Bab 33

3.3K 149 6
                                    

Pintu lift nyaris tertutup ketika seorang gadis tergopoh masuk ke dalam.

Thian hanya menatap datar saat melihat wajah serba salah Sherly.

"Pagi Pak." Sherly tersenyum kikuk.

"Pagi," jawab Thian singkat.

Pintu lift tertutup dan Sherly menekan tombol menuju lantai mereka.

Hening.

Thian tak berniat melempar basa-basi dan memilih menatap lurus.

Sementara Sherly mencoba melirik Thian yang berada di sampingnya tanpa ketahuan.

Suasana beku terlanjur tercipta. Sherly tidak tahu kenapa Thian mendiamkannya, juga terkesan menghindari tatapannya. Jika tidak ada apa-apa, bukankah seharusnya Thian bersikap santai saja? Tak ayal, sikap Thian semakin memperkuat dugaan Sherly jika pada hari mereka tanpa sengaja bertemu, mungkin saja Thian baru saja melewatkan waktu bersama perempuan selain istrinya.

Pintu lift terbuka, Sherly merasa perlu pamit demi kesopanan.

"Saya duluan Pak." Sherly menoleh sekilas dan tersenyum.

Thian hanya menatap kikuk dan Sherly memilih segera kabur dari lift.

Sementara Thian hanya bisa menghela napas panjang. Ia melangkah meninggalkan lift dan segera berjalan menuju ruangannya.

_____________________

Seperti biasa, pagi itu Inka sudah berada di ruangan Thian. Ia tenggelam menatap wajah Thian yang sedang mengecek jadwal hari ini. Kebetulan jadwal Thian hari ini sedikit longgar.

"Pak Raynor hari ini kunjungan ke perusahaan di Surabaya ditemani Pak Datta," Inka menyebutkan nama wakil direktur perusahaan mereka.

"Saya hari ini agak longgar." Thian menatap datar layar tablet sebelum mengembalikannya pada Inka.

"Saya denger Bu Sarayu ngadain meeting di luar sama anggota Istri Ikatan Pegawai Bank Nusantara terkait undangan menghadiri pameran seni di Bali." Inka merasa perlu menyampaikan informasi ini kepada Thian meski kemungkinan lelaki itu sudah mengetahuinya langsung dari Nina.

"Iya. Minggu depan istri saya ke Bali dua hari." Thian menyambung pembicaraan Inka.

Inka diam-diam meneliti wajah Thian. Ia merasa akhir-akhir ini Thian tidak seperti lelaki yang ia kenali. Adakah raut kegembiraan di sana? Tetapi ia tidak dapat membaca apa pun. Air muka Thian terlihat biasa-biasa saja.

Selama delapan bulan lebih bekerja bersama, ia mengenali Thian sebagai lelaki yang sopan dan sangat menjaga perilaku. Ia bahkan hampir tidak pernah melihat Thian marah. Tetapi belakangan ini ia mendengar Thian bercinta di rest room, ia mendengar Thian marah di panggilan telepon, ia juga mendengar Thian keluar dari kamar hotel.

Semua itu sama sekali tidak mencerminkan Thian.

Sebelum Thian menjadi atasannya dan masih menjabat sebagai vice president, ia sering mendengar betapa luhurnya sikap Thian. Lelaki itu sama sekali tidak pernah tersentuh gosip selain fakta bahwa memiliki banyak penggemar dan pernah dilirik dewan komisaris untuk dijadikan menantu.

Diam-diam Inka menyayangkan perubahan pada diri Thian. Hatinya terlanjur mengagumi Thian tidak hanya sebatas wajah dan penampilan. Bahkan semenjak mengenal Thian, diam-diam ia mendamba lelaki yang bisa menjaga pandangannya seperti Thian, bisa menjaga tutur kata seperti Thian, dan bisa menjaga sikap seperti Thian.

Inka tahu sampai kapan pun ia hanya bisa menahan perasaan sebatas kekaguman. Kini hatinya diam-diam meratap kecewa. Entah Thian yang berubah atau ia yang semakin mengenali lelaki itu.

Dessert Rose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang