13: the Murder(s)

91 10 2
                                    

"EHEM,"

Suara itu mengintrupsi kelas agar diam, Pak Wisnu sudah berdiri di depan pintu dengan kertas di tangannya. Kelas XI IPA-1 menjadi sunyi. Memang, Kelas yang seperti dulu di batalkan, masa percobaan tidak lulus. Dan kembali menjadi normal.

"Besok kalian akan berenang, okay. Materinya tentang renang. Untuk yang cowok, terserah mau pakai baju renang, atau hanya celana renang saja, itu terserah. Tapi kalau cewek, diwajibkan memakai baju renang, tidak boleh memakai bikini." terang Wisnu dengan tegas.

"Yah, nggak apa-apa dong, Pak, kalo pake bikini. Asoy, kan." celetuk Bimo. Yang di pelototi oleh yang lain. "Bimo, kamu itu." Pak Wisnu sampai tak bisa mengucapkan apa-apa.

"Ya sudah, terimakasih atas waktunya. Kalian boleh pulang, terimakasih."

"IYAAA, PAAKK."

"SELAMAT SIANG JUGA PAAK."

Dan lain-lain.

Ethan lantas menyambar tasnya yang ada di atas meja. Raditpun sedang mengobrol dengan yang lain. Ethan hanya mengkode kepada Radit seakan gue-pergi-dulu. Radit hanya mengangguk tipis. Tepat saat Ethan keluar, Vania, Elisa, Fara, dan Risca keluar dari kelas mereka. Ya, Elisa dan Vania sekelas.

"Hai, Van," sapa Ethan pada Vania. "Gue nggak disapa? Gitu lo, ya." Ethan melirik Elisa kesal, "Lo mah, di rumah juga bisa."

"Ya udah, gue ada urusan. Gue pergi dulu." Ethan langsung ngacir sebelum di tanya macam-macam. Tujuannya cuma satu. Taman Belakang Sekolah.

Taman Belakang Sekolah sedang sepi, dan Ethan bersyukur karena itu. Ethan sama sekali belum menyentuh pohon itu setelah kejadian Veera dibunuh. Maka dari itu, sekarang Ethan akan mengeceknya.

Mata tajamnya meneliti pohon yang paling besar di Taman itu. Namun, nihil, tak ada apa-apa. "There's have to be something in here." gumam Ethan, penasaran. Mendongak. Lalu matanya menatap dahan pohon tersebut.

Lalu ia memanjat pohon yang tinggi tersebut, lalu ia melihat di batang pohon dekat dahan pertama, ada goresan pisau yang dalam, lalu ia menyelipkan semacam notes di dalamnya, dengan warna coklat yang sama sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Ethan tersenyum, "I knew it!" pekiknya lalu mengambil notes tersebut dan duduk di dahan pohon, badannya bersender di batang pohon.

Perlahan membuka notes yang terlipat. Isinya;

Oke, kali ini aku akan menulis lebih panjang. Kau tahu dengan pasti artinya di surat pertama, kan? Kau terlampau cerdas, Eth. Tapi sayang, kau tidak secerdasku. Kau juga belum tahu siapa aku. Kau bodoh.

-Unknown

Ethan meremas notes kecil itu dengan geram. "Damn it, lo siapa, sih?" Ethan memutar otak untuk mengingat siapa orang itu. "Eth, lo ngapain di atas?" pekikan itu membuat Ethan menoleh ke bawah. Vania.

"Oh, nggak kok, nggak apa-apa." Ethan tersenyum. Vania hendak memanjat pohon itu juga, membuat Ethan terbelalak. "Are you kidding me, Van? Biar gue yang turun. Stay right there." Ia memasuki notes tersebut ke saku celana, lalu kembali memanjat turun.

"Lo ngapain di atas sana?" tanya Vania bingung. "Cuma... Nyari udara aja. Kan enak tuh, kalo diatas juga, adem. By the way, lo nggak pulang?" Ethan mengalihkan pembicaraan. "Oh, Kakak gue biasa, telat jemputnya. Gue bosen. Akhirnya ke sini, deh. Eh, nemu lo diatas."

SPYWhere stories live. Discover now