21. Sang Dalang

3.7K 55 4
                                    

Devan memperhatikan wanita dalam dekapannya yang mulai menggeliat. Tinggal menghitung detik pasti kelopak mata itu akan terbuka.

Benar saja.

"Jam berapa?" Tanya Aruni begitu membuka mata.

"Tiga." Jari-jemari Devan memilin-milin rambut Aruni. "Jam berapa teman Mba pulang?" Kini giliran Devan bertanya.

"Malam." Jawab Aruni yang tidak jadi mengangkat kepalanya dari lengan Devan karena waktu belum terlalu sore. "Oh iya, dia bakalan pindah ke sini. Dia nyewa salah satu kamar."

"Hmmm...." kini jari jemari Aruni yang di mainkan tangan Devan, "kalau begitu kita nggak bisa begitu leluasa lagi."

Kepala Aruni mendongak, ingin mengucap sesuatu. Bersamaan dengan salah satu kakinya yang dinaikkan ke salah satu kaki Devan. Mengeratkan lengannya yang masih memeluk pinggang Devan. Tubuh polos mereka masih saling bersentuhan di balik selimut.

Devan menunduk untuk membalas tatapan Aruni dan menunggu apa yang akan diucapkan wanita itu.

"Kita masih bisa ketemu dalam lima langkah. Hanya butuh cari waktu yang tepat."

"Ya... Tapi, syukurlah. Mba Aruni nggak kesepian lagi sendirian di rumah."

Bibir ranum itu menyunggingkan senyum tipis. Membuat Devan ingin mencecapnya sedikit. Sayang sekali, ponsel Aruni yang berdering harus menghentikannya.

Aruni menggeser tubuhnya. Menjauh dari Devan untuk mengambil ponselnya di atas nakas. Keningnya berkerut saat melihat nama di layar. Aruni pikir wanita itu tidak akan pernah menghubunginya lagi. Urusan mereka sudah selesai, tapi....

"Siapa?" Devan penasaran karena Aruni tampak berpikir untuk mengangkatnya.

"Merin."

"Angkat aja."

Bukan karena perintah Devan, tapi Aruni memang berniat menerima telepon itu karena rasa penasaran.

"Halo?"

"Mba. Bisa kita ketemu?"

Aruni diam.

"Ada apa emangnya?" Tanya Aruni kemudian.

"Hmm... nggak enak ngomong di telepon."

Devan hanya bisa mendengarkan dari samping tanpa bersuara. Sementara Aruni berbicara di telepon, tangan Devan menelusup masuk ke balik selimut. Menangkup salah satu bulatan kenyal yang pas di tangannya. Delikkan sinis diterima Devan tapi dia tidak memedulikkan hal itu sama sekali.

"Sekarang aku nggak bisa. Nanti malam ketemu di luar?" Aruni berusaha menurunkan tangan Devan dari dadanya, namun seperti biasa, usahanya tidak lebih dari sekedar sia-sia.

"Baik." Merin setuju.

Tidak lama sambungan dimatikan.

"Mas. Aku loh lagi nelp-" Devan mencondongkan badan. Membungkam Aruni dengan mulutnya. Sementara tangannya mulai beranjak turun. Saat Devan berhasil menyentuh titik bagian dalam, cengkeraman di bahunya semakin kuat.

Reaksi tubuh Aruni terhadap rangsangan-rangsangan yang dibuatnya menjadi candu bagi Devan. Ia ingin terus melihat wajah memerah wanita itu. Membuat kakinya bergetar. Devan suka mendengar namanya diteriakkan saat wanita itu tidak berdaya.

Napasnya yang memburu berangsur normal. Ototnya yang mengejang mulai kembali relax. Devan mengeluarkan tangannya. Melumat lagi bibir cantik yang kini sedikit bengkak dan merah akibat ulahnya.

Tiba-tiba dorongan keras pada bahunya membalikkan posisi mereka.

"Aku mau memimpin." Bisik Aruni.

Devan menaruh satu tangannya ke belakang kepala. Satu tangannya mengelus paha Aruni yang berada di sisi pinggulnya. Sudut bibirnya terangkat ke atas.

Milik Tetangga [SELESAI]Where stories live. Discover now