Epilog

1.6K 50 1
                                    


Butuh 3 bulan untuk Aruni mempersiapkan diri.

Sampai akhirnya, ia datang kesini untuk pertama kali. Masih ada rasa takut sejujurnya. Tapi dia harus pindah keluar kota dan tidak bisa menundanya terlalu lama lagi.

Pintu di seberang sana akhirnya terbuka. Masuk seorang sipir diikuti seorang tahanan di belakangnya. Devan.

Aruni menarik napas saat tatapan lelaki itu menemukannya.

"Aku jaga di depan pintu." Ucap si sipir. Keluar. Lalu menutup pintu.

Dengan langkah sangat pelan Devan mendekati meja yang diduduki Aruni. Keheningan menyelimuti mereka dalam sesaat sampai akhirnya Devan duduk di satu kursi kosong lainnya.

"Ada apa?"

Pria itu tampak lebih kurus. Jambang mulai memenuhi garis pinggir wajahnya.

"Sebenarnya... aku mau tanya ini dari dulu, tapi baru sekarang aku berani."

Aruni menarik napas dalam.

"Mas Dev pindah ke rumah itu, apa juga sebagian dari semua yang sudah Mas rencanakan?"

"Ya. Aku mau tahu bagaimana kehidupan pria itu. Aku datang ke sana agar bisa memperhatikannya lebih dekat."

Aruni memainkan kuku-kukunya. "Lalu aku... apa juga-"

"Nggak." Devan menarik napas dalam. "Bertemu Mba Aruni sama sekali bukan bagian dari rencanaku."

"Zio... bagaimanapun tidak pernah melakukan apapun yang menyakiti Mas Dev, kenapa Mas Devan harus melampiaskan semuanya kepadanya?"

"Aku benci dia." Jawab Devan. "Ibu-"

Baru kali ini Aruni melihat Devan tercekat. Nadanya bergetar hanya karena satu panggilan itu.

"Mengelus rambutnya... Memegang tangannya... Mencium keningnya...." Devan kembali terbayang akan perlakuan Dian kepada Zio. "Kenapa aku, tidak pernah diperlakukan seperti itu dulu?" Devan lebih bertanya kepada dirinya sendiri.

Devan kembali melanjutkan. "Waktu itu, saat aku akhirnya berhasil menemukan keberadaan Ibu, aku pergi menemuinya. Aku harap dia tersenyum atau sekedar menanyakan keadaanku. Aku akan mengerti jika dia tidak ingin merawatku lagi. Dia boleh mengatakannya. Dan jika dia melakukan hal itu, mungkin aku akan memaafkannya saat itu.

Namun, saat dia melihatku dia malah memalingkan wajah, menggandeng anak itu pergi. Berpura-pura tidak mengenaliku padahal dia tahu itu aku."

Devan menatap Aruni dalam. "Saat itu aku memutuskan, anak itu tidak boleh merasakan apa yang tidak pernah kurasakan."

Kilatan amarah masih membara di tatapan Devan. Aruni memejamkan mata perlahan. Sekarang tahu, sampai kapanpun tidak akan ada seseorang yang mungkin bisa meredam dendam di hati pria itu.

"Nggak ada rasa penyesalan di hati kamu, Mas?"

"Untuk apa? Aku sudah melakukannya."

Aruni menurunkan pundaknya. Berusaha melemaskan tubuhnya yang tegang sedari tadi. Beranjak dari kursi setelah meraih tasnya.

"Mba tahu apa yang diucapkan Zio tentang Mba terakhir kali?"

Pertanyaan Devan kemudian menghentikan kaki Aruni yang selangkah lagi sampai di depan pintu. Aruni menoleh.

"Apa yang dia katakan tentangku?"

"Zio tahu aku menyukai Mba Aruni. Dan dia bilang akan menyerahkan Mba Aruni kalau aku menyerahkan sejumlah uang yang dia inginkan. Dengan kata lain, dia menjualmu. Hal itu... yang membuatku tidak ragu untuk menyingkirkannya."

Sebilah pisau seakan sedang menyayat hatinya. Sepertinya kata br*ngsek tidak cukup mendefinisikan untuk sosok Zio.

"Kenapa Mas, tidak menceritakan ini ke polisi?"

Devan diam.

"Jangan pernah kembali lagi kesini." Ucap Devan malahan. "Jalanilah hidup yang tenang dan bahagia. Kuharap... Mba Aruni tidak akan pernah bertemu lagi dengan lelaki macam dia, atau aku."

Buru-buru Aruni membuka pintu di depannya, meninggalkan ruangan itu karena matanya mulai menghangat.

Aruni berusaha menahannya, setidaknya sampai dia mendapatkan taksi nanti. Tapi persetan, Aruni tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Tidak peduli pada banyak polisi yang berlalu lalang, tangis aAruni pecah saat kakinya berhasil melangkah keluar dari gedung itu.

Bagaimana ia bisa tenang? Apakah ia bisa hidup bahagia?

Ada jejak dalam dirinya yang akan terus ia bawa. Yang pasti akan mengingatkannya pada semua yang terjadi saat ini.

Aruni menyentuh perutnya. Sekarang mungkin belum terlihat karena usianya... baru memasuki 3 bulan.

~ the end ~

***

Akhirnyaaa...

Nggak nyangka antusiasme untuk naskah ini begitu menyenangkan.

Terima kasih untuk para pembaca setia, untuk yang nggak lupa nge klik bintang, atau kasih komentar... makasih banyak-banyak.

Milik Tetangga [SELESAI]Where stories live. Discover now