauren sepenuhnya tiba.

Tapi, hal itu seolah sia-sia karena rupanya, rasa sakit itu masih ada hanya karena dia melihat mereka berdua.

Dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Sungguh.

"Tuhan mempertemukan untuk suatu alasan, Sa."

Suara yang belakangan ini sangat familier bagi Angkasa membuat kepala lelaki itu terangkat. Di hadapannya, dia melihat Gisha sudah duduk entah sejak kapan.

Tidak menggubris tatapan dingin Angkasa, perempuan itu tetap melanjutkan. "Entah untuk belajar, atau untuk mengajarkan. Entah untuk sesaat, atau untuk selamanya. Entah untuk jadi bagian terpenting, atau hanya sekadarnya." Kedua tangan Gisha meraih kedua tangan Angkasa dan mengusapnya pelan.

"Tapi, lo harus tetep ngelakuin yang terbaik di waktu itu, lakuin dengan tulus meski nggak berakhir sesuai dengan apa yang lo mau. Nggak akan sia-sia, karena Tuhan yang mempertemukan." Ujar Gisha diakhiri sebuah senyuman menenangkan.

Angkasa terdiam. Tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Gisha dengan mata kosongnya. Tangannya yang ada dalam genggaman Gisha lalu balik menggenggamnya, membuat Gisha menundukkan kepalanya untuk melihat tangan itu. Dalam gerakan cepat, entah karena dia kerasukan apa, Angkasa menarik tangan Gisha sampai kepala perempuan itu mendarat di dadanya. Lelaki itu melepas genggamannya dan melingkarkan tangannya di punggung Gisha.

Mereka diam untuk beberapa lama.

"S - Sa," ujar Gisha gugup dalam pelukan Angkasa.

Angkasa mengerjap. Lalu mendorong tubuh Gisha.

Apa-apaan?

Apa dia baru saja memeluk perempuan bodoh ini? Tapi, kenapa? Kenapa dia harus memeluknya?

Astaga.

Angkasa langsung berdiri dan membersihkan celananya. Gisha ikut berdiri seraya berdeham pelan.

"Sorry." Kata Angkasa tanpa menatap Gisha.

Perempuan itu mengangguk gugup. "Lo ..nggak apa-apa?" tanyanya juga tanpa menatap Angkasa.

Angkasa mengangkat bahunya tanpa memberi jawaban.

"She is fine. So, you have to." Ujar Gisha pelan. "Ayo." Lanjutnya sambil berjalan lebih dulu menuruni tangga. Angkasa mengikutinya walaupun diawali dengan langkah ragu. Tapi, semakin lama, langkahnya semakin pasti.

Dengan setengah berlari, Angkasa menyamakan langkahnya dengan langkah Gisha dan mereka berjalan berdampingan kembali ke halaman belakang.

Perempuan itu benar. Dia harus baik-baik saja.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang