16. Cemburu?

21.9K 1.9K 47
                                    

ENTAH untuk yang ke berapa kalinya, mata Angkasa melirik ke arah ponselnya dengan tidak sabar. Tangannya lalu mengambil benda itu, membuka kontak, terdiam sesaat, menekan tombol home, dan kembali melemparnya ke sofa. Terus saja seperti itu.

Sebenarnya, hal yang sedari tadi hendak Angkasa lakukan tapi kembali ia urungkan adalah menghubungi Gisha. Dan alasannya hanya satu; Gisha belum juga pulang. Dia memang meninggalkan perempuan itu tadi pagi, tapi, siapa yang sangka ternyata Gisha malah tidak masuk sekolah? Tidak apa kalau dia memang ada di rumah, masalahnya, saat ini dia tidak tahu perempuan itu ada di mana.

Setelah bertanya pada Mamanya—dengan berbagai macam alasan agar Mamanya tidak curiga tapi ternyata dia malah curiga– akhirnya Angkasa tahu kalau katanya Gisha berangkat ke sekolah.

Tapi, faktanya, batang hidung perempuan itu tidak juga muncul sejak bel masuk berbunyi sampai bel pulang berbunyi.

Dan, bukan, Angkasa bukannya khawatir atau apa. Dia hanya takut sesuatu yang buruk terjadi pada Gisha. Itu berbeda dengan khawatir, kan? Anggap saja berbeda.

Tapi, gengsinya ternyata terus menahannya supaya tidak menghubungi Gisha terlebih dahulu. Bukankah jika perempuan itu tidak mengabarinya berarti dia baik-baik saja? Jika memang terjadi sesuatu yang buruk, dia pasti sudah menghubungi Angkasa, bukan? Atau, setidaknya, menelpon rumah. Tapi nyatanya, kan, tidak ada. Jadi, kemungkinan kalau Gisha baik-baik saja memang lebih besar.

Tapi, bagaimana kalau dia tidak dalam keadaan bisa menghubungi Angkasa? Bagaimana kalau—

"Woy." Suara tepukan tangan di samping telinga Angkasa membuatnya terperanjat dan lelaki itu langsung otomatis memundurkan tubuhnya begitu dia melihat Dewa yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingnya.

Mendengar suara rusuh di belakangnya, dia menoleh dan menemukan Gisha dengan boneka jerapah di tangannya, sedang berjalan dengan repot menaiki tangga.

Sepertinya ada yang salah.

Kenapa Gisha dan Dewa ada di rumahnya di saat yang sama?

"Heh!" teriak Angkasa menahan langkah Gisha. Perempuan itu menoleh dan mengangkat kedua alisnya bingung. "Lo kemana? Lo nggak tau hukuman buat yang absen tanpa pemberitahuan?"

"Dia sama gue." Jawab Dewa membuat Angkasa mengalihkan pandangannya dari Gisha pada sahabatnya.

"Lo bolos juga? Pantes aja nggak kelihatan." Ujar Angkasa sambil sesekali melirik ke arah Gisha yang sudah hampir berada di ujung tangga.

Dewa tersenyum penuh arti dan mengangguk semangat. "Sebenernya, gue ke sini mau bilang makasih."

Angkasa tidak bisa menyembunyikan kebingungan dari wajahnya. "Makasih?"

Dewa kembali mengangguk sebelum berdiri dan menepuk bahu Angkasa beberapa kali. "Makasih udah ninggalin dia tadi pagi." Katanya seraya tersenyum jahil dan berjalan dengan senang menuju pintu rumah Angkasa untuk keluar.

Kenapa Dewa berterimakasih? Memangnya meninggalkan adalah Gisha sesuatu yang baik?

Angkasa mengerjap, mencoba memahami situasi. Lelaki itu menelan ludah sebelum mengangkat tangannya dan menepuk-nepuk dada kirinya.

Apa dia terkena gangguan pencernaan?

Kenapa rasanya sesak?

***

Gisha kembali mencuri pandang pada Angkasa yang sedang berlari di tengah lapangan dengan bola cokelat muda bergaris yang seolah tak mau lepas dari tangannya. Hari ini, jam pelajaran pertama kelas XII IPA 1 memang olah raga. Dan Pak Anton, salah satu guru olah raga SMA Nusantara yang kebetulan mengajar di jelas XII, sedang mengurus sesuatu sehingga tidak dapat hadir. Karena itu, para siswa dibebaskan untuk melakukan olah raga apapun. Ada yang bermain basket seperti Angkasa, ada yang langsung naik ke lantai atas untuk berenang, ada yang bermain futsal, dan ada juga anak-anak seperti Glory yang malah berlatih cheers di pinggir lapangan. Tapi, ada yang lebih parah. Iya, Gisha. Selain duduk di tempat teduh di pinggiran lapangan dan mencuri-curi pandang pada Angkasa, tidak ada lagi yang Gisha lakukan.

Senandung di Kota BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang