Jeco berdiri dan berniat pergi dari ruangan Darco. Ia sangat tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh Adelene ataupun saudaranya.

"Aku akan memberikan mu tawaran. Ikut aku mencari batu itu dan kau, Jeremy dan Ibumu akan aku berikan rumah layak untuk kalian tempati."

Jeco berhenti melangkah, ia menatap Adelene dengan ragu.

Adelene tersenyum tipis di tempatnya. Ia mengetahui keadaan keduanya berkat Darco yang ia paksa cerita tentang kedua murid yang selalu berkelahi itu.

Mau tidak mau Darco menuruti perkataan Adelene. Jeco dan Jeremy tinggal disebuah rumah yang tak layak huni bahkan bisa disebut gubuk. Keduanya memiliki prinsip yang berbeda.

Jeco yang berambisi untuk bekerja dan Jeremy yang lebih berminat untuk menempuh pendidikan formal. Ibu mereka lebih memilih pendapat Jeremy dan itu untuk masa depan double J. Tapi, Jeco tetap dengan tekadnya untuk bekerja, diam-diam ia keluar dari akademi dan bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi koin. Demi kehidupan Ibunya yang sendirian di rumah mereka yang tak layak huni.

Jeremy selalu menyuruh Jeco untuk fokus saja belajar jangan melakukan hal lain. Jeco dengan tekadnya yang bulat menentang keras apa yang Jeremy suruh. Apalagi, mereka dapat menempuh pendidikan di akademi atas nama Kerajaan Slyx yang membiayai mereka secara cuma-cuma. Jeremy yang merasa hutang budi dan memilih fokus untuk belajar berbanding terbalik dengan Jeco yang memilih untuk diam-diam bekerja demi Sang Ibu.

Dua laki-laki itu memiliki hati yang mulia.

Pantas saja mereka yang dipilih oleh Qwi, itu yang dipikir oleh Adelene.

"Kau sedang tidak berbohong?" tanya Jeco penuh selidik. Laki-laki beralis lebih tebal dari Jeremy itu kembali mendekati Adelene.

Adelene menatap Jeco santai, "apa aku terlihat seperti seorang pembohong?" Walaupun memang sering berbohong.

Diam-diam Adelene memuji bakatnya untuk bersandiwara di depan orang lain.

Adelene melihat tatapan Jeco yang mulai melunak. "Aku tahu kalian berdua adalah anak yang baik maka dari itu, batu Qwi memilih kalian yang bisa memegangnya dan meletakkan di menara Kerajaan."

Jeco terdiam, ia memandang Jeremy. Jeremy mengangguk saja. Helaan nafas Jeco terdengar di telinga Adelene. "Aku yakin kalian akan menjadi dua orang hebat di masa depan dengan takdir kalian masing-masing." Setelah mengatakannya, Adelene berdiri dan mengambil kembali kertas yang berada di meja.

Gadis itu melangkahkan kakinya hendak keluar dari ruangan Darco. Suara Jeco menginterupsi yang terdengar tegas saat ia memutuskan hal yang benar. Adelene tersenyum tipis.

"Aku akan ikut mencari batu itu dan ucapanmu tadi aku anggap sebagai janji."

Tanpa membalikkan badan, "aku akan menepati janjiku. Besok kau datanglah ke ruangan Wota aku akan menunggu kalian di sana." Adelene terus berjalan hingga tubuh gadis itu tak terlihat lagi saat langkah Adelene berbelok ke kanan.

"Apa keputusan ku tepat, Jeremy?" tanya Jeco ragu.

Jeremy berdiri dan menepuk pundak saudaranya itu.

"Kau tahu yang terbaik untuk keluargamu." Jeco terdiam. Ia melihat Jeremy yang sudah berjalan mendahuluinya.

"Sialan! tunggu aku bodoh!" umpat Jeco berlari kecil menyusul Jeremy yang tiba-tiba saja berlari.

-Adelene Dé Cloups-

"Adelene, apa mereka bersedia untuk membantu mu mencari batu itu?" tanya Veronica antusias.

Ketiga orang itu sedang berada di kamar Adelene dan menunggu informasi terbaru dari mulut Adelene.

"Mereka bersedia, besok kita akan memulai mencari batu itu."

Veronica dan Joan saling berpelukan. Mereka sangat senang mendapatkan kabar ini. Adelene menatap jijik kedua orang tua yang nampak masih muda itu.

"Kalian sudah tua, terlihat tak pantas melakukan itu," katanya sambil melirik jijik Saintess dan Sainess era sekarang.

"Umurku belum genap empat puluh tahun!" sungut Joan tak terima.

"Umur mu sudah cukup untuk menikah, paman."

Ketiganya diam, pikiran Joan dan Veronica sekarang entah berkelana kemana.

"Tapi, ada satu hal yang masih dipertanyakan."

Joan dan Veronica menatap Adelene serius.

"Letak sebenarnya batu Qwi ada dimana?! Kerajaan Slyx ini sangat luas, tidak mungkin kita akan mengelilingi seluruh Kerajaan hanya dalam beberapa hari."

Adelene sungguh frustasi. Joan dan Veronica mendadak hilang semangat. Hal itu tak pernah terpikirkan oleh otak mereka.

Ketiganya merenungkan apa yang dikatakan Adelene barusan.

-Adelene Dé Cloups-

Adelene Dé Cloups Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang