31. Perasaan Glory

16.7K 1.7K 23
                                    

MILKSHAKE rasa stroberi yang hampir sepuluh menit berada di hadapan Gisha itu sudah hampir habis. Mata perempuan itu memandang kosong ke arah jalanan di hadapannya melalui jendela cafe. Jalanan yang sangat ramai dengan begitu banyak kendaraan berlalu lalang di jalan raya dan anak-anak sekolah yang sedang berjalan di trotoar atau pun menunggu angkutan umum. Saat ini, Gisha sedang duduk di salah satu cafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari SMA Negeri Nusantara seorang diri. Gisha, kan, tidak bisa naik angkutan umum. Makanya dia memilih yang dekat saja agar dia tidak terlalu lelah ketika harus berjalan pulang nanti.

Perempuan yang sedang duduk di salah satu kursi di samping jendela itu sedang menunggu seseorang. Tapi, bahkan setelah sepuluh menit berlalu, orang yang ia tunggu tidak juga datang.

Apa orang itu memang tidak akan datang?

Gisha menghembuskan nafasnya lalu bersandar pada punggung kursi. Matanya menatap gelas milkshakenya yang sudah mengeluarkan tetesan air karena es yang ada di dalam minuman itu.

Matanya menatap ke arah pintu masuk, dan tubuhnya tiba-tiba menegang ketika orang yang ia tunggu baru saja membuka pintu dan masuk ke dalam cafe. Orang itu melihat sekeliling dengan tatapan mencari, lalu berjalan dengan santai menghampirinya begitu mata mereka bertemu.

Orang itu langsung duduk di hadapan Gisha dan menatap Gisha dengan ekspresi tak terbaca.

"Lo mau ngomong apa?" dia bertanya to the point ketika Gisha tidak juga membuka mulutnya.

Gisha menghela nafasnya dan menatap mata orang yang sedari tadi ia tunggu itu lurus-lurus. "Mungkin, lo emang bukan tokoh antagonis kayak di cerita-cerita. Mungkin, lo juga emang nggak serendah dan semainstream itu. But, for Godness Sake, cara lo kampungan, Glory."

Iya, dia memang meminta untuk bertemu dengan Glory. Karena, dia tidak akan dan tidak ingin menyerah begitu saja. Jika Angkasa memang tidak mau mendengarkan penjelasannya, setidaknya Glory yang harus menjelaskan semuanya pada lelaki itu. Menjelaskan kalau pesan audio yang Glory kirim tidak seperti apa yang Angkasa bayangkan.

Terdengar kekehan keluar dari mulut Glory sebelum perempuan itu balas menatap Gisha. "Gue ketauan lebih cepet ternyata. How? Lo nyari tau diem-diem, atau Angkasa sendiri yang bilang sama lo?"

Tangan Gisha terkepal di bawah meja. "Itu bahkan nggak penting saat ini. Gue nggak suka orang yang maen belakang." Katanya dengan mata menyipit menatap Glory. Membuat aura di sekitar mereka seketika menegang.

"Lo pikir gue suka sama cara lo? Lo yang dateng tiba-tiba dan dalam waktu singkat udah ngambil tempat di sisi dia gitu aja? Lo pikir, gue yang selama tiga taun ini cuma bisa mendem perasaan gue, bakal diem aja? Nggak, Gisha." Katanya diiringi tawa samar.

Gisha mendesah frustasi. Kekesalannya terhadap Glory bahkan belum berkurang dan saat ini malah semakin bertamah saja. "Kalau gitu, ngomong sama dia. Lo nunggu apa? Dia yang datengin lo dan mohon-mohon sama lo?" Gisha tertawa mengejek. "Gue yang baru kenal sama dia aja tau banget kalau dia nggak akan mungkin ngelakuin hal kayak gitu. Harusnya, apalagi lo. Yang katanya udah punya rasa selama tiga taun buat dia." Dia melanjutkan.

Selama beberapa detik, Glory terdiam. Mungkin perempuan itu sedang memikirkan kalau apa yang Gisha katakan ada memang benarnya. Tapi perempuan itu malah tersenyum sinis. "Tujuan gue di sini cuma supaya kalian putus, karena gue nggak suka ada cewek lain yang nempel-nempel dia kayak benalu. Dan gue berhasil. That's all."

Gisha menghela nafasnya kesal. "Gue bahkan nggak pernah pacaran sama dia." Katanya dengan nada frustasi.

Glory terpaku. Matanya terbelalak. Antara bingung, kaget, dan ada juga sedikit tatapan tidak percaya di sana.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang