15. Luka

522 47 23
                                    

Gadis itu duduk meringkuk di kasur kamarnya. Ia memeluk bantal untuk meredam tangisannya. Selama ia hidup, itu salah satu ungkapan paling menyakitkan yang pernah ia dengar. Thea mendengar semuanya. Dari awal. Jika ia bisa memutar waktu, mungkin Thea memilih untuk tidak mendengar. Karena mungkin benar, ada hal-hal yang seharusnya tidak perlu kita ketahui.

Thea tidak mungkin menceritakan hal itu kepada siapa pun. Ia tidak ingin keluarganya membenci Galang atau juga Nayla.

Mungkin sejak awal, ini salah Thea. Ia terlalu mudah percaya, dan terlalu cepat mengambil keputusan. Bodohnya, ia percaya bahwa kejadian di kafe adalah bagian dari rencana Galang.

Thea menutup mata dan menyandarkan diri ke dinding.

"Kenapa lo?"

Thea mengusap air matanya. Ia cukup terkejut dengan Digo yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. "Bisa nggak sih ketuk pintu dulu?"

Digo berdiri memandangi Thea. Ia tau pasti, ada yang tidak beres di sini. "Lo hutang penjelasan sama gue, Thea. Kenapa kemarin lo nangis?"

Thea diam.

"Nayla sama Galang ngapain?"

Thea masih diam. Memang, Thea hutang penjelasan pada Digo. Kemarin saat Thea ingin pergi dari rumah Nayla, ia bertemu Digo dan Sisi di depan rumah. Kondisinya tidak baik, Digo tau itu. Itulah sebabnya Digo mau diajak pulang.

Thea menggeleng lemah. "Gue cuma ada masalah kecil."

"Karena Nayla?" Digo ikut duduk di kasur.

"Bukan karena siapa-siapa. Ini karena gue. Jadi, tolong lo nggak usah menyalahkan siapa pun."

Digo tertawa sumbang. "Nggak usah belain mereka, Thea. Hubungan Galang sama Nayla tuh dari awal emang aneh. Gue nggak percaya mereka sekedar sahabatan."

Thea memijit pelan pelipisnya. "Ini bukan affair, Digo. Cukup. Gue mau istirahat."

"Gue larang lo sama Galang, bukan tanpa alasan, Thea."

"Kalo lo nggak mau kasih tau, gue bisa cari tau sendiri." Ujar Digo beranjak keluar.

Belum sempat Digo keluar, suara itu menghentikan langkahnya. "Duduk." Pinta Thea.

"Gue belum bisa cerita duduk permasalahannya. Tapi tolong, kalo lo ketemu sama Galang, jangan desak dia untuk kasih tau apa yang sebenarnya. Jangan tersulut emosi karena ini, dan lo nggak perlu cari tau."

Thea tau betul, betapa keras kepalanya Digo. Jika Digo tidak mendapatkan penjelasan apapun dari Thea, bukan tidak mungkin Digo akan menemui Galang. Jadi, Thea memberi peringatan di awal.

"Gue nggak mau ada pertengkaran. Gue nggak suka keributan. Jadi tolong, tahan diri lo. Karena setelah ini, nggak akan ada lagi gue dan Galang."

Digo terdiam. Ia memandangi Thea dalam. Apa sesakit itu? Digo mengenal Thea sebagai perempuan yang keras dengan pendiriannya. Selama ini, Thea mati-matian membela dan memperjuangkan Galang walau ditentang habis-habisan. Kini, Thea dengan kesadarannya ingin melepaskan Galang?

"Kenapa?" Hanya satu kata itu yang mampu terucap. Digo bingung.

Thea menahan sesak di dada. Ia menengadahkan kepala menghadap langit-langit. "Karena mungkin kita cuma dipertemukan, bukan untuk dipersatukan."

Digo kembali diam. Luka apa yang menancap sedemikian hebatnya?

Digo melihat luka dan kesungguhan di sana. Ia mengangguk samar, Digo yang ini - tidak banyak bicara.

"Thea."

Pandangan Thea dan Digo teralih pada Liora yang baru masuk kamar.

"Di luar, ada Galang."

KITA YANG BEDAWhere stories live. Discover now