"Silahkan, terimakasih pak, atas kerjasamanya." Ali menjabat tangan polisi itu kemudian kembali masuk ke mobilnya, mengikuti laju ambulance yang membawa Cakra ke Rumah Sakit terdekat.

Dalam hatinya perasaan Ali sungguh tak keruan, ia bingung bagaimana caranya memberi tahu Prilly tentang ini, apalagi kondisi Cakra yang belum sadarkan diri.

Sesampainya di Rumah Sakit, Cakra segera dibawa ke UGD, dan Ali menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Berkali-kali pemuda itu menatap layar handphonenya, hingga akhirnya Ali mengambil satu keputusan untuk menghubungi Prilly.

Kaki pemuda itu tak berhenti menjahit, perasaan cemas dan takut tetiba membuatnya merasa gemetar saat nada sambung di nomor Prilly masih terdengar.

Sekali lagi, Ali mencoba untuk kembali menghubungi Prilly.

"Angkat donk, angkat..." Ali berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mondar mandir menunggu Prilly menjawab telefonnya.

"Haloo... "  Ali bisa mendengar suara Prilly yang parau khas orang bangun tidur, akh... rupanya gadis itu sedang tidur.

"Gue mau kasih tau sesuatu, tapi elo jangan kaget ya?" Ali mengatur nafasnya.

"Kenapa sih? Gak bisa besok aja ngomongnya? Gue ngantuk banget tahu? Ini tu jam... ya ampun ini tu jam 12 malam bego! Ngapain elo telefon gue malem-malem gini?"

Ali mengembuskan nafas kasar, dia tak habis fikir dengan Prilly yang selalu saja cerewet meski dalam kondisi mengantuk sekalipun.

"Papa loe kecelakaan, sekarang ada di Rumah Sakit, gue gak tahu gimana kondisinya karena sekarang papa loe masih di UGD, ditangani sama dokter, gue sms in alamat rumah sakitnya, dan... elo kudu sabar ya."

Ali sudah tak lagi mendengar jawaban dari Prilly, yang hanya Ali dengar hanya isakan tangis.

"Hei... kamu gak papakan?" Ali mencoba menyakinkan.

"Gue gakpapa, makasih infonya ya Li, cepet smsin alamatnya, nanti gue ke sana sama bunda."

Ali menghembuskan nafasnya saat Prilly sudah menutup telefonnya.

"Mas, mas anggota keluarga pasienyang baru kecelakaan?" Seorang suster menghampiri Ali.

"Iya suster." Hanya Itu yang keluar dari mulutnya karena Ali tak mau terlalu ribet.

"Pasien kehilangan banyak darah, dan beliau membutuhkan golongan darah AB, dan maaf sekali stok darah AB dirumah sakit sedang habis, kami butuh pendonor secepatnya, karena kalau tidak nyawa pasien dalam bahaya." Wajah Ali berbinar saat itu, entah suatu kebetulan atau apa, golongan darah Ali sama dengan golongan darah Cakra.

"Saya AB sus, silahkan ambil darah saya saja."

"Syukurlah, mari mas ikut saya."

Ali berjalan mengekor dibelakang Suster itu.

30 menit kemudian.

Prilly dan Jesika tiba dirumah sakit dengan perasaan cemas, sedari tadi gadis manis itu tak berhenti menangis, sedang Jesika berdoa dalam hati, semoga suaminya itu baik-baik saja.

Setelah bertanya pada receptionist mereka segera menuju ke lantai 6 tempat dimana Cakra di rawat. Hingga tibalah mereka di tempat yang dimaksud.

Segera Prilly membuka pintu kamar, disana ayahnya terbaring lemah dengan perban yang menutup kepala, dalam hati Prilly lega karena ayahnya dalam kondisi yang masih tak terlalu mengkhawatirkan.

Mereka segera menghambur ke tempat Cakra dibaringkan, tanpa memerhatikan Ali yang tengah terduduk di sofa dengan kepala bersandar pada sandaran sofa. Kepalanya terasa sediki pening karena acara donor darah dadakan tadi.

Melihat Prilly dan Jesika, Ali segera menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekati mereka.

"Selamat malam tante." Jesika menatap lekat kepada pemuda yang saat ini tersenyum ramah ke arahnya.

"Siapa kamu?"

"Ini Ali bund, temennya Prilly, Ali ini yang tadi telefon Prilly kasih tau keadaan ayah." Jesika mengembuskan nafas lega.

"Terimakasih ya nak Ali sudah memberi tahu kami, akh... bagaimana keadaan suami tante?"

Ali menjelaskan jika kondisi Cakra sudah membaik, benturan dikepalanya memang sempat membuat Cakra kekurangan darah, tapi setelah mendapat donor dari Ali, kondisinya sudah membaik, tinggal menunggu kesadarannya Cakra saja, dan semoga benturan dikepalanya tidak membuat Cakra mengalami cidera serius.

Ali juga menceritakan kronologi kecelakaan yang dialami Cakra, tapi Jesika tak menyalahkan si penabrak, dan tak akan memperpanjang kasus ini, cukup diselesaikan dengan kekeluargaan saja, yang penting suaminya baik-baik saja.

Jesika tak berhenti mengucapkan terima kasih kepada Ali.

"Nak Ali, tante bisa minta tolong, anter Prilly pulang?"

"Prilly kan masih mau disini sama bunda," Prilly mencembikan bibirnya tak terima.

"Sayang, kamu pulang nanti balik kesini lagi, bunda cuma minta tolong ambilin keperluan bunda sama ayah." Prilly mengangguk patuh, kemudian menoleh ke arah Ali yang juga tengah menatapnya.

"Ayo pulang, gue anter." Ali menjulurkan tangannya, Prilly menatap ragu, tapi kemudian dia meraih tangan Alo.

"Aku pulang dulu ya bund."

"Hati-hati sayang."

"Permisi tante." Jesika mengangguk.

Ali dan Prilly berjalan beriringan dengan tangan Prilly yang mendekap erat tangan Ali.

"Makasih ya Li," Prilly berucap lirik, membuat Ali tersenyum kemudian mengacak lembut rambut Prilly.

Prilly merasakan debaran jantungnya tak wajar, dalam hati ia menjerit, bahkan wajahnya sudah sangat merah saat ini, seperti tomat segar sipa petik.

Perlakuan Ali yang menurutnya terlalu lembut membuat Prilly melayang, bahkan senyum lembut Ali yang terkenal langkah itu tetiba tersemat di wajah tampannya saat mereka saling tatap tadi.

Akh... apakah Prilly sedang bermimpi saat ini?

"Prill... do you feel what I feel now?" Prilly mengerjapkan matanya, bukannya ia tak mengerti dengan arti kalimat itu, bukan, tapi dia tak mengerti dengan maksud Ali mengatakan hal itu.

"Maksudnya?"

Terdengar helaan nafas dari mulut Ali, membuat Prilly semakin tak mengerti dengan kelakuan aneh Ali itu.

"Lupakan."

Prilly kembali menatap Ali bingung, pemuda itu kembali bersikap tak acuh padanya. Tapi Prilly bisa merasakan pegangan tangan Ali mengerat.

Prilly menatap Ali tersenyum.

"Yes, I do." Ucapnya lirih.

Ali lega, karena gadis itu akhirnya kembali tersenyum. Karena saat melihat wajahnya yang sendu tadi ada gurat kesedihan tersemat di wajah Ali, ia tak mau gadis itu mengeluarkan air matanya. Karena apa yang dirasakan Prilly saat ini Ali pun ikut merasakannya.

****


HARMONIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang