16 ~ Back to Hell House

10.6K 683 48
                                    

Hilma menghela nafas panjangnya saat rumah yang nampak begitu sepi dari luar sudah terlihat di depan matanya. Ternyata, dua minggu bersama Daren di sana sama seperti hanya satu hari dan rasanya Hilma hanya numpang sebentar saja di pelukan Daren. Hilma menggeret koper kecilnya masuk sedangkan koper besarnya sudah di bawa oleh supirnya tadi, dan ia menghela nafasnya panjang lagi saat menemukan sang mama sudah duduk di ruang keluarga.

"Habis dari mana?"

Hilma berdecak, ia tetap melanjutkan jalannya tanpa menatap mamanya sedikitpun. Hilma mengeratkan genggamannya pada boneka yang ia bawa. Tau mamanya ada di rumah hari ini, Hilma akan menunda kepulangannya saja. "Biasanya mama juga gak peduli. Biasanya juga gak pulang tiga bulan tanpa nanyain anak."

"Mau kamu apa?"

Hilma berdecih, ia sedikit terkekeh. Ternyata pertanyaan mamanya tetap sama dan ia akan menjawab dengan jawaban sama yang ia ucapkan berkali-kali juga. "Mau duit banyak biar bisa healing jadi gak di rumah kayak neraka ini terus."

"Duit yang saya kasih kurang? Papa kamu gak ngasih duit?"

"Kurang, gak cukup untuk beli kasih sayang."

"Ya sudah, saya kirimi lagi."

Hilma tertawa di dalam hati, mungkin takdir hidupnya memang seperti ini. Bahkan ucapan akhirnya tadi saja tidak digubris oleh mamanya, mamanya hanya menjawab untuk kekurangan duitnya. Ia banyak duit, tabungannya bahkan memiliki akhiran angka 0 berjumlah delapan dan angka depannya yang pasti lebih dari angka 5, tetapi ia tidak akan pernah mendapatkan apa itu kasih sayang orang tua. "Ok, makasih, yang banyak sekalian."

Entahlah kalian menyebut Hilma anak durhaka atau tidak menghargai orang tua. Tetapi, hanya ini yang bisa Hilma dapatkan dari peran mereka sebagai orang tua Hilma. Hanya duit, duit, dan duit, tidak peduli juga duit itu Hilma gunakan untuk apa. Ia ingin meminta peran sebagai ayah atau ibu juga tidak akan pernah bisa. Hilma kecil bahkan sudah sampai menangis sesegukan untuk meminta ditemani kedua orang tuanya bermain saja tidak pernah ditanggapi. Sekarang Hilma baru berpikir, haruskah ia saat itu menangis darah dulu hingga orang tuanya peduli?

Hilma sempat berfikir, apakah saat ia menikah nanti, orang tua nya akan hadir atau tidak? Sebenarnya jawaban paling benar sih tidak, atau mungkin mereka hanya akan melihat saat akad dan akan langsung sibuk dengan kesibukan masing-masing. Hilma sampai sekarang pun bingung, apa sebenarnya alasan orang dua itu tidak juga cerai-cerai. Setidaknya kalau bercerai, Hilma bisa tinggal sendiri, tidak di rumah seperti neraka ini.

Hilma bingung statusnya apa sebenarnya, dibilang brokenhome tetapi kedua orang tuanya tidak bercerai. Bukankah kata 'brokenhome' itu hanya untuk orang tuanya yang sudah berpisah? Tetapi Hilma masih memiliki orang tu- oh tidak, bukan orang tua, sepertinya lebih cocok dibilang sebagai pabrik duitnya karena Hilma hanya mendapat duit dari mereka berdua. Nah, nama di KK nya bahkan masih di nomor tiga, di bawah nama kedua mama dan papanya. Tetapi tidak ada kehangatan di kedua nama itu, tidak ada cinta atau bahkan hanya rasa saling suka dari kedua pabrik duitnya itu.

"Kamu sudah punya pacar?"

Langkah Hilma terhenti, ia mengulum bibirnya dan menghela nafas kasar. "Belum."

"Cari pacar setelah itu menikah lah."

Kembali, tangannya kembali meremas tangan boneka beruang yang terduduk di atas kopernya. Boneka ini seperti menguatkannya. "Masih mau kuliah."

"Untuk apa kamu berlama-lama sekolah? Kamu tinggal cari pacar dari keluarga kaya, beres. Nama keluarga kamu juga tidak memalukan untuk mencari pacar dari keluarga berada juga. Realistis saja kalau mencari pasangan, jangan sampai kamu terpana sama lelaki yang masih serabutan dan masa depannya belum tertata jelas."

My DarenWhere stories live. Discover now