28

8 1 0
                                    

Lampu kota yang terlihat warna-warni telah menghiasi kota cantik itu. Kota Bandung dengan segala kenangannya. Kota Bandung yang dikenal dengan Parisnya Indonesia. Sebut saja Paris Van Java.

Lampu-lampu berwarna-warni itu sedikit menenangkan pikiran Alana. Setelah berbulan-bulan tidak pernah keluar malam--karena memang Alana tidak suka berjalan, ya sebut saja Alana adalah anak rumahan--dan sekarang, perempuan itu telah keluar. Ini pun terpaksa, karena Alana ingin menghilangkan rasa suntuknya. Matanya sembab karena menangis seharian. Ini adalah malam kedua Alana tanpa Gilang.

Perasaan Alana juga sedikit tenang karena Gilang sudah mengabarinya. Ternyata, Gilang sempat kehilangan ponselnya. Gilang benar-benar meminta maaf pada Alana yang telah membuat Alana khawatir akan dirinya. Tidak bisa dipungkiri, jika Alana pasti akan marah padanya. Perempuan itu dengan bebas telah mengeluarkan suara kesalnya untuk Gilang.

Jika dekat, Gilang ingin memeluk perempuannya sembari mengelus punggung Alana dengan lembut lalu berkata, "tenang ya Sayang. Aku bakalan selalu ada buat kamu,"

Namun sayangnya, jarak menjadi pacuan utama tidak bisa melakukan hal itu. Gilang merasa gagal menjadi imam untuk Alana. Sebenarnya, ia juga tidak mau melakukan hubungan jarak jauh dengan Alana. Namun, keadaan telah memaksanya. Ia juga tidak mungkin membiarkan Alana kelaparan karena keegoisannya. Apalagi menyusahkan kedua orang tua Alana lagi. Alana sudah menjadi penuh tanggung jawabnya.

Alana berhenti tepat didepan penjual pentol daging di pinggiran jalan. Ia jadi teringat, jika dirinya dan Gilang biasanya berhenti di pinggiran jalan hanya untuk menikmati sensasi makan pentol di pinggiran jalan. Hal yang paling seru. Dan caranya cukup sederhana.

"Mbak Alana, ya?" tanya penjual pentol itu yang membuat Alana tersenyum ramah pada paman penjual pentol itu.

"Kok sendirian, Mbak? Mas Gilangnya, kemana?" tanya bapak-bapak penjual pentol itu pada Alana. Penjual pentol tersebut cukup mengenal Gilang dengan baik. Karena hasil keramahan Gilang, alhasil mereka menjadi akrab satu sama lain.

"Dia lagi kerja Pak," sahut Alana sembari tangannya memilih untuk mencucuk pentol yang menggoda itu.

"Oh Mas Gilangnya lagi kerja. Soalnya tumben banget mbak Alana keluar sendirian," tambah bapak-bapak penjual pentol tersebut.

"Lagi pengen aja pak sendiri," Alana cukup malas sekedar untuk menjelaskan jika pekerja Gilang saat ini tidak berada di kota ini.

Cukup banyak Alana dan paman penjual pentol itu mengobrol banyak hal. Sembari Alana menikmati pentol dagingnya. Vibes makan pentol di pinggiran jalan tepat di malam hari memang menyenangkan. Seperti sesuatu yang berbeda. Namun, tetap saja bagi Alana suasananya beda karena biasanya ia bersama Gilang.

"Pak, makasih banyak ya. Saya mau pulang dulu. Kayaknya mendung, takut kehujanan dijalan," kata Alana setelah membayar pentolnya. Matanya juga melirik keatas melihat bintang-bintang yang sudah tertutup awan mendung. Suara gemuruh guntur juga sudah mulai terdengar.

Alana menyalakan sepeda motornya untuk kembali kerumah. Tiba-tiba saja perut Alana terasa mual.

"Duh dek, kamu nggak suka di kasih pentol, ya?" lirih Alana sembari mengelus perutnya dengan lembut.

Apa mungkin masuk angin kali, ya? batin Alana.

Alana bergegas untuk menyalakan motor maticnya. Karena ia benar-benar takut jika kehujanan dijalanan. Apalagi di malam hari seperti ini. Ia menghindari hal-hal yang membahayakan untuk dirinya sendiri.

Alana kembali menikmati lampu-lampu sepanjang jalan kota Bandung. Kota Bandung yang katanya memang Kota terunik. Alana sedikit mempercepat laju kendaraannya karena langit mulai menitikkan air matanya.

CINTA PALING RUMIT ( Update setiap Hari)Där berättelser lever. Upptäck nu