20. Dari Rantang Ke Ranjang

5.1K 45 0
                                    

Apalagi saat Devan mengatakan. Kalau dirinyalah kebahagiaan Devan. Mungkin terdengar seperti rayuan maut. Tapi saat Devan menceritakan masa lalunya, tatapan kosong itu bukanlah sebuah kebohongan tentang rasa sedih dan sakit yang pernah di alaminya.

Devan ingin bahagia.

Begitupun dirinya.

*

"Lama banget, Run?" Sergah Miya yang ternyata masih duduk santai di ruang tamu.  Dengan laptop di pangkuannya yang menayangkan drakor saat Aruni kembali.

"Ta-tadi ngobrol dulu."

Tanpa curiga, Miya kembali melihat ke layar laptopnya. Aruni kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam, sebelum panggilan Miya yang sebenarnya biasa-biasa saja, tapi mengagetkannya. Dia takut Miya bertanya yang aneh-aneh.

"Oh iya, Run! Lo jadi mau nyewain kamar kosong nanti? Kebetulan seminggu lagi kosan gue habis. Mending gue pindah ke sini daripada perpanjang kosan yang sekarang. Mana disana airnya sering mati."

"Itu...." Ternyata bukan pertanyaan aneh. "Kalau buat Lo nggak apa-apa sih. Cuma kayaknya kalau buat orang luar, masih gue pikirin."

"Ok. Bestie." Miya mengacungkan jempolnya setelah mendapat kepastian untuk tidak memanjang kontrak dengan pemilik kosannya sekarang.

"Tapi nanti, gue minta ijin ke Pak Rt dulu."

Miya mengangguk.

Aruni masuk ke dapur. Mengambil sebotol air dingin. Menyimpan sedikit cairan di mulutnya hingga membuat pipinya menggembung sambil membuka pesan yang baru saja masuk di ponselnya.

'Tadi pengen cium, Mba. Cuma inget lagi sakit. Takut nular.'

Pesan dari Devan sukses membuat Aruni tersedak. Sampai dadanya terasa sakit.

Haruskah Devan mengiriminya pesan sefrontal itu? Keinginan Devan itu sebenarnya bisa disimpan dalam hati saja tanpa perlu di utarakan.

'Kok ngga bales?'

Astaga. Tidak tahukah dia Aruni masih merasakan sakit di dada akibat tersedak tadi.

*

"Pengen sarapan bubur ayam yang di depan Ind*maret gue." Gumam Miya yang sedang menjemur pakaiannya di halaman depan. Karena jemuran di belakang rumah sudah penuh dengan milik Aruni. Aruni tahu tempat yang dimaksud Miya.

"Alah, alibi. Paling ujung-ujungnya masuk ke kafe deket ind*maret sambil merhatiin si kasir itu...."

Miya nyengir. "Tahu aja loh."

Beberapa waktu lalu Aruni pernah menyambangi tempat tersebut bersama Miya. Sudah cukup lama sebenarnya. Dan Miya langsung terpesona pada pegawai laki-laki yang bertugas sebagai kasir di kafe tersebut waktu itu.

"Dia masih kerja di sana nggak ya, Run?"

Aruni mengedikkan bahu. "Mana gue tahu."

Dari belokkan jalan komplek yang bisa terlihat dari rumah Aruni, tiba-tiba saja muncul seorang pria yang menyita perhatian keduanya.

"Eh, siapa tuh?" Mata Miya ini paling jeli kalo soal pria. Apalagi pria tampan. Tapi anehnya Aruni tidak pernah melihat Miya bersemangat mendekati salah satu pria itu. Katanya, hanya memperhatikan mereka dari jauh adalah kenikmatan tersendiri, bagi Miya. Aneh memang. Dia bahkan menolak beberapa pria yang mendekatinya padahal beberapa dari mereka memiliki paras yang lumayan.

Miya juga bukan wanita yang jelek-jelek amat. Dia pintar bersolek dan menjaga diri bagaimana tetap enak di pandang mata. Dia juga selalu wangi. Itu kenapa Aruni tidak segan menyewakan salah satu kamarnya pada Miya, karena Aruni tahu Miya adalah orang yang bersih dan apik.

Milik Tetangga [SELESAI]Where stories live. Discover now