54. Penolakan Gisha

17.5K 1.8K 200
                                    

KETIKA seseorang yang Gisha kenal berjalan memasuki cafe, perempuan itu tersenyum. Tak lama, seseorang itu menghampiri Gisha dan duduk di hadapannya. Gisha menunjuk teh lemon hangat yang ada di hadapan orang itu dan mempersilahkannya untuk minum terlebih dahulu. Dia tahu betul perjalanan dari Bandung ke Jakarta tidak dekat. Apalagi jika harus menyetir sendiri.

            "Gue jadi nggak enak karena lo yang harus ke sini." Gisha mengusap tengkuknya. "Apalagi besok lo masuk sekolah."

            Dewa terkekeh seraya mengibaskan tangannya. "Nggak apa-apa. Lagian gue emang kangen juga sama lo."

            Gisha berdeham kecil kemudian tersenyum tidak enak. Perempuan itu mencoba bertingkah biasa saja dan langsung terkekeh. "Bisa aja. Lo udah makan? Mau pesen sesuatu dulu?"

            Dewa mengangkat cangkir lemon tea dengan tangannya sambil menggeleng. "Udah cukup, kok."

            Gisha mengangguk gugup seraya menghembuskan nafasnya. Bagaimana dia harus mengatakannya? Dimulai dari mana? Dewa ...tidak akan marah padanya, bukan?

            "Dewa." Setelah terdiam cukup lama, Gisha akhirnya membuka mulutnya juga.

            "Iya?"

            "Cerita kemaren itu," Gisha berdeham pelan, mencoba mengalihkan pandangannya dari dua manik mata milik Dewa yang terus saja menatapnya, "gue udah tau gimana akhirnya."

            Dewa tersenyum hangat seraya menyimpan cangkir yang sedari tadi ia pegang. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengangguk. "Gimana? Gue siap dengerin, nih." Katanya.

            Kali ini, giliran Gisha yang mengangguk. Perempuan itu memberanikan diri membalas tatapan Dewa.

            Iya, Gisha harus mengatakannya. Berbohong juga tidak akan baik nantinya.

            Tapi ..Dewa juga sangat baik padanya selama ini. Dan lagi, Dewa sudah menanggung begitu banyak kesedihan dan kekecewaan. Tega kah Gisha menolaknya? Sanggup kah dia melihat Dewa kecewa?

            Gisha menelan ludahnya.

            Tidak.

            Dia harus melakukannya.

            Meskipun menyakitkan, jujur selalu berujung pada kebaikan. Iya, dalam situasi apapun, jujur selalu lebih baik.

            Perasaan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.

            Cinta itu bukan sesuatu yang hidup karena belas kasihan.

            Benar.

            Setelah menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, kedua sudut bibir Gisha terangkat. Perempuan itu menatap Dewa. "Ternyata, di kerajaan itu, si pendatang baru tinggal sama pasangan suami istri yang punya anak laki-laki seumuran dia. Dan ...tanpa dia sadarin, ternyata dia terlanjur jatuh cinta sama laki-laki ini. Diem-diem, dia udah mulai tertarik sama laki-laki itu bahkan sebelum dia nggak sengaja ketemu sama Pangeran. Kalau aja, ini cuma kalau, kalau pendatang baru itu lebih dulu ketemu sama Pangeran, mungkin semuanya bakal beda. Tapi ...who knows?" Gisha kembali menghela napasnya. "Jadi, si pendatang baru yang bukan siapa-siapa ini, nggak bisa nerima ketulusan hati Pangeran."

            Selama beberapa detik pertama, Dewa terdiam. Lelaki itu hanya menatap Gisha dengan ekspresi tak terbaca—meskipun Gisha berani bertaruh kalau Dewa pasti kecewa–tapi kemudian, Dewa tersenyum dan mengangguk mengerti.

            Lelaki itu menghembuskan napas seraya bersandar pada kursi. "Jadi ...ceritanya sad ending, ya? Hmm."

            Gisha menggeleng cepat. "Lo tau, Dew? Salah satu hal yang bikin gue nggak abis pikir adalah, semua cerita kerajaan itu selalu berakhir bahagia. Karena itu, gue yakin cerita lo juga bakal happy ending. Cuma ...ceritanya harus sedikit lebih panjang aja." Katanya disusul kekehan.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang