4. Kali Terakhir

3.3K 37 0
                                    

Devan menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menyenderkan tubuhnya di badan mobil sambil memperhatikan. Mengangkat sudut bibirnya. Tersenyum kecil. Tidak menyangka Aruni benar-benar melakukan apa yang diperintahkannya.

Saat Aruni berlari kembali ke arah mobil, saat itu juga Devan masuk ke mobilnya.

"Jalan aja, Mas Dev." pinta Aruni. Tidak peduli pada Zio yang sedang ikut berlari ke arah mobil mereka.

Devan menurut. Langsung melajukan mobil. Memastikan kalau Zio tidak mengikuti di belakang.

Devan kembali memperhatikan Aruni yang sedang melihat telapak tangannya sendiri yang tadi digunakan untuk memukul Zio. Tangannya bergetar bergitu hebat.

Aruni mengambil beberapa lembar tisu lalu membersihkan telapak tangannya. Tadinya biasa saja, namun semakin Devan perhatikan, Aruni semakin kencang menggosok tangannya padahal tangannya sudah cukup bersih.

"Mba Runi."

Aruni tidak mendengar panggilan Devan yang begitu dekat. Dia terus menggosok, semakin lama semakin cepat, seakan ada hal menjijikkan yang menempel disana.

"Mba Aruni!" Devan mencengkeram pergelangan tangan Aruni. Berusaha menghentikannya. Akibatnya Devan hampir kehilangan keseimbangan mengemudinya dan memutuskan untuk menepi sebentar.

"Jangan gitu, Mba." Devan mengambil paksa tisu yang ada di tangan Aruni satunya lalu membuangnya. "Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan nyakitin diri sendiri."

Aruni mengerjap. Seakan baru sadar akan apa yang dilakukannya. Cepat-cepat ia melepaskan tangannya dari genggaman Devan.

"Ma-maaf." Ucapnya kemudian memalingkan wajahnya dari Devan.

Devan menghela napas. Kemudian keluar mobil. Mulai menyalakan batang rokoknya. Membiarkan Aruni memiliki waktunya sendiri. Setidaknya hanya itu yang bisa Devan lakukan. Mungkin saja Aruni menahan rasa tangisnya karena tidak ingin dilihat olehnya. Mungkin saja wanita itu butuh waktu sendirian untuk meluapkan emosinya.

Saat batang rokoknya habis, Devan baru masuk lagi ke dalam mobil.

"Jalan lagi ya, Mba?" Tanya Devan meminta ijin.

"Hm." Aruni mengiyakan.

Belum lama mobil mereka kembali melaju, cuaca tiba-tiba berubah. Hujan deras, angin kencang, bahkan langit sangat gelap seperti menjelang malam padahal jam baru menunjukkan pukul setengah 11 siang.

"Huft, macet lagi." Gumam Devan sedikit kesal melihat antrian mobil di depannya yang tidak berujung.

Devan mengistirahatkan punggungnya di kursi mobil. Melepas tangannya dari kemudi. Menoleh ke samping.

Aruni tertidur. Kepalanya bersender di kursi mobil menghadap Devan. Hidung Aruni masih merah efek sehabis menangis tadi. Tanpa make up wajah Aruni terlihat mulus dan bersih. Alisnya melengkung rapih. Dan Devan menyukai bibir tipis mungil merah muda itu.

Dar!

Kedua bola mata yang tadinya terpejam tenang itu akhirnya terbuka akibat gelegar petir. Buru-buru Devan mengalihkan pandangannya. Apa yang sedang ia lakukan?

"Yah, macet." Aruni baru menyadari sesuatu.

Devan tidak menanggapi. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Dering ponsel yang bukan milik Devan memecah redaman suara hujan dari luar.

*

Aruni mengeluarkan ponselnya.

Siapa lagi kalau bukan Zio yang meneleponnya. Aruni tidak mengangkatnya, hanya mematikan nada dering, lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Suara Zio adalah satu hal yang ingin Aruni hindari saat ini.

Milik Tetangga [SELESAI]Where stories live. Discover now