Mati, mereka akan mati. Mereka akan dikunyah sampai mati.

Pikiran putus asa itu malah membuahkan nalar baru di kepala Ilman. Konyol, tapi dia kepikiran satu cara yang belum mereka coba untuk melepaskan tali yang mengikat leher Putri. "Adyth!" Ilman berteriak sambil lari kencang ke arah Adyth. "Bantu aku!"

Meskipun bingung karena tidak sesuai rencana, Adyth langsung menangkupkan kedua telapak tangannya menghadap ke atas, diangkat setinggi pinggang. Kecepatan lari Ilman menghasilkan tenaga yang besar saat menjejak telapak tangan Adyth, hanya ditambah sedikit dorongan teman kita ini melompat tinggi sekali sampai kedua tangannya mampu meraih dahan pohon tempat ujung tali tambang terikat. Ilman buru-buru naik, duduk dia di atas dahan dengan cemas, berusaha sedikit demi sedikit melepas ikatan tali yang beruntungnya tidak serumit ikatan yang melilit leher Putri.

"Lepas!"

Gilda tiba-tiba merasa tubuhnya melayang. Pandangan mata yang tadinya ke arah depan menghadap punggung remaja laki-laki berubah menjadi semak belukar dalam satu detik saja. Perlu nalar sebentar untuk sadar kalau Putri tidak lagi dalam dekapan, terpisah mereka dalam jarak satu kepala manusia. Posisi dia yang sekarang sangat tidak nyaman, beberapa kali perutnya harus merasa sakit saat tulang rusuk beradu dengan tulang bahu kekar milik Adyth. Kalau dalam kondisi biasa tentu dia akan berontak habis-habisan; tidak untuk sekarang—malah dia merasa harus berterima kasih pada Adyth yang refleks menggendong dia dan Putri sekaligus.

Sesuai rencana awal, mereka benar-benar lari memutar untuk kembali ke pintu depan tempat mereka berasal. Adyth yang membuka jalan terpaksa merelakan tubuhnya tergores ranting dan belukar saat menembus keluar. Ah, luka kecil ini tidak sebanding dengan rasa lega karena tiga hewan mistis itu sudah jauh berjalan pergi. Satu-satunya yang terlihat di jalur setapak yang tadi mencekam adalah Ilman yang sedang setengah berlari dengan tersenyum lebar.

"Aku tidak menyangka kalau otakmu bisa dipakai juga kadang-kadang!" ujar Dj sambil mengacak-ngacak rambut Ilman yang pirang.

"Ya, ayo kita pulang, teman-teman," jawab Ilman yang lebih dahulu menggenggam daun pintu. Senang betul rasanya, terlebih saat melihat Putri sudah bisa tertawa kecil saat mendengar bisik suara Gilda. Entah apa yang sedang mereka bicarakan di belakang punggung Adyth, yang jelas, malam nanti mereka bisa lanjut mengobrol sampai pagi begitu keluar dari tempat mengerikan ini.

Tegap langkah mereka di dalam rumah juga menjadi bendera baru bagi Six Elves. Ini bendera pertama yang mereka kibarkan tanpa kehadiran sang kapten. Kalau diibaratkan makanan, ada sedikit rasa kecut yang timbul diujung—seperti kehilangan rasa yang seharusnya ada. Ah, biarlah, toh Naufal pun akan tersenyum saat mendengar cerita seru mereka bertemu banyak hal misterius.

Aku paham kalau kalian mungkin sedikit kecewa, teman. Kenapa tidak mereka kejar anjing-anjing itu? Rumah misterius ini juga, kenapa langsung pulang begitu saja?! Ini misteri besar yang mereka temukan—dududu, santai dulu.

Begitu masuk ke koridor panjang di dalam rumah, Aji langsung mengangkat kepala—refleks menutup hidung seolah ada yang mengganggu indera penciumannya. Adyth—yang berjalan paling belakang—dengan amat jelas melihat perubahan sikap tubuh Aji ini. Sikap refleks yang menjadi ciri kalau ada hal asing terdeteksi oleh temannya itu, sebuah ciri kalau masalah mereka belum berakhir.

"Kau kenapa?" Adyth pada akhirnya bertanya karena sekarang Aji menggosok lengan berulang kali seolah ada yang menempel di sana.

Aji menggeleng. "Mungkin perasaanku saja, tapi kok rasanya hawa di tempat ini panas sekali ya? Perasaan tadi tidak sepanas ini."

"Nanti kau berendamlah di dalam saluran pembuangan itu, Ji. Aku jamin akan segar sekali rasanya."

Namun, Dj harus menelan kembali ejekan yang dia buat barusan. Bukan karena Aji tersinggung, melainkan karena tidak mungkin mereka masuk menuju saluran bawah tanah. Oh, kawan, berkilat-kilat cahaya oranye di bola mata mereka sekarang. Lega dan tenang yang tadi mengisi hati, semuanya luluh hangus terbakar bersama setiap sisi ruangan misterius yang seharusnya menjadi jalan keluar mereka.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now