"Oh, Caroline..." bisikku pelan. Louis mendorongku menjauh darinya saat Caroline sudah tak terlihat lagi.

"Kenapa kau membiarkan gadis secantik Caroline mengejarmu dengan sepenuh hati sementara semua orang tau jika kau pasti menolaknya mentah-mentah?" Louis berjalan pelan meninggalkanku, dengan segera aku mensejajarkan langkahku.

"Kau tak tau apa yang mereka pikirkan Lou. Mungkin kau bisa memberikan gambaran penglihatan tentang apa yang ada dipikiranmu padanya, tapi kau tak bisa membaca apa yang ada di pikirannya dan kau juga tak bisa merubahnya." nada suaraku meninggi. Louis bersikap kekanak-kanakan hari ini, aku tak habis pikir dengannya.

"Kenapa kau marah? Aku hanya sekedar memberi saran untukmu." ia dengan gerak refleknya menghentakkan sebelah kaki dan menghentikan langkahnya—marah.

"I'm sorry Lou. Kau benar, hanya saja aku tak tertarik dengan gadis itu." ucapku lirih.

"Well—untuk apa kita bertengkar hanya karena Caroline? Lebih baik kita berunding masalah Liam dan Nathalie. Apa kau pikir mereka akan benar-benar berpacaran seperti kata Zayn?" lanjutnya,

"Apapun yang Zayn katakan memang benar adanya. Zayn tak pernah meleset, dan kali ini aku yakin meskipun dari pikiran Viola aku tau bahwa Nathalie membenci kelompok kita."

"Apakah menurutmu identitas kita akan terbongkar? Maksudku—aku tak ingin mengulang kejadian masa lalu tentang Danielle. Gadis itu harus meregang nyawa karena serangan kelompok lain. Dan satu lagi, apakah kau yakin Niall akan tahan dengan bau darah Nathalie? I thought , her blood is  smell really good for a vampire new generation." Louis berbisik pelan. Tanpa disadari, kami telah berdiri didepan ruang kelas matematika. Itu artinya aku harus masuk dan memulai pembelajaran. 

"Aku yakin kita bisa melewati semuanya. Percayalah Lou!" aku langsung masuk kedalam kelas sementara Louis segera berlalu menuju kelas selanjutnya.

Aku terduduk dibangku paling belakang seperti biasanya, menatap lurus kedepan dan tanpa celah. Saat kembali aku memutar apa yang telah dikatakan Louis, lelaki itu benar soal Danielle. Gadis itu tak bersalah dan meregang nyawa karena bangsa kami. Liam, ia yang paling bertanggung jawab diantara yang lain.


--FLASHBACK ON--

Aku berjalan menyusuri jalanan kota New York yang tergenang air. Hujan baru saja reda, angin bertiup cukup kencang di sertai dengan kilat dan petir yang mulai menyambar. Kurapatkan mantelku sampai rasa dingin itu tak menembus kulit. Tugas esai untuk besok masih menumpuk di apartemen sementara dua hari lagi semuanya harus terkumpul, daripada kepalaku pecah dengan tugas-tugas itu akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kedai kopi di sekitar sini.

Decit ban mobil yang bergesekan dengan aspal licin sangat mengganggu telinga, aku tak sadar ketika bahaya sedang mengintaiku. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi sedang hilang kendali. Bagian depan mobil itu menyenggol tubuhku dan membuatku terpelanting, kepalaku terbentur kerasnya trotoar dan saat itu aku merasakan cairan dingin yang mengucur dari keningku. Keadaan jalanan yang sepi karena hujan deras yang baru saja reda membuat tak ada satupun orang yang mengetahui keadaanku, sementara mobil yang menabrakku pergi entah kemana. Aku ingin berteriak, tapi tenggorokanku seakan tercekat, kepalaku pusing luar biasa.

Sesosok lelaki dengan mantel biru tua dan topi hitam yang menutupi separuh wajahnya mendekat kearahku. "Hey dude!" lirihnya, lelaki itu membawaku ketepian. "Please, save me." nadaku tersengal. Ya Tuhan, sepertinya hidupku akan berakhir hari ini juga.

"I'm so sorry. But you ask me to do this." ia mendekatkan wajahnya kearah leherku. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang mulai menyentuh bagian leherku, tepat di urat nadi lambat laun rasa tertusuk itu kian terasa. Entah benda apa itu, yang jelas ini seperti menyuntikkan sesuatu dalam tubuhku.

Bloodstains (1D's Vampire Story) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang